***
Lagi-lagi, ketika aku menginginkan bertemu Pelangi, aku tak bisa menemukannya, padahal Pelangi bisa menghibur hatiku, disaat hatiku sedih dan gundah. Aku sangat menyukai Pelangi. Tapi... ahaii, saat ini sang Pelangi berubah, menjelma menjadi dia, dan aku menamai dia: Pelangi. Tahu tidak, mengapa begitu? Karena aku... aku tak tahu namanya. Aku begitu bodoh melupakan bertanya siapa namanya. Saat kami berjumpa dulu, saat aku menubruknya di selasar antar kelas. Aku memang hanya sekali bertemu, tapi aku tak bisa melupakannya.
Nah, mengapa bisa kebetulan, aku bertemu dengannya. Itu dia! Bagai sebuah radar, sinyalku menggemuruh memberi tanda. Tapi, untuk saat ini, tentu aku tak menubruknya, karena aku sedang tak menghadap ke langit mencari Pelangi. Aku tersenyum, ia tersenyum. Bahagia rasanya.
“Hai, namaku Ibam, kelas MIPA4. Kamu Ratih?” aku mengangguk. Kok ia tahu namaku sih? Duh, pasti ia diam-diam mengamatiku. Tapi segera kutempiskan rasa itu, saat aku sadar, di baju seragamku, ada nama: Ratih. Aku tergelak dalam hati. Senyumku pun dalam hati, aku malu padanya.
“Aku pinjam catatan ya? Boleh? Matematika. Meski kita beda kelas, tapi pasti catatan kita hampir sama. Kita kan kelas 12. Sama bukan?” Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk. Ia mengeryitkan dahi, mungkin bertanya, memang kamu nggak punya suara ya? Segera kujawab, “Iya, nanti aku pinjami.”
Sejak saat itu, hatiku berbunga-bunga, suka. Aku mengkhayalkan, bahwa ia kelak menjadi pacarku. Tapi...
Saat aku bercerita pada Dewi sahabatku bahwa aku menyukai Ibam, mata Dewi terbelalak. Dewi berteriak, ”Hei, tak salah kamu Ratih? Kamu menyukai Ibam? Lebih baik pikir sepuluh kali dulu deh.” Duh, memang kenapa? Apakah aku salah menyukai Ibam? Apakah aku salah menyukai cowok keren dan barusan bilang padaku akan meminjam catatanku? Dewi pasti cemburu.
***
Hari ini, aku terusik dengan Pelangi, menurut berita yang barusan kudengar, Pelangi merupakan simbol suatu kaum yang menurutku tak baik. Katanya Pelangi identik LGBT. Bagaimana bisa mereka mengambil Pelangi yang kusuka dengan seenak hati? Aku sedang bukan termasuk golongan mereka kan jika aku menyukai Pelangi? Aku orang normal, aku menyukai cowok. Tapi aku juga menyukai Pelangi. Aku juga menamai cowok idolaku Ibam dengan julukan Pelangi. Ibam juga normal. Mengapa harus ada simbol yang salah tentang Pelangi? Aku sungguh terusik. Aku sungguh tak suka. Mereka jahat telah mengambil Pelangi kesukaanku. Tidak adil! Ah, biar saja, aku tetap menyukai Pelangi. Biar saja mereka begitu, asal aku tidak begitu.
Pagi ini, di hari Minggu yang mendung, berangsur cerah, matahari tampak terang. Tadi malam hujan deras, kemudian reda. Bulir-bulir air sisa embun tadi malam masih nampak di dedaunan. Ibam menemuiku. Ia sengaja main ke rumah dan menyeretku ke sebuah lapangan dekat rumah. Katanya, ia ingin memperlihatkan sesuatu. Kemudian, setibanya di lapangan, ia menunjuk sesuatu di arah pukul sepuluh. Wow, selengkung Pelangi!
Aku takjub. Mulutku ternganga demi melihat Pelangi itu. “So beautiful!” seruku. Hingga aku melupakan Ibam yang ada di sebelahku. Ibam memakluminya, karena aku sering bercerita padanya, bahwa aku sangat menyukai Pelangi.