Mohon tunggu...
Agung Wahyono
Agung Wahyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

I am not a man of too many faces, the mask i wear is one......

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Antara Desi si Penjual Slondok dari Yogyakarta dan Hyong-jin si Pemetik Persimmon dari Sangju...

23 Januari 2014   15:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:32 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="536" caption="merdeka.com (Desi si Penjual Slondok)"][/caption] Sebuah artikel di Kompas online pagi ini yang berjudul "Desi si Penjual Slondok" menarik perhatianku. Saat membaca artikel itu emosiku serasa diaduk-aduk. Karena sedemikian menarik dan menginpirasi, semua link artikelnya aku lahap habis. Disaat teman-temannya sedang keranjingan gadget dan bergaya hidup hedonis, sebaliknya dia sibuk mencari uang untuk membantu orang tuanya dengan berjualan slondok. *** Namanya Desi Priharyana, adalah siswa SMKN 2 Yogyakarta yang setiap harinya berangkat kesekolah dengan mengayuh sepeda yang belakangnya dilengkapi dengan "gerobok" (keranjang) berisi slondok (makanan khas Yogyajarta). Desi berasal dari keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi. Oleh karena itu, sejak SD dia telah membantu ayahnya yang bekerja sebagai kuli bangunan di Sleman. Pagi-pagi dia berangkat kesekolah sambil menjajakan slondok-nya. Disaat istirahat di sekolah, dia juga menjajakan slondoknya ke teman-teman maupun gurunya. Setiap hari dia bisa menjual slondok antara 30-50 bungkus dengan keuntungan Rp. 1.000,- per bungkus. Rata-rata sebulan dia bisa mengumpulkan uang Rp. 250.000 dari berjualan slondok, yang kemudian digunakan untuk membayar uang sekolahnya dan juga adiknya. Trus siapa Hyong-jin? Hyong-jin adalah teman satu kamar (roommate) saat aku pertama kali datang di Kampus Sangju, Korea. Anaknya tinggi besar, dan tidak banyak bicara, karena memang sulit bicara dalam bahasa inggris. Aku sendiri saat itu msh "nol pothol" istilah orang Jawa yang artinya tidak bisa sama sekali bicara dalam bahasa Korea. Setiap hari sabtu dan minggu aku lihat dia berangkat jam 6, pagi sekali untuk ukuran anak Korea. Saat berangkat dia selalu menggunakan pakaian yang sama. Pulangnya biasanya diatas jam 6 sore dengan pakaian yang lusuh dan kotor. Suatu saat aku lihat dia pulang membawa tas plastik yang berisi buah Persimmon. Buah Persimmon adalah buah yang menjadi unggulan kota Sangju, rasanya manis jika masak tetapi sepat jika belum masak penuh. Kalo di Indonesia buah ini dikenal dengan nama "Kesemek" atau Diospyros kaki (nama latin). Ternyata dia bekerja part time atau istilah orang Korea "arbeit", sebagai pemetik buah Persimmon. Makanya, bajunya selalu lusuh dan kotor ketika datang, apalagi selepas hujan turun.

[caption id="" align="aligncenter" width="545" caption="www.victory-over-diseases.com (Persimmon/Kesemek)"]

www.victory-over-diseases.com (Persimmon/Kesemek)
www.victory-over-diseases.com (Persimmon/Kesemek)
[/caption] Kerja paruh waktu, part time, atau "arbeit" sangat umum dilakukan oleh mahasiswa Korea yang kebanyakan berasal dari keluarga yang cukup mampuh secara ekonomi. Mereka tidak pernah malu atau rendah diri bekerja seperti Hyong-Jin yang jadi pemetik Persimmon, atau bekerja jadi pelayan restoran, bahkan bekerja membersihkan kantin Kampus. Mereka sepertinya malah lebih bisa menerapkan istilah yang sering kita dengar; "kenapa malu wong gak nyolong kok". Sebaliknya hal tersebut malah menjadi sesuatu yang luar biasa jika terjadi di Indonesia, seperti cerita tentang Desi si Penjual Slondok itu. Tidak jarang anak-anak seperti Desi ini dipandang rendah dan dilecehkan atau sekedar mendapat tatapan aneh dari anak-anak sebayanya. Apakah ada yang salah dengan budaya kita? ataukah kita telah salah mendidik anak kita? sehingga menjadi pribadi-pribadi yang konsumtif dan hedonis? Mudah-mudahan ini bisa menjadi renungan kita bersama... Salam... (Sangju, 23/1/2014; 04.38 pm)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun