Mohon tunggu...
Wahyu Zaenudin
Wahyu Zaenudin Mohon Tunggu... karyawan swasta -

So Complicated! Nuff said!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pahit Manis Industrialisasi Musik Indonesia

6 Maret 2012   20:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:25 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Dalam persoalan cipta karya seni memang harus diakui bahwa Indonesia adalah satu diantara sedikit negara yang punya potensi untuk terus berkembang, bahkan di level internasional. Banyak seniman tanah air mampu berbicara di kancah internasional, seperti sebut saja penyair W.S. Rendra, penari Didik Nini Thowok, pelukis Affandi atau Erwin Gutawa, sang master orchestra. Dunia mengakui mereka sebagai seniman top karena kualitas skill dan karakter seni mereka yang cemerlang. Namun, di balik kehebatan putra-putra terbaik negeri ini tersebut segelintir masalah kemudian muncul ketika industrialisasi mulai masuk ke ranah seni.

Beberapa dekade ini, seni di Indonesia memang mulai akrab dengan industrialisasi karena industrialisasi itu sendiri dipandang mampu menjadi senjata ampuh guna mempertahankan eksistensi di mata publik. Dari pelbagai macam jenis aliran seni di Indonesia, seni musik adalah salah satu yang sukses menjadi hajat industri karena popularitas jenis kesenian ini sejak dahulu memang sangat lekat di hati masyarakat. Wajar apabila para pebisnis entertainment banyak mengincar sektor hiburan musik sebagai salah satu andalan untuk meraup keuntungan, salah satunya lewat acara-acara musik di televisi.

Memasuki tahun 2000-an hingga saat ini, industri musik Indonesia memang berkembang sangat pesat. Maraknya bisnis entertainment berkemasan acara-acara musik membuat para musisi dari seluruh penjuru Indonesia tergiur dan tertarik untuk ikut berpartisipasi di dalamnya. Grup-grup musik, baik grup vokal maupun band yang personilnya rata-rata didominasi kaum muda, silih berganti muncul di layar kaca. Seolah tak peduli akan identitas dan kenyamanan bermusik, mereka berlomba-lomba mencipta lagu-lagu easy listening dengan tujuan agar dapat diterima oleh masyarakat yang mayoritas buta nada. Label-label rekaman pun bermunculan dan berjuta kopi album dirilis di pasaran. Maka, bak gayung bersambut bisnis komersial musik negeri ini pun berkembang tanpa halangan berarti.

Indonesia telah menjelma menjadi surga bagi para musisi-musisi dadakan yang tenar berkat lagu easy listening bermusikalitas standar. Seolah tidak mau tahu dengan kualitas karya yang mereka sajikan, mereka hanya berharap akan banyak kucuran rupiah yang mengalir ke kantong pribadi dari hasil penjualan album dan RBT (Ring Back Tone) lagu mereka meski sebenarnya kebebasan bermusik mereka terkekang oleh hukum industrialisasi. Puluhan ribu grup band tercatat muncul setiap tahun kendatipun hanya beberapa diantaranya yang mampu menjaga eksistensi berkat dana promo yang terus mengalir.

Industrialisasi terhadap musik harus diakui telah berpengaruh terhadap kemurnian dan kejujuran hakiki dari seni. Hakikat musik yang sedia kala tercurah lewat syair-syair penuh makna dibalut melodi yang dinamis dan murni dari sanubari saat ini telah berevolusi menjadi retorika kata-kata yang dipadukan dengan akor-akor dasar. Ironisnya, evolusi musik seperti ini banyak menuai pujian dan dukungan karena dianggap sebagai babak baru perjalanan industri musik negeri ini.

Melihat fenomena ini, saya teringat lirik lagu Rihanna : “It’s not about money money money.” Ketika para musisi berlabel papan atas di Indonesia memutuskan untuk menuruti kata-kata produser dengan memprioritaskan kantong pribadi mereka daripada kualitas karya mereka, maka inilah yang dinamakan Celaka bagi panggung musik Indonesia. Padahal, seorang musisi yang dicintai di negaranya memiliki tanggung jawab moral terhadap pencitraan musik secara internasional. Terbukti, dari ratusan nama musisi atau band asal Indonesia, hanya beberapa yang mampu berbicara di level internasional, seperti salah satunya Agnes Monica. Bahkan, dari beberapa nama musisi yang pernah go internasional, justru muncul nama-nama di luar top 40 Indonesia, semisal Shaggy Dog, Burgerkill, Gugun Blues Shelter, Superman Is Dead atau The S.I.G.I.T.

Suka atau tidak suka, begitulah kondisi perkembangan musik tanah air. Ironi demi ironi selalu muncul mengiringi perjalanannya. Barangkali benar adanya kalimat “Dunia ini hanyalah panggung sandiwara”, sama halnya dengan para pelaku musik yang senantiasa bersandiwara di atas panggung industri. Sebagai penonton, publik hanya bisa menilai dan mengapresiasi karena sesungguhnya penilaian dan apresiasi dari masyarakat adalah sudut pandang yang paling objektif.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun