Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Antara Ayah, Saya dan Kompasianival 2017

25 Oktober 2017   14:39 Diperbarui: 30 Oktober 2017   06:14 2109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika ada yang mengatakan bahwa anak perempuan biasanya lebih dekat ke sosok ayah, maka hal itu benar adanya. Saya mengalaminya. Ayah di mata saya adalah super hero. Saya dekat dengan ayah, meskipun tak jauh juga dari sosok ibu.

Saat saya masih kecil, saya suka sekali mendengarkan degup jantung ayah. Kok bisa? Saat pulang sekolah, ayah menjemput dengan naik sepeda motor. Meskipun pada saat itu ayah masih dalam jam kerja. Hanya menjemput, kemudian ke kantor kembali. Selama dalam perjalanan pulang, biasanya saya memeluk ayah di atas sepeda motor biar tidak terjatuh. Sambil memejamkan mata karena mengantuk. Ayah pasti berkata, "Jangan tidur dulu sebelum sampai di rumah." Kepala saya sandarkan ke punggung ayah. Saat itulah saya mendengar degup jantung ayah. Suara itu membuatku nyaman. Kadang membuatku semakin ngantuk. Apalagi gema suara ayah yang terdengar tepat di telinga saat ayah berbicara, seperti melenakan. Tapi biasanya tak lama, karena sudah sampai rumah. Jarak sekolah dengan rumah dekat. Lalu ayah kemudian kembali ke kantor.

Atau suatu hari saat saya sudah remaja dan bertumbuh. Beberapa teman main ke rumah saat malam minggu. Ayah ikut berbincang sebentar. Kemudian membiarkan kami mengobrol di ruang tamu. Tidak semua teman itu pacar, sih. Saya termasuk gadis yang nggak ngeh tentang pacaran, karena semua kuanggap teman. Jadi, saya hanya punya dua mantan pacar dan salah satunya sekarang menjadi suami saya. Duh.. kok malah buka rahasia.

Ayah juga yang merelakan kukunya untuk jadi keusilan saya karena saya hobi banget memotong kuku. Setiap pulang ke rumah dari tempat kos. Dulu saya pas kuliah kos karena beda kota. "Pak, sini, kukunya aku potongin, ya?" pintaku. Ayah manut saja. Bahkan mungkin menunggu saya untuk memotong kuku. Karena saya pulang ke rumah dari tempat kos hampir tiap minggu. Jadi masalah potong memotong kuku Ayah adalah bagian saya. Ayah sengaja tidak memotong kukunya sendiri untuk saya.

Banyak kesukaan ayah yang akhirnya saya juga menyukainya. Seperti saya suka minum kopi, karena dulu ayah suka minum kopi. Ayah suka kucing. Akhirnya saya juga suka banget sama yang namanya empus. Banyak hal, yang saya rasa hampir mirip dengan ayah.

Kenangan itu masih melekat. Meski telah lama berlalu. Ayah itu di mata saya sangat baik. Super hero. Bahkan saat saya sudah menikah sekalipun. Baginya, saya itu tetap anak gadisnya. Meski telah banyak berubah mengikuti kondisi, karena sejak menikah tentu saja konsentrasi saya lebih condong ke suami dan anak-anak. Ayah merelakan, meski tak ada lagi yang usil untuk memotong kukunya lagi.

21 Oktober 2017 dan Kompasianival 2017

Sebelum tanggal 21 Oktober 2017, ada keraguan di hati saya untuk datang ke Kompasianival 2017. Bagi saya, tahun ini merupakan kedatangan saya untuk pertama kalinya. Sebelumnya tidak bisa datang, karena dengan alasan yang bermacam-macam. Padahal saya sudah bergabung dengan Kompasiana sejak 14 Desember 2013. Hampir empat tahun saya belajar di sini.

Ada dilematis di hati saya, antara pergi atau tidak. Niat sejak awal memang saya ingin datang di Kompasianival. Apalagi ada lampu hijau dari suami dan bersedia mengantarkan. Sekalian main ke rumah kakak yang ada di sana, karena sudah lama tidak berkunjung, katanya. Beberapa hari sebelum berangkat, ayah sakit. Memang ayah sering sakit-sakitan semenjak ditinggal ibu yang lebih dulu berpulang tiga tahun lalu. Tetapi saat itu nampaknya sakit lebih serius. Tidak kerso dhahar (tidak mau makan) yang menyebabkan dehidrasi. Semangatnya juga menurun.

Antara iya dan tidak, akhirnya saya memutuskan untuk berangkat, karena ingin bertemu dengan teman-teman sesama Kompasianer. Apalagi saya masuk nominasi Best In Fiction. Sebagai ungkapan rasa terimakasih kepada teman-teman yang telah memberi vote kepada saya, akhirnya saya datang.

Sebagai nominator, pasti ada kebanggaan tersendiri. Permasalahan bisa terpilih sebagai yang terbaik atau tidak itu bukan hal yang mutlak. Terpilih sebagai nominator saja saya sudah bahagia. Berarti tulisan saya nyantol di hati teman-teman. Sekalian ya, saya mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya kepada teman-teman yaang telah memberikan vote kepada saya. Teman RTC, Semarkutigakom dan teman lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Mbak Gagana Stegmann yang secara khusus membuatkan artikel buat saya. Sungguh, saya berterimakasih banyak. Karena dengan kalian memberikan vote kepada saya, ada memori indah di Kompasiana sebagai salah satu nominatorBest In Fiction Kompasiana 2017.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun