Mohon tunggu...
Wahyu Awaludin
Wahyu Awaludin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

PPSDMS Angkt.V | co-admin @anakuidotcom | Ketua BEM FIB UI 2011 | Tim Ahli BEM FIB UI 2012 | Freelance Writer | Social Media Player | Pembelajar | A Dreamer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mozaik Masa Kecil Helvy: Sebuah Kawah Candradimuka yang Tak Terganti

12 April 2010   01:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:51 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ini adalah esai yang diikutkan untuk lomba esai HTR. Moga esai ini bermanfaat bagi pembaca.

Mempelajari kisah hidup seseorang selalu mengasyikkan, apalagi jika orang tersebut adalah orang besar. Di sana ada kebijaksanaan yang bisa kita dapat; ada mutiara kehidupan yang dapat kita reguk. Mengutip sebuah kata mutiara, dengan mempelajari biografi seseorang, kita tak perlu turut jatuh ke lubang yang sama dengan si tokoh demi mendapatkan pencerahan. Kita cukup membaca pengalamannya dan kita akan mendapat ilmu kehidupan. Dan kisah masa kecil adalah kisah yang paling menarik hati saya.

Masa kecil seseorang sungguh layak untuk dipelajari, karena masa kecil adalah dasar untuk melewati kehidupan di masa dewasa. Prinsip-prinsip yang orang itu cengkeram dengan kokoh, paradigma-paradigma yang dia yakini dengan tegas, dan karakter-karakter dalam dirinya yang melekat, semua itu dibangun ketika mereka masih anak-anak dan remaja. Mengenang masa kecil juga bisa menjadi ajang untuk mengenal siapa diri kita. Dalam pola pikir khas bocah, permainan lucu, dan kegiatan-kegiatan anak kecil, tanpa sadar mereka sedang meletakkan pondasi hidupnya untuk masa dewasa.

Tengok saja misalnya seorang Richard Branson, pendiri Virgin Group. Orang yang memiliki kekayaan $2.8 milyar ini sudah mulai bekerja di usia 15 tahun. Pada saat itu ia masih bersekolah. Orang-orang menyangsikannya, tapi toh ia tetap melaju. Ketika ia drop out dari SMA-nya, ia tak putus asa dan tetap melaju tanpa henti. Akhirnya, kini ia menjadi salah satu orang terkaya di Inggris[1]. Tidak jauh berbeda dengan Lee Iacocca. Walaupun usianya masih belasan tahun, ia bekerja di sebuah toko buah-buahan dan sayur-mayur milik seorang Yunani yang bernama Jimmy Kritis. Lee harus bangun sebelum fajar untuk pergi ke pasar grosir dan mengambil barang dagangan. Untuk pekerjaan yang memakan hampir 16 jam per hari itu, Jimmy hanya membayar Lee 2 dolar. Namun, Lee tetap tak menyerah. Toh, ketakmenyerahan itu kini membuahkan hasil: ia dikenal sebagai CEO Chrysler[2]. Pengalaman-pengalaman masa kecil mereka tak diragukan lagi berpengaruh besar pada diri mereka hingga dewasa.

Di Indonesia, kita bisa mengambil contoh dari Soekarno. Seringkali ketika Soekarno masih bocah, mungkin sekitar dua tahun, sang ibu selalu bangun sebelum fajar, lalu duduk tenang menghadap ke Timur. Ia menanti matahari terbit. Ketika Soekarno terbangun dan mendekati beliau, sang Ibu memeluknya dan berkata, "Engkau dilahirkan pada saat fajar. Engkau akan menjadi pemimpin rakyatmu, orang yang mulia. Jangan lupakan bahwa kau adalah putra sang fajar". Sejak kecil Soekarno sudah bergaul dengan rakyat kecil[3], cocok dengan perannya di masa mendatang. Dan memang, semua orang Indonesia mengenal siapa Soekarno: presiden pertama Republik Indonesia.

Helvy Tiana Rosa dilahirkan di Medan, 2 April 1970. Lebih dikenal sebagai pendiri Forum Lingkar Pena (FLP) dan kini Helvy menjadi dosen UNJ. Pengenalannya cukup sampai situ saja, karena memang sudah tidak perlu diperkenalkan lagi. Saya rasa setiap orang cukup mengetahui siapa itu Helvy. Namun, yang menarik adalah, seberapa banyak sih orang yang mengetahui kisah masa kecil Helvy? Saya rasa tidak terlalu banyak. Padahal seperti yang saya bilang di atas, penelusuran masa kecil menjadi begitu relevan untuk mengetahui proses pembentukan dasar-dasar skill, karakter, dan ke"diri"an seorang Helvy. Sebagai penulis, proses-proses penempaan apa yang telah ia lakukan pada waktu kecil dan remaja sehingga ia mampu menjadi dirinya seperti sekarang? Mempelajari masa kecil dan remaja Helvy sama saja dengan membuka mata kita bahwa keberhasilan itu memang butuh perjuangan yang dimulai dari sedini mungkin dan berjalan tanpa henti. Atau jika kita meminjam istilah dari John C Maxwell: "Sukses dibangun setiap hari[4]."

Helvy terlahir dari keluarga sederhana. Saking sederhananya, jika ingin makan, Helvy, Asma Nadia (adiknya yang juga penulis), dan Eron (adiknya yang sekarang menekuni dunia musik klasik), harus membagi sebuah telur menjadi tiga[5]. Ibu dan ayah Helvy begitu suka membaca, dan tampaknya kebiasaan itu menurun ke Helvy kecil. Buku-buku yang sudah dibaca disewakan, lalu uang sewanya dibelikan buku lagi.[6]

Helvy kecil mempunyai hobi unik: memperhatikan kakeknya yang menulis. Seringkali selama seharian ia memandangi kakeknya yang terus menulis sekurang-kurangnya selama dua jam tiap hari di ruang kerjanya. Helvy kecil juga sering membongkar-bongkar buku kakeknya sampai-sampai suatu ketika kakeknya memangku Helvy di hadapan teman-temannya dan berkata, "ini dia orang yang suka membongkar buku dan melihat saya menulis". Kakeknya mempunyai jadwal rutin: mengangkat Helvy ke atas meja untuk pidato di hadapan teman-teman sang kakek. Dengan logat yang cadel, Helvy kecil berpidato dengan semangat dan setelah itu kakeknya akan bertepuk tangan paling keras. Bayarannya cukup menguntungkan: buah kana dan kerupuk merah. Helvy mengakui bahwa kakeknya lah yang membuatnya ingin menjadi seorang penulis.

"Kakek lah...", tutur Helvy. "Orang pertama yang membuat saya ingin menjadi penulis. Sayang, beliau meninggal karena sakit ketika saya bahkan belum bersekolah."[7]

TIM yang Penuh Kenangan

Helvy yang ingin menjadi penulis akhirnya mulai berpikir yang "aneh-aneh". Saat kelas 2 SD, Helvy mengajak Asma untuk mencari uang dengan cara menulis di majalah. Namun, tradisi memberi uang bagi cerita yang dimuat saat itu belum ada. Honornya masih berupa buku. Akhirnya, hadiah buku yang diterima Helvy dijual untuk biaya sekolah. Kelas 3 SD inilah puisi Helvy untuk pertama kalinya dimuat di majalah anak-anak dan ketika kelas 5 SD untuk pertama kalinya dimuat di Koran nasional (Sinar Harapan Minggu).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun