Pekerjaan dekorasi yang semakin ramai, membuatku sedikit melupakan permasalahanku dengan Sakti. Mau bagaimana lagi. Tuntutan profesionalitas memaksa demikian. Aku merasa, bila ini cinta yang sejati, pasti ia akan kembali padaku. Apalagi skripsi yang tinggal bab terakhir. Kemudian uji materi dan ujian skripsi. Cita-citaku sebagai sarjana ekonomi telah di depan mata.
Sakti mungkin juga sedang sibuk dengan skripsinya. Saat terakhir pertemuan, ia telah maju bab dua. Aku selalu mendoakan, agar ia lancar menghadapi skripsi. Entahlah, sedang apa ia sekarang. Ia sama sekali tak mau menghubungiku.
Aku mengingat kembali pertemuanku dengannya. Saat itu, ia menabrakku saat sedang terburu. Akibatnya, buku Sakti terbawa olehku. Itulah awal perkenalanku dengannya. Aku tersenyum. Aku rindu. Ah, apalagi guyonannya yang terasa garing, membuatku semakin rindu padanya.Â
Waktu terus berjalan. Tetapi kabar dari Sakti belum tampak juga. Hatiku semakin galau. Berada dalam suatu kegelisahan yang menunggu sebuah jawaban. Sakti seperti sedang menggantungku. Akhirnya aku membuat suatu keputusan. Aku tak bisa lama-lama berada dalam kegamangan.
"Sakti, apabila kamu menerima pesan ini dan membalasnya, maka itu tandanya kamu masih mau menerimaku sebagai kekasihmu."
Terkirim!
***
Dua bulan kemudian.
Sabtu pagi pukul sembilan. Acara wisuda segera dimulai. Hiruk pikuk suasana gedung oleh riuhnya para wisudawan. Ada ratusan mahasiswa yang wisuda kali ini. Aku salah satunya. Aku berada di jajaran mereka yang wisuda hari ini. Ada om Tommy dan tante Hanny di kursi orang tua. Mereka ikut bahagia atas wisudaku. Juga ayah kandungku, yang duduk di samping mereka.Â
Setelah kejadian dulu, saat Sakti memergokiku berada di rumah ayah, aku tak mau mengalami hal yang serupa. Aku segera menceritakan hal sesungguhnya pada orang tua angkatku. Syukurlah mereka mau mengerti. Aku berjanji tidak akan meninggalkan mereka, meski aku telah bertemu dengan ayah kandungku. Mereka juga tidak keberatan jika beberapa hari aku tinggal di rumah ayah. Kata mereka, aku harus menghormati ayah, karena ia adalah wali nikah pada saat nanti menikah. Ah, tapi cita-cita menikah masih jauh. Apalagi belum ada yang mau denganku. Â Dengan Sakti? Ia masih marah padaku dan tak mau menghubungi setelah kejadian dua bulan lalu.
Jika ini yang dinamakan patah hati, aku sedang mengalaminya. Tetapi, lupakanlah. Aku sedang ingin bahagia. Bersama orang tua angkatku dan ayah di acara wisuda.