Mohon tunggu...
Wahyu Nugroho
Wahyu Nugroho Mohon Tunggu... -

Staf Pengajar Kimia di Universitas Palangkaraya, belajar menulis dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Inferiority Complex

18 Mei 2011   09:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:30 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bangsa terjajah mengagumi bangsa penjajah, mencontek tanpa tanda tanya? Mengapa terjadi?

Bung Karno, dalam bukunya yang terkenal “Di Bawah Bendera Revolusi” mengindentifikasi penyakit bangsa yang terjajah sebagai bermental inferiority complex. Terlalu lama dijajah membuat kepercayaan akan kemampuan dan jatidiri menipis mendekati titik nol. Tak sadar bahwa setiap manusia dilahirkan merdeka, dan berhak untuk tetap merdeka sepanjang hayatnya.

Mental ini membuatnya takut sejajar dengan bangsa lainnya, takut untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Takut untuk menentukan nasibnya sendiri. Takut untuk mengatakan “ini tidak benar” meskipun tahu ketidakbenaran telanjang di hadapan. Rasa takut telah membelenggu.

Mental ini membuatnya lupa menghargai nikmat yang telah dianugerahkan untuknya. Emas dan permata, minyak bumi, gas dan tambang lainnya diobral, dijual murah kepada bangsa penjajah. Meski sejatinya kaya, karena inferiorty complex maka ia miskin menderita. Pun demikian tentang budaya, karena inferiority complex budaya penjajah dicontek tanpa seleksi. Budaya sendiri menjadi anak tiri, akhirnya hilang identitas diri. Maka setiap yang berasa dan berwajah penjajah selalu wah.

14 abad lampau, kaum yang buta huruf bangkit…, meski di sekitar adalah negeri adikuasa [Romawi dan Persia], mereka tak takut, tak merasa rendah diri. kemerdekaan diri memberikan keberanian. Sadar bahwa pengetahuannya tertinggal, maka mereka mengejar. “bacalah dengan [menyebut] nama Rabbmu Yang menciptakan”[ QS. 96: 1]…adalah sebuah perintah nyata, adalah sebuah energi. Maka ilmu pengetahuan dikejar dimanapun berada. Tak peduli siapa yang memiliki.

Tak berbilang lama…, ilmu pengetahuan tergenggam, tak sekedar menerima warisan pengetahuan tetapi mengkritisi, dan memproduksi pengetahuan baru. Kejayaan diraih, berlimpah cahaya dan kemakmuran. Masa dimana ilmu dan iman tak terpisahkan, ilmu dan amal tak terpisahkan. Akal-akal bekerja mewariskan pengetahuan sepanjang masa. Imam Syafi’i, Al Ghazali, Ibnu Sina, Jabar Ibnu Hayyan…, meski telah berbilang abad, namanya masih harum saja.

Masa berganti…, hari-hari ini kembali kita harus jujur, ilmu pengetahuan ada di genggaman bangsa-bangsa penjajah. Di Eropa dan Amerika, di Jepang, Korea dan China. Dengan ilmu pengetahuan mereka menjajah ekonomi, politik, budaya, bahkan pikiran kita hendak dijajahnya pula.

Bukan salah mereka kita terjajah…, tetapi karena kita tak mau merdeka. Karena inferiority complex.

karena lama terjajah akhirnya meniru penjajah

korupsi-isme dan feodalisme

atasan dijadikan tuan, rakyat dijadikan bawahan

pegawai korupsi karena di-izinkan atasan

pegawai korupsi karena atasan korupsinya lebih besar

karena lama terjajah akhirnya meniru penjajah

korupsi-isme dan feodalisme

atasan dijadikan tuan, rakyat dijadikan bawahan

murid mencontek karena di-izinkan guru

murid mencontek karena gurunya [dulu] juga mencontek

karena lama terjajah akhirnya meniru penjajah

korupsi-isme dan feodalisme

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun