Mohon tunggu...
Wahyu Aji
Wahyu Aji Mohon Tunggu... Administrasi - ya begitulah

Insan yang suka mendeskripsikan masalah dengan gaya santai

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Suka Menafsirkan Suatu Bencana Sekehendak Hati

27 Desember 2018   11:32 Diperbarui: 27 Desember 2018   11:57 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Baru baru ini kita dikejutkan dengan bencana tsunami yang menimpa wilayah pesisir Banten dan Lampung Selatan. Tsunami diduga kuat dikarenakan aktivitas Gunung Anak Kratau. Setidaknya ratusan orang meninggal dan pemukiman porak poranda akibat dampak hempasan gelombang tsunami.

Bencana tsunami ini mendapatkan perhatian tak hanya dari dalam negeri tapi juga luar negeri. Ucapan belangsungkawa dan semangat kepada para korban terus mengalir dijejaring sosial. Penanganan pasca bencana pun sigap dilakukan untuk mengurangi beban para korban. Namun ucapan simpati dari berbagai penjuru juga diimbangi oleh ucapan ucapan tidak nyaman untuk dipertontonkan. Apalagi kalau bukan pernyataan pernyataan provokotif dan klaim atas bencana yang datang.

Jika kata para pakar dan ahli Geofisika mengatakan bahwa ini semua diakibatkan oleh gejala gejala alam yang berhubungan seperti aktivitas vulkanis, maka golongan yang suka mentafsirkan suatu bencana dengan sekehandaknya akan mengatakan semua ini adalah azab. Memang azab itu benar adanya dan sudah difirmankan oleh Tuhan pasti akan datang kepada setiap hambaNya yang melampaui batas. Tetapi dengan menyatakan bahwa suatu bencana murni adalah azab, meskipun dari kalangan agamis sekalipun sungguh tidak bijak.

Bukan bermaksud menggurui, tetapi perkara azab atau tidak suatu kejadian hanyalah Tuhan yang tahu. Jika orang orang ini menafsirkannya dengan segala logikanya, maka apalah gunanya agama yang ia pelajari tentang keagungan Tuhan. Mungkin saja bencana itu adalah cobaan tersediri bagi mereka, justru yang baik baik saja mungkin masih diberikan waktu untuk menginstropeksi diri sebelum ketentuanNya juga datang.

Nada nada keras tentang bencana ini juga sangat santer dengan dukungan arus informasi. Diberbagai media sosial bahkan pernyataan pernyataan yang tidak menggambarkan rasa simpati ini tetap saja laris diminati. Tak hanya bencana baru baru ini, pokoknya segala peristiwa alam yang menimpa saudara saudara kita akan dikatakan sebagai azab. Lalu, dengan berbekal beberapa argumen dan sedikit kutipan ayat, dijadikanlah sebuah pernyataan resmi untuk bisa diaminkan oleh golongan golongan yang sejenis. Serta tak lupa untuk dishare agar masyarakat Indonesia  yang belum tercerahkan dapat diberikan hidayah.

Sebenarnya permasalahan seperti ini baru saja muncul ke permukaan. Dulu dulu saat bencana besar lainnya terjadi seperti tsunami Aceh tak ada yang seperti sekarang. Faktor zaman juga menentukan. Apalagi dengan mudahnya akses dan kebebasan untuk berpendapat juga menjadi faktor tambahan. Anehnya lagi, sangkut paut antara bencana dan azab tak hanya sampai situ saja. Bahkan ada yang mengait ngaitkan dengan unsur pemerintahan. Pemimpin yang dzalim, salah pilih pemimpin, hidupkan khilafah dan sebagainya menjadi jualan yang laris diserbu oleh orang orang khususnya diruang media sosial.

 Entah apa yang dipikiran mereka, tetapi saking bencinya dengan suatu golongan menjadikan segala rasa kemanusiaan dalam diri sirna. Bukannya ikut berduka, tetapi malah menambah derita. Bayangkan jika segala pernyataan tentang azab dan hukuman itu dilihat atau didengar oleh keluarga korban. Tentunya semakin menambah kesedihan dan keterpurukan mereka.

Politisasi bencana memang sudah sangat marak. Karena faktor tersebutlah yang dapat menjadi bahan kampanye untuk sebagian oknum. Rasanya tak perlu lagi untuk membahas permasalahan ini. Kita sudah paham betul akan momentum yang sedang terjadi di Negara kita kedepannya dalam pemilihan eksekutif. Hanya saja, apapun bentuk politisasinya mestinya dikaji ulang sumbernya. Tak lantas percaya dengan sebaran sebaran di grup WA atau yang tiba tiba mencantumkan situs tertentu tanpa ada penelurusan sebelumnya.

Setidaknya politiasasi tak lebih buruk daripada yang bernada agama. Menjadikan agama sebagai pembenaran suatu pernyataan individu. Pada hakikatnya agama untuk menjadikan manusia lebih beradab. Baik bertingkah laku maupun bertutur kata. Tetapi sebaliknya, sekarang agama untuk beberapa golongan justru dijadikan pembenaran suatu tindakan. Dengan hanya mempelajari satu ayat saja tanpa tafsir lanjutan sana sini seolah sudah menjadi tangan kanan Tuhan di dunia dan sekehendaknya memberi fatwa.

Hentinkan segala tindakan bodoh tak manusiawi seperti mendalilkan suatu bencana sekehendak hati. Azab atau apapun itu adalah kuasa Tuhan. Tuhan yang tahu makna suatu musibah diturunkan. Kita sebagai manusia hanya dapat berpikir dan merenung. Jika memang perbuatan yang telah dilakukan salah maka segeralah bertobat dan bukan menjadi orang orang yang merasa sudah suci lantas tak sadar diri untuk intropeksi diri. Selayaknya sesama manusia, baik apapun manusia itu perbuatannya mestilah diberikan balasan yang baik dan jangan disakiti. Karena sekali lagi, urusan hukum menghukum amal perbuatan manusia itu adalah urusan yang diatas bukan urusan manusia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun