Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku, Pemilik Hati yang Beku #3

10 September 2017   12:06 Diperbarui: 11 September 2017   11:39 1277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Aku terdiam. Rasanya sudah lama berada di tempat ini. Tetapi selama ada bu Een, aku merasa aman. Apalagi selama ini, aku masih memakai jelaga untuk menutupi wajahku. Juga kulit tangan dan kakiku agar terlihat jelek dan dekil. Bu Een selalu mengingatkan aku untuk tidak lupa memakai jelaga. "Bisa bahaya jika kamu lupa, nak," katanya. Ya, ya, aku berusaha untuk tidak lupa. Setiap habis mandi, bukannya memakai bedak agar terlihat cantik, tetapi memakai jelaga biar tak kelihatan wajah asliku.
***

Di rumah ini, masih sering aku mendengar suara tangisan beberapa anak perempuan dari ruang penyekapan. Aku sedih mendengarnya. Teringat saat pertama kali di tempat ini. Aku bertanya pada bu Een, sebenarnya tempat apakah ini. Tetapi bu Een menjawab, agar aku tak usah memikirkannya. Yang terpenting aku aman berada di dekatnya. Apalagi si Bos masih sering bertandang kemari, untuk membawa keluar anak perempuan yang tertipu sepertiku. Entah di bawa kemana.

Makanya aku dan bu Een harus tetap waspada.
Tiba-tiba terlintas wajah ayah. Kadang-kadang aku merasa sedih saat teringat ayah. Aku sangat menyayangi ayah. Sebenarnya aku tak ingin menyakiti hati ayah dengan kaburku dari rumah. Tetapi, hatiku telah beku karena kejamnya tante Devi. "Maafkan aku, ayah. Maafkan Runi. Ya Tuhan, semoga ayah selalu sehat dan baik-baik saja saat jauh dariku." kataku dalam hati.
***

"Runi, ibu ingin memberikan sesuatu untukmu. Ibu harap, suatu saat akan berguna untukmu." kata bu Een ketika baru saja selesai memasak. Kemudian bisa istirahat sejenak, untuk nanti melanjutkan pekerjaan membersihkan rumah.

"Apa ini, bu?"

"Kalung. Ini untukmu. Simpanlah. Jangan sampai hilang. Anggap saja ini pengganti ibu. Siapa tahu kita tidak bisa bertemu lagi."

"Ibu kok ngomongnya gitu, sih. Runi jadi sedih. Runi sayang ibu dan nggak mau kehilangan ibu. Lagian Runi nggak bisa menerima ini, bu. Ini pasti mahal. Ibu lebih membutuhkan. Terlalu berharga, bu."

"Sudahlah, Runi. Diterima. Karena kalung itu, dulu pemberian dari suami ibu. Sedangkan sekarang, suami ibu entah di mana. Anak ibu, sudah nggak ada. Ibu sudah tak memiliki siapa-siapa lagi. Ibu harap kamu mau menerimanya. Untuk kenang-kenangan," kata bu Een sambil memakaikan kalung itu ke leherku.

Akhirnya aku pasrah menerimanya. Meski tak enak hati. Terlalu berlebihan untuk menerima barang berharga ini. Apalagi kalung itu merupakan kenangan buat bu Een.

"Bu, jika kita merencanakan keluar dari tempat ini, tentu harus berdua. Aku tak mau sendiri. Ibu juga harus ada bersama Runi." bisikku pelan. 

"Ssst... tentu saja Runi. Semoga saja rencana yang telah ibu rancang berhasil ya, nak,"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun