Mohon tunggu...
Wahyu Hidayanto
Wahyu Hidayanto Mohon Tunggu... wiraswasta -

Wong Ndeso, Wong Cilik, Rakyat Jelata yang Rindu Terwujudnya Keadilan dan Kemakmuran

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kabinet Jokowi-JK: Kabinet Revolusi Mental

17 September 2014   03:46 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:29 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak dicalonkan menjadi presiden oleh PDIP, Pak Jokowi sudah mulai mengkampanyekan gerakan revolusi mental. Sebagai wong cilik jujur saya masih bingung dengan makna, maksud dan sasaran sebenarnya revolusi mental itu. Sampai-sampai saya menanyakan para politikus dan akademisi yang masuk dalam tim pemenangan pasangan Jokowi-JK melalui akun twitter mereka, termasuk Pak Jokowi dan Pak Jusuf Kalla pun saya tanya, namun belum mendapatkan penjelasan detail dari mereka mengenai apa makna, maksud dan siapa sebenarnya yang akan menjadi sasaran revolusi mental itu.

Di tengah rasa penasaran dan kebingungan saya tentang revolusi mental, saya mencoba searching, bertanya sama mbah google, akhirnya didapat beberapa artikel diantaranya ada di www.jokowi.id dan www.kompasiana.com. Di sana ditemukan penjelasan mengenai revolusi mental, baik dari Pak Jokowi langsung, penulis undangan tim pemenangan dan kompasianer. Dari penjelasan yang ada, sebagai wong cilik tetap saja saya belum memahami makna revolusi mental seutuhnya.

Menurut Pak Jokowi, lewat artikelnya di www.jokowi.id, beliau menjelaskan bahwa penggunaan istilah ”revolusi” tidak berlebihan. Sebab, Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang. Revolusi mental beda dengan revolusi fisik karena ia tidak memerlukan pertumpahan darah. Namun, usaha ini tetap memerlukan dukungan moril dan spiritual serta komitmen dalam diri seorang pemimpin—dan selayaknya setiap revolusi—diperlukan pengorbanan oleh masyarakat.

Sedangkan Karlina Supelli mengawali penjelasannya dengan mengoreksi kekeliruan dalam memahami pengertian mental (dan bahkan ada yang menyempitkannya ke kesadaran moral) membuat seolah-olah perubahan mental hanyalah soal perubahan moral yang tidak ada hubungannya dengan hal-hal ragawi seperti soal-soal struktural ekonomi, politik, dsb. Padahal kesadaran moral, atau hati nurani yang mengarahkan orang ke putusan moral yang tepat, hanyalah salah satu buah daya-daya mental yang terdidik dengan baik.

Karlina Supelli melanjutkan penjelasannya mengenai revolusi mental, menurutnya yang ingin dibidik oleh ‘Revolusi Mental’ adalah transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas, cara berpikir, cara merasa dan cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. Etos ini menyangkut semua bidang kehidupan mulai dari ekonomi, politik, sains-teknologi, seni, agama, dsb.

Dari penjelasan di atas revolusi mental bertujuan untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang buruk yang terjadi selama ini. Menurut kompasianer, Akhmad Sujadi yang perlu direvolusi mental itu bukan rakyat kebanyakan. Petani di kampung, pedagang di pasar dan buruh pabrik. Saya kira mereka umumnya bermental baik. Jujur, ikhlas dan rajin dalam bekerja. Mereka ini para pelaku ekonomi riil yang umumnya menggunakan kemampuan sendiri untuk usaha dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Menurutnya revolusi mental itu ditujukan kepada lembaga negara, kementerian, pemda dan beberapa BUMN. Mungkin inilah yang perlu dilakukan revolusi mental. Jika kita melihat pemberitaan di media menurutnya mungkin tepat bila sasaran revolusi mental adalah lembaga yang nantinya di bawah presiden secara langsung, yaitu jajaran kabinet Jokowi-JK.

Dari pemberitaan yang sedang berkembang, struktur kabinet Jokowi-JK sudah diumumkan, bahkan ada isu nama-nama menterinya sudah mulai beredar. Seorang kompasianer, Aqila Muhammad mengkritik tentang portur kabinet yang telah diumumkan oleh Pak Jokowi. Pak Jokowi memutuskan jumlah kementerian tetap 34 dengan tiga menteri koordinator. Komposisinya, 18 kementerian diisi kalangan profesional dan 16 diisi orang profesional dari parpol.

Aqila Muhammad mengajak kita untuk menbandingkan komposisi kabinet Jokowi-JK dengan komposisi kabinet SBY, Indonesia Bersatu jilid I. Di kabinet itu ada 34 kementerian/departemen. Sebanyak 19 kementerian diisi kalangan profesional dan 15 diisi orang parpol. Lalu di Kabinet Indonesia Bersatu jilid II juga ada 34 kementerian. Sebanyak 16 kementerian diisi orang profesional dan 18 kementerian diisi orang-orang parpol. Begitu juga dengan tiga menteri koordinator, yang sekarang ini diisi satu orang parpol dan dua profesional.

Menurutnya postur kabinet yang baru saja dirilis tim Jokowi/JK hanya sebagai kabinet yang ada tambal sulam saja. Tak ada perubahan yang baru dan berarti. Malah jika ditilik dari arsitektur dan komposisi kabinet Jokowi, sangat mirip dengan kabinet SBY. Bisa dibilang, kabinet Jokowi “SBY banget”.

Menurut saya bukan masalah sama atau tidak dengan yang sebelumnya, ada perubahan yang baru atau tidak, tapi lebih pada kinerja mereka nantinya. Ada perubahan, tapi kalau kerjanya lebih buruk kan malah akan menyebabkan semakin terpuruknya Indonesia tercinta kita ini. Toh Pak Jokowi jauh-jauh hari sudah mengkampanyekan revolusi mental, sasaran revolusi mental yang digagas Pak Jokowi kan bukan fisiknya, tapi perubahan mendasar dalam mentalitas, cara berpikir, cara merasa dan cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari yang didukung oleh moral dan spiritual.

Jadi, revolusi mental harus dimulai dari jajaran menteri kabinet. Mental-mental koruptor harus dibumi hanguskan. Mental-mental londo gosong (antek-antek asing) harus diratakan dengan tanah. Mental-mental serakah, yang sudah jadi ketua partai tapi pingin juga jadi menteri (rangkap jabatan) harus disingkirkan dari peredaran. Mental-mental pencari proyekan harus dienyahkan dan mental-mental buruk yang lain harus ditiadakan.

Sepertinya dari kemarin belum ada nama kabinet Jokowi-JK seperti susunan kabinet-kabinet yang sebelumnya. Kalau boleh mengusulkan, nama kabinetnya “Kabinet Revolusi Mental” saja. Karena pak presiden baiknya harus memulai revolusi mental dari jajaran menteri yang akan membantunya dalam mengemban tugas negara.

Salam Hangat!!

Jambi, 16 September 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun