[caption caption="Sumber : peripirsandi.blogspot.com"][/caption]
Â
Kriiit! Kriit! Kriit!
Sepeda onthel yang ku naiki ini memang cerewet. Sepanjang jalan ini dia tak mau berhenti bicara dengan bahasa yang sama sekali tidak aku pahami. Kesal, akhirnya aku mempercepat kayuhanku. Tapi, dia malah makin bersemangat sambil berteriak-teriak meronta-ronta. Eh, tapi setelah aku pikir-pikir lagi, biarkan saja lah. Toh, selama ini ocehan-ocehannya sudah banyak membantu. Utamanya, saat aku ditugaskan oleh Juragan Sardi mengirim paket-paket ke wilayah yang letaknya lumayan jauh. Kesepian yang biasanya menyelinap di sepanjang perjalanan jauh bisa terobati dengan mendengarkan celoteh sepeda sialan ini. Seolah-olah dia ini mengajakku ngobrol, barangkali curhat. Kadang-kadang juga aku menanggapinya dengan manggut-manggut sambil mengayuh santai. Yah, mulai sekarang sebut saja dia Si Kumbang.
Si Kumbang ini pemberian Juragan Sardi, majikan tempat aku bekerja. Sebagai perangkat operasional, katanya, untuk digunakan saat bertugas mengantar-antar paket kiriman. Juragan memberikan sepeda itu cuma-cuma, seperti yang juragan lakukan juga pada Dudung, Tukul dan Pujo. Juragan memang orang baik. Meskipun kami bekerja untuk beliau, juragan juga memberikan penghidupan yang layak bagi pemuda-pemuda seperti kami. Juragan menyediakan kamar-kamar yang besarnya lumayan untuk ditinggali, juga kasur-kasur empuk yang nyaman untuk ditiduri. Aku betah hidup bersama juragan, meski sebenarnya aku tidak cocok juga dengan gaya berpakaiannya yang nyentrik dengan topi bundar ala sherif di kepalanya.
Aku yakin Dudung, Tukul dan Pujo pasti juga berpikiran sama. Bukan soal penampilan nyentriknya, tapi soal kenyataan bahwa Juragan itu orang baik. Dudung, bahkan, pernah bercerita tentang masa kecilnya yang menjadi gelandangan di pasar sebelum bekerja dengan Juragan Sardi.
"Kalau tidak dipungut Juragan waktu itu, pasti sampai sekarang aku masih jadi gelandangan. Bahkan, entah apa aku masih bisa hidup atau tidak," kenangnya.
Kesannya memang terlalu berlebihan, tapi aku tidak bisa menyangkal apa yang diceritakan Dudung. Aku pun juga merasakan hal yang sama. Dahulu kala, bahkan, juragan menyelamatkanku dari kecelakaan maut. Konon, saat itu aku tengah sekarat di sekitar sungai. Mobil yang aku dan keluargaku tumpangi terjun ke sungai itu dan semua anggota keluargaku tewas di tempat. Beruntung sekali, Juragan berhasil melarikanku ke rumahnya dan merawatku hingga pulih sampai sekarang.
-----------------------------------
Aku tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini pekerjaanku di jasa pengiriman barang milik Juragan Sardi menjadi super sibuk. Memasuki bulan ini, jumlah orang yang minta kirim paket semakin banyak. Juragan pun mau tidak mau juga dibuat kalang kabut melayani pesanan. Juragan memang mengurus bisnisnya ini sendirian tanpa bantuan pelayan atau kasir. Semua pelanggan dilayani dengan bertatap muka langsung dengan Juragan sendiri.
Sore ini, tepat pukul 05.00, setelah melewati hari-hari yang melelahkan, akhirnya aku mendapatkan tugas pengiriman terakhir. Kali ini aku bertugas mengantarkan paket berukuran agak mini : kotak persegi berukuran 11x12 cm kira-kira. Aku tersenyum lega setelah melihat bentuknya. Tugas terakhir yang super ringan untuk hari ini. Karena aku pikir benda itu masih bisa masuk kantong saku, aku memutuskan untuk tidak membawa tali pengikat. Toh, selain itu semua paket juga sudah selesai ku kirim. Maka, dengan begitu saat ini jadilah aku pesepeda bahagia, seperti orang-orang yang mengunjungi alun-alun tiap hari Minggu pagi sambil menggenjot sepeda mahal.
Ku tenteng Si Kumbang menuju ke halaman depan. Saat hendak melewati pagar, aku teringat sesuatu. Aku tiba-tiba ingin mengecek kembali alamat detail tujuan paket kiriman terakhir. Ku rogoh saku celanaku, mengeluarkan kembali kotak kecil itu.
"Jalan Raja Lele Gang Delanggu No. 19,"
Mulutku membaca sambil merapal.
"Jalan Raja Lele Gang Delanggu No. 19,"
Mulutku lagi-lagi merapalnya.
"Jalan Raja Lele Gang Delanggu No. 19?"
Rapalan kali ini disertai dengan nada penasaran. Alamat ini sepertinya tidak asing. Seingatku mungkin aku pernah beberapa kali mengirim barang ke alamat ini. Rasa-rasanya sih begitu, pikirku sembari memelintir jenggot kecilku sambil manggut-manggut. Entahlah. Aku memang pelupa. Daripada buang-buang waktu memikirkan ingatanku yang buruk, lebih baik segera menyelesaikan tugas hari ini untuk kemudian pulang dan beristirahat.
Kriit! Kriit! Kriit! Kriit!
Si Kumbang mencoba berkomunikasi denganku lagi. Ocehannya memang tak habis-habis selama seharian tadi tapi kelihatannya kali ini dia berbicara tentang hal yang lebih serius. Seperti yang sudah-sudah aku memang tak mengerti bahasa yang digunakannya, tapi kali ini aku bisa merasakan bahwa Si Kumbang tampaknya sedang gelisah. Ah, mungkin lebih tepatnya menangis. Atau mungkin dia sedang ketakutan. Ah, entahlah. Yang jelas kali ini dia agak berbeda. Aku bisa merasakannya karena sudah bekerjasama dengannya selama tiga tahun.