Sudah mendekati hari H. Persiapan telah matang. Aku telah menentukan sikap, bersedia dipersunting olehmu. Butuh waktu bertahun-tahun, saat aku mengiyakan apa yang kita inginkan. Bahkan sempat mengalami putus nyambung, yang akhirnya, perberhentian itu, mengarah kepadamu.
Dan pada hari ini….
“Ayah dan bunda yang tercinta, Ananda mohon maaf jika selama hidup Ananda ini telah banyak melakukan kesalahan dan kekhilafan. Disaat yang baik ini, Ananda memohon izin, mohon restu untuk dinikahkan dengan kekasih pilihan Ananda, seorang pria yang Ananda cintai, pria yang bernama ….”
“Wahai ananda, ayah dan bunda ridlo dan ikhlas, serta memaafkan segala kesalahanmu. Dan ayah, akan menjadi wali nikahmu, sekaligus menikahkan diri ananda dengan seorang lelaki pilihan ananda, dengan mas kawin…..”
Deg! Agak deg-degan sebenarnya, saat aku meminta izin pada ayah, untuk menikahkan diriku dengan kamu. Semua berjalan dengan lancar. Ada keharuan yang menyeruak, saat aku meminta izin pada ayah untuk menikah denganmu. Ayah seperti menangis dan hampir menitikkan air mata. Mungkin berpikir, bahwa sebentar lagi akan kehilangan putri satu-satunya, dengan menikah. Padahal, ayah adalah tetap ayah buatku. Ayah adalah sosok pria yang pertama kali aku jatuh cinta padanya. Betapa ayah dulu sering mengajak ke banyak tempat dan memberi pengalaman baru. Berpetualang, bagai bolang. Dan sekarang, aku akan diminta olehmu, kekasihku, untuk menjadi istrimu. Tentu saja, mulai hari ini, aku akan membagi perhatian, ke kamu dan ayah.
Semua ingatan mengelibat, ayah, betapa aku mencintai ayah! Dan saat ini ada di hadapanku, untuk bersiap menjadi wali nikah. Ayah mencium keningku, dan berlalu keluar kamar, menuju tempat, di mana kamu bersiap untuk mengucapkan ijab kabul. Bunda menemaniku.
Hari ini, hari yang paling menegangkan. Ketika semua telah siap, tetapi Ayah tampak gusar. Hei, ada apa? Bukankah semua telah dipersiapkan? Juga catatan kecil itu. Penting? Iya lah. Dan catatan kecil itu tak ada di genggamanmu. Mungkin karena begitu groginya, catatan kecil tercecer. Tentu saja Ayah gusar, karena ia yang membuat catatan itu. Takutnya tak hafal, saat kamu mengucapkannya. Dari dalam kamar, aku berdoa, semoga semuanya berjalan lancar. Hari ini adalah hari yang istimewa, berlangsung untuk seumur hidup. Beberapa menit dalam hening. ayah tampak berbicara serius denganmu, terdengar bisik-bisik. Tampak tak jelas, karena aku berada dalam ruangan yang berbeda.
Ketika ketegangan mencair, suasana menjadi lega, ayah memulai acara ijab kabul. Kamu juga membalasnya dengan tegas.
Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Dan sah, sah, sah, membahana di setiap sudut ruangan ini. Ada kegembiraan dan rasa syukur yang terucap pada semua yang hadir. Tak terasa, air mataku meleleh pelan. Dalam hatiku berjanji, "Ayah, meski sekarang aku milik kekasihku, tetapi aku adalah tetap anak ayah. Ayah tak mungkin terhapus begitu saja dalam ingatanku."
Oh, Ayah, satu hal yang penting dalam kehidupanku, terimakasih, Ayah telah membuat sah semuanya. Kau dan aku!
==oOo==