Marahlah, aku akan menerima
secangkir kopi hitam sedikit encer akan meredakan amarahmu itu
segudang kerutan akan hilang seketika seiring dengan surutnya suhu kopi panas
seperti biasa, kopi itu akan melumerkan denyut keasinganmu
Aku ingat, amarah itu tak akan lama berkunjung
hanya sebentar kemudian pergi
lalu diam memberi jarak agar marah tak lagi tersulut
emosi meluap-luap akan reda dalam hitungan detik
hingga ada kata dari suara lembut,"pergilah tidur, ini sudah malam."
Entah apa di dalam kamar sana, sementara masih saja lampu menyala
sebuah kanvas terpajang dengan cat yang berjejer di lantai juga kuas dan palet
kanvas putihpun tak lagi putih
amarahmu tersimpan di sana
bergerak berbagai warna, merah jingga kuning hijau biru nila ungu
tak searah, menyapu penuh di setiap sudut kanvas
Sementara mata tak mau terpejam
menunggu yang ada disisi beranjak masuk
lalu akhirnya lelah, menyerah pada waktu
terpulas mata tak sempat menunggu
hingga kokok bertalu, tanda sang pagi telah mendekat
dan tak sempat tahu, bahwa di sisi telah ada indah wajah polosmu
Aku pernah bertanya padamu, mengapa kau tak pernah marah padaku
kamu hanya tersenyum, seraya mengatakan,"Dik, bagaimana aku bisa marah padamu, saat melihat sorot matamu, hatiku luluh dan sejuk."
begitukah? aku bahkan pernah tak percaya dan sengaja membuatmu marah
saat itu matamu memang merah, tapi amarah itu tak pernah keluar
kamu hanya mengepalkan tanganmu dan keraskan dagumu,
lalu terdiam dan menuju kamar sana yang sering kau sebut my studio
Sedangkan my studio tiap malam tak pernah gelap
penuh berpuluh kanvas bergores warna polesan kuas dan palet
begitu indah menyapu tersimpan amarah berbaur dalam berbagai warna
diatas kanvas putih yang tak lagi putih
bahkan aku pernah memasukinya, dan aku berpikir, indahmu dalam libasan warna mejikuhibiniu
itu membuatku takjub
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H