Sumber : Sejatine PSM
Kalau bicara mengenai hakekat tentu dalam pembahasanya bicara juga mengenai hal – hal yang menyangkut persyaratan terjadinya satu bentuk atau satu keadaan. Seperti hakekat dari stang (stir) pada sepeda yaitu ujud nyata dari satu benda yang menunjukkan dan membuktikan bahwa benda tersebut benar adanya dan terbukti secara empiris.
Syarat dikatakan sebagai sebuah sepeda tentu juga harus memenuhi standar kelengkapan tertentu hingga bisa dikatakan sebagai sepeda. Dan tentu ada ujud dari berbagai komponen sehingga membentuk satu benda yang disebut sepeda. Disamping itu sebuah sepeda pasti juga membutuhkan tata cara atau aturan main dalam proses pemasangan komponennya, dan tidak menyalahi aturan pemasangan. Jadi dari bahan pembentuk sampai proses pemasangan harus tepat sesuai yang distandarkan sehingga layak dikatakan itulah sebuah benda yang disebut dengan sepeda.
Analog tersebut untuk menjelaskan bahwa dalam ujud manusia sebenarnya juga terdiri dari berbagai komponen penyusun yang masing – masing memiliki fungsinya sendiri – sendiri. Dan dari masing – masing komponen kemanusiaan tersebut memerlukan perlakuan sendiri – sendiri. Bagaimana bisa memperbaiki proses pengapian yang terganggu pada sepeda motor kalau tidak tahu dan faham mana perangkat untuk pengapian pada sepeda motor.
Gambaran tersebut untuk memudahkan di dalam memahami hakekat kemanusiaan yang ada pada manusia. Dalam ayat Al Qur’an atau kitab suci yang lain secara tersirat menyebutkan perangkat atau komponen pembentuk ujud dari manusia. Karena semua pelajaran yang menyangkut hal – hal yang terkait masalah kemanusiaan pada dasarnya bersumber dari kitab suci atau dengan kata lain berasal dari wahyu Ilahi. Dengan melalui wahyu itulah Tuhan YME (Allah SWT) mengabarkan kepada manusia tentang nama dari organ penyusun dan pembentuk dari ujud manusia.
Memang sebagian besar isi Al Qur’an berisi mengenai cerita sejarah orang – orang tempo dulu sebagai sebuah I’tibar yang bisa dijadikan sebagai pelajaran dan ilusterasi. Hal – hal yang menyangkut mengenai komponen – komponen kemanusiaan selalu di sampaikan secara tersirat, karena disitu ada rahasia - rahasia Tuhan. Yang hanya akan Tuhan bukakan kepada orang – orang yang bersungguh - sungguh menjalankan perintah – perintahNya dan menjauhi larangan – laranganNya dengan konsisten. Sebab pemahaman mengenai ajaran Tuhan semakin tinggi akan semakin lembut dan halus hingga tak terasa dan tak terduga sama sekali oleh kemampuan akal manusia.
Itulah kenapa dalam belajar ilmu agama tidak dibolehkan difahami dan diterjemahkan menurut persepsinya sendiri dan benarnya sendiri. Karena makna – makna ayat yang tertulis dalam Al Qur’an ataupun dalam kitab suci yang lain pada dasarnya bersifat universal. Disamping kita harus sadar dan menyadari kemudian mengakui dengan sepenuh hati bahwa hal – hal yang terkait dengan unsur penyusun organ kemanusiaan hanya Tuhanlah yang tahu. Lalu bagaimana supaya kita tahu dan faham akan unsur tersebut, tentu melalui orang tertentu yang telah mendapat kepercayaan dari Tuhan. Dalam hal ini bisa melalui para Nabi-Nya, Rosul-Nya, Wali-Nya, dan melalui orang yang telah Tuhan kehendaki sehingga mampu menangkap Ilham atau berita dari Tuhan SWT yang mengajarkan hal – hal yang menyangkut tentang jati diri manusia.
Karena jalan menuju Tuhan hanya Tuhan sendiri yang tahu, jadi manusia tahunya akan jalan Tuhan juga dari Tuhan, untuk itu jangan suka merekayasa ajaran Tuhan menurut seleranya sendiri. Karena ajaran Tuhan pasti bersifat universal tidak bersifat parsial itu dasar pijakannya, sebab semua manusia memiliki hak dan wajib yang sama serta sama – sama memiliki kemerdekaan menentukan jalan hidupnya sendiri.
Keuniversalan menjadi sifat dasar dari ajaran yang datang dari Tuhan (Allah SWT). Jadikalau keuniversalan tidak ada itu pasti datang dari hasil rekayasa manusia yang dinisbatkan ke dalam agama, karena pengaruh kebesaran anggapan diri merasa paling tahu dan faham ajaran Ilahi (agama), sehingga berani membuat rekayasa pribadi yang dimasukkan ke dalam ajaran agama.
Dalam memahami ajaran agama atau suatu keilmuan bisa dianalogkan dengan perjalanan seseorang ke suatu tempat, sebut saja tempat tersebut A. Dalam perjalanan menuju ke arah A pasti menemui berbagai tempat dan berbagai hal sebut saja Z, Y, X, dan seterusnya sampai ke tempat A. Ketika seseorang baru sampai X ketemu seseorang yang sudah sampai G tentu akan berbeda apa yang diketahui dan dirasakan. Tapi ketika seseorang yang sudah sampai di G ketemu juga yang berada diposisi G tentu akan memiliki pemahaman dan pengetahuan (penilaian) yang sama (penilaian yang universal) tentang tempat tersebut.
Karena itu dalam mempelajari ajaran agama jangan dulu meyakini apa yang telah difahami sebagai pedoman secara harga mati atau dalam istilahnya ‘ilmu pokoknya’. Sehingga menutup pemikiran dan hati kita dari pemikiran dan keterangan yang datang dari luar. Padahal masukan yang datang dari orang lain atau kelompok lain bisa jadi itulah yang benar dan tepat, sebab kemungkin si pembawa berita telah berjalan lebih jauh dari kita.
Jadi dalam mencari hakekat sebuah nilai jangan pernah berpedoman yaitu pokoknya harus seperti apa yang saya pahami dan telah saya yakini. Karena semestinya apa yang kita yakini haruslah memiliki dasar pijakan yang riil yang bisa diterima logika akal sehat (bisa dinalar) yaitu menganudng nilai – nilai universalitas. Karena hidup ini diciptakan bukan seperti permainan judi dan juga bukan satu proses kebetulan, semua telah ada dalam rencana Tuhan.
Contohnya ada kalimat menjelaskan mengenai roda, tentu ada ujud dan ada bukti secara nyata yang menyatakan itulah yang dikatakan roda, sehingga membuat kita yakin secara haqqul yaqin. Jadi tidak ada istilah pokoknya roda, terus yang dimaksud dengan roda itu seperti apa, kan harus tahu dan faham baru bisa memfungsikanya.
Begitu pula kalau bicara mengenai hakekat kemanusiaan harus tahu dan faham, yakni tahu komponennya dan faham akan kegunaan dan fungsi dari komponen tersebut. Seperti halnya dalam Al Qur’an surat Al Alaq secara tersirat menyebutkan mengenai komponen manusia. Kemudian di ayat yang lain menerangkan tentang Nabi Musa AS yang menerima wahyu di gunung Tursina, itulah kalimat dalam ayat Al Qur’an yang disampaikan dalam bentuk simbul, yakni Gunung Tursina. Itulah rahasia Tuhan dengan segala Ke-Agungan-Nya, maka kenapa ada manusia pilihan yaitu manusia yang memiliki kemampuan menangkap hal – hal yang tersirat dalam bentuk simbul dan perlambang.
Itulah bukti keadilan Tuhan terhadap semua makhluk-Nya, jadi Tuhan dan para malaikat-Nya tidak tebang pilih atau pilih kasih terhadap manusia. Siapapun akan diberi sesuai haknya kalau mampu membeli dagangan Tuhan. Yang Tuhan tawarkan melalui wahyu yang tertulis dalam kitab suci, siapa yang mampu menangkap teka – teki Tuhan tanpa pandang bulu tanpa pandang golongan dan kelompoknya, maka dialah yang berhak memperoleh hadiah dari Tuhan yaitu menjadi manusia pilihan.
Begitu juga makna yang ada dalam Pancasila mulai sila pertama sampai sila kelima merupakan pedoman kemanusiaan yang juga berasal dari ajaran Kitab Suci. Bisa dibilang mengambil intisari dari ajaran Kitab Suci yang merupakan wahyu Tuhan. Itulah kenapa ajaran yang terkandung dalam ajaran Pancasila juga merupakan ajaran agama.
Dan yang bisa menjelaskan secara gamblang makna dari hakekat Pancasila syaratnya adalah orangnya mengetahui jagad sak isine (jagad se isinya) yo ruh awale donyo yo akhire donyo (ya tahu awalnya dunia juga tahu akhir dunia). Itu merupakan pertanda dari Tuhan terhadap orang yang bisa atau telah dipercaya oleh Tuhan mengemban amanatnya (Insaallah).
Karena pada dasarnya apa yang telah menjadi tradisi dan kepercayaan manusia yang telah terpecah dalam berbagai sekte dan kepercayaan awalnya adalah berujung kepada satu kepercayaan sebagaimana bapak seluruh ummat manusia yaitu Nabi Adam.
Karena berbagai sebab dan jauhnya jarak waktu dengan para pembawa ajaran Ilahi ditambah dimasukkannya pemikiran – pemikiran baru oleh para penerus dan keturunannya ke dalam ajaran Ilahi. Dimasukannya pemikiran baru ke dalam ajaran – ajaran Ilahi menjadikan ajaran tersebut menjadi rancu dan semakin kabur dari kesejatiannya.
Ditambah sikap manusia yang cenderung bersikap suka menentang dan membantah sesuatu hal yang dianggap baru dan belum di fahaminya. Sehingga yang tertinggal pada sebagian besar kita yaitu tinggal memiliki kesamaan faham terhadap yang seharusnya disembah. Yaitu sesuatu yang dianggap memiliki kekuatan dan pengaruh besar dalam hidup kita maka diangkatlah dia sebagai Tuhan. Kemudian diciptakanlah bentuk – bentuk Tuhan menurut apa yang diangankanya yang kemudian diwujudkan dalam berbagai bentuk untuk kemudian disembahnya.
Dan yang lebih parah ada yang menuhankan kitab sucinya, dia dewa – dewakan kitab sucinya mengalahkan Tuhan itu sendiri. Ada yang menuhankan guru agamanya atau guru spiritualnya padahal tetap saja dia tak berubah tetap juga manusia. Ada yang menuhankan pendetanya, ada yang menuhankan dirinya sendiri, ada yang menuhankan buku bacaan yang dia banggakan, ada yang menuhankan nafsu angkaranya, ada yang menuhankan uang, harta, benda, dan jabatan, dan ada yang menuhankan penemuan hebatnya (keilmuan atau kebendaan). Dus semua itu kenyataannya bukan sesuatu yang layak untuk disembah dan dituhankan.
Kitab suci bukanlah sesuatu yang bisa menyelamatkan kita, dia sekedar tulisan yang berisi petunjuk dan rambu – rambu serta berisi mengenai keterangan – keterangan yang menyebutkan mengenai masalah ketuhanan dan komponen kemanusiaan serta tata cara peribadatan. Sehebat apapun sebuah kitab suci dan sebuah buku hasil karangan seseorang tidak akan merubah apapun tanpa diamalkan atau dipraktikkan. Jadi kembalinya tetap kepada manusianya mau dikemanakan dan diapakan dirinya terserah kepada orang tersebut, apapun agama dan kepercayaannya tidak akan memiliki arti apa – apa kalau kita hanya terdiam dan terpaku dengan berbagai angan kita.
Angan – angan tetaplah angan – angan yang bersifat semu tidak akan pernah berwujud apapun, meng-angankan Jakarta tidak akan pernah sampai kalau kita tidak beranjak pergi.
Bukti riil menyatakan bisakah kita kenyang hanya dengan membaca sebuah menu, mungkinkah cukup dengan membaca peta tanpa melangkah kita akan sampai ketujuan. Atau kalau kakek kita yang makan mungkinkah kita juga akan kenyang hanya dengan menceritakan dan membanggakan kisah si kakek.
Itulah yang dimaksud dengan makna dari sebuah ayat Tuhan dalam berbagai bentuknya, bukti mana lagi yang akan engkau dustakan setelah datangnya fakta dan bukti yang Tuhan hadirkan disekitar kita. Itulah problem dari kebiasaan berfikir (berangan - angan) terlalu jauh atau memfonis (memastikan) sesuatu yang belum pernah dialami dan dirasakan. Akhirnya terjebak ke dalam pemikiran yang berupa bayang – bayang, yang kebenaran dan kepastianya tentu diragukan. Sehingga timbulah ketakutan – ketakutan yang dibuat dan diciptakan sendiri, sehingga digambarkan Tuhan itu kejam begitu juga dengan para malaikat-Nya.
Kenapa begitu mudah suudzon apalagi terhadap Tuhan, itulah kalau mudah percaya dengan dongeng dan cerita yang tidak jelas dan belum terbukti dasar pijakannya. Makanya salah sendiri bisa dipermainkan oleh kata – kata orang lain yang pandai merangkai kata perkata padahal dia sendiri sebenarnya tidak tahu dan tidak faham atas apa yang dia katakan.
Untuk itu perkayalah pengetahuan kita dengan berbagai keilmuan atau infomasi supaya kita tidak mudah terjebak dalam satu konsep pemikiran yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepastian akan kebenarannya.
Semua itu berpulang dan kembali kepada diri kita masing – masing, karena kenyataannya kita diberi perangkat sama oleh Tuhan. Perangkat kemanusiaan yang Tuhan tempatkan ke dalam diri manusia merupakan komponen yang disiapkan agar manusia mampu mengemban amanat sebagai wakil Tuhan di dunia (Kholifah fil ardhi).
Lalu apa sebenarnya komponen kemanusiaan yang seharusnya diolah dan dikelola sehingga seseorang bisa menjadi manusia seutuhnya, sehingga nantinya mampu mengemban amanat Tuhan YME.
Sebelumnya kita harus berfikir secara universal mengenai nilai hidup dan kehidupan. Ini berarti kita bicara mengenai kenyataan – kenyataan yang berupa bukti dan fakta yang tak terbantahkan oleh akal sehat. Kecuali yang sengaja mencari perbedaan dan pembenaran sendiri, silahkan bawa sendiri keyakinan yang demikian dan buktikan sendiri resiko yang telah menjadi pilihan anda.
Janganlah membawa dalih agama atau mengatas-namakan agama dalam mendukung pembenaran hasil pemikiran sendiri ke dalam ranah public atau ummat. Amat besar dosanya bagi orang – orang yang kesesatan berfikirnya ditularkan kepada banyak orang, kecuali orang itu sendiri yang sengaja meminta menjadi pengikut pemikirannya. Semoga kita dihindarkan dari kesesatan dalam berfikir dan berkeyakinan dan dihindarkan dari mengajak orang lain dalam kesesatan berfikir.
Bacaan yang kami sampaikan ini sekedar menyampaikan wacana berfikir dan wacana tentang konsep kemanusiaan yang bisa dijadikan sebagai pijakan dalam membentuk satu konsep dalam rangka menempuh kehidupan yang maslahah di dunia sampai akherat semoga …aaamiin.
Berbicara kemanusiaan sama saja bicara masalah hati dan rasa, tidak lagi mempersoalkan masalah bahasa, agama, bangsa, suku, golongan, dan ras. Ibarat ikan dalam air tidak lagi berfikir dan membicarakan hanya masalah air.
Orang yang masih bicara dan mempersoalkan agama dalam setiap pembicaraannya ibarat ikan masih diluar air baru memandang kearah air belum masuk ke air. Kalau sudah masuk ke air tidak lagi melihat adanya air karena sudah menyatu, dia hanya focus pada kesibukan yang seharusnya dia lakukan. Sama juga seseorang yang hendak masuk rumah, begitu sudah masuk tidak lagi melihat dan memperhatikan seperti apa rumahnya.
Orang yang beragama dengan tepat, adalah orang yang hidupnya disibukkan oleh bagaimana mengaplikasikan ajaran agama yang telah diterimanya dengan sebaik – baiknya. Dia seakan - akan dilupakan dengan apa yang dia pakai, karena begitu sibuknya memperbaiki dirinya dalam mengamalkan ajaran yang telah diterima, difahami, dan diyakininya. Dengan tujuan supaya tidak ada kesalahan dalam mengaplikasikan atas apa yang telah didapatnya sehingga benar – benar memenuhi standar yang telah ditetapkan.
Orang macam ini tidak lagi mempersoalkan dia berada digolongan siapa dan bersama siapa. Dia hanya focus bagaimana dirinya bisa menjadi manusia yang seutuhnya menurut ajaran Ilahi. Karena emas walau berada ditempat sampah tetaplah emas, yang namanya sampah walau ditempatkan di istana megah tetaplah sampah.
Begitu juga walau mahir menghapal berbagai kitab dan hafal kitab suci tidaklah mampu menempatkan dan meyelamatkannya dari keburukan dan kebusukan perilaku yang diperbuatnya. Yang berharga itu kursi yang telah kau buat bukan pengetahuanmu yang segudang tentang berbagai hal dalam membuat kursi.
Karena itu bukan seberapa banyak yang telah kamu hapal tapi sampai dimana kamu telah melakukan apa yang telah kamu pelajari dan yakini.
Kembali kepada apa yang terdapat dalam falsafah Pancasila atau falsafah hidup sebagaimana yang ada dalam ajaran Pancasila. Sebagaimana founding father bangsa Indonesia telah mencanangkan dengan segala kemantapan hati dan jiwa serta penuh keyakinan tentang membentuk manusia Indonesia seutuhnya dengan ajaran Pancasila. Keberanian beliau mencanangkan Pancasila untuk membentuk manusia seutuhnya tidak terlepas dari inti dari Pancasila yang sebenarnya telah beliau ketahui dan fahami hakekatnya.
Beliau mendapatkan lima pedoman dasar yang kemudian disebutnya dengan Pancasila tidak segampang yang dibicarakan banyak orang. Sudah begitu masih disalah fahami dan diperselisihkan oleh orang – orang dekat beliau sendiri, sampai saat ini masih juga dipertentangkan. Founding father Ir Soekarno tidak diragukan lagi keagamaanya dan keislamanya, beliaulah orang yang mampu mengaplikasikan keagamaan ke dalam kehidupan nyata secara baik dan benar tidak kalah dengan para kyai kesohor atau ulama ternama sekalipun.
Bukti dari hal itu semua adalah apa yang beliau sampaikan dalam bentuk lima pedoman dasar yakni Pancasila dan bukti – bukti lain yang telah beliau perbuat.
Adapun hakekat dari makna pancasila mulai dari sila pertama sampai kelima adalah Cipto, Roso, Rumongso, Ngrasakne, Ngrumangsani. Yang ke limanya merupakan satu kesatuan utuh yang saling terkait menjadi satu, sebagai pembentuk manusia seutuhnya. Tanpa kelima hal tersebut tidak mungkin manusia bisa dibentuk menjadi manusia seutuhnya, karena komponen tersebutlah yang berfungsi sebagai pengelola keilmuan yang diterima dan didapat oleh manusia.
Sebanyak apapun ilmu yang dipelajari dan dihafalkan tapi melupakan unsur kemanusiaan tersebut akan menjadi sesuatu yang sia – sia belaka. Orang yang pintar dan banyak ilmu yang tidak diolah dengan unsur kemanusiaan tersebut akan menjadi racun dunia dan pembawa malapetaka bagi orang banyak.
Karena dengan kelima unsur tersebut manusia mampu mengaplikasikan ajaran agama dengan baik dan tepat, itulah tujuan dari Tuhan menciptakannya.
Kelima unsur atau bagian yang menjadi dasar Negara Indonesia tersebut menjelaskan tentang system kerja dan rangkaian kerja dari cipto, roso, akal-budi, nafsu (howo/doyo/murko), dan sukmo. Yang kesemuanya menjadi satu kesatuan utuh yang tak terpisahkan dalam jagad manusia, yang masing – masing mempunya peran dan fungsinya sesuai kodrat yang telah ditentukan oleh Tuhan Sang Kholik.
Yang kemudian oleh founding father bangsa Indonesia dibahasakan untuk menyamarkannya dengan kalimat yang terdapat dalam naskah UUD ’45. Dan secara hakekat kalimat yang dimaksud dalam dasar Negara tersebut adalah secara urut Cipto, Roso, Rumongso, Ngrasakne, Ngrumangsani.
Yang mungkin dan bisa dibahas untuk orang kebanyakan adalah makna harfiah yang menjelaskan mengenai pengertian Cipto, Roso, Rumongso, Ngrasakne, Ngrumangsani untuk mendudukkan makna yang sesungguhnya dari Pancasila.
Kenapa dalam dasar Negara sila pertama berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, mana bukti yang menunjukkan bahwa kalimat tersebut adalah unsur Cipto. Lalu sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah Roso. Selanjutnya sila ketiga Persatuan Indonesia adalah Rumongso. Dilanjutkan dengan sila ke empat Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaratan perwakilan adalah Ngrasakne. Kemudian sila kelima Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan kata lain dari Ngrumangsani.
Untuk mendudukkan satu bagian yang terdapat dalam satu ujud sebuah benda yang diperlukan adalah kesamaan penilaian dan kesamaan pandang yang universal yang timbul dalam alam kesadaran pribadi. Misal pegangan pintu disebut Slot, cukup disebut dengan slot semua orang tahu kegunaan dan fungsinya sekaligus bentuknya secara umum. Kemudian pengait antar bagian pada pintu untuk menyatukan kayu pembentuknya disebut dengan paku atau pasak. Cukup dengan menyebut paku semua orang sudah tahu dan faham tidak perlu lagi dijelaskan secara panjang lebar apalagi diperdebatkan dengan berbagai argument.
Keterangan mengenai unsur kemanusiaan yang nobene membicarakan mengenai berbagai hal tentang Ketuhanan tidak ada yang tidak logis. Tinggal sampai dimana kita mampu menangkap dan membuktikannya sehingga bisa menjelaskan hal – hal yang dianggap ghaib atau tidak nyata menjadi nyata dan logis bisa diterima akal sehat.
Kalau tidak logis dan tidak masuk akal perlu dipertanyakan kevalidan dan keabsahannya apa benar itu ajaran Ilahi atau ketentuan Tuhan. Sebagaimana secara kasat mata telah ditemukan melalui penelitian oleh ahli dari golongan orang yahudi mengenai maksud dan tujuan adanya perintah untuk menunggu masa iddah bagi wanita yang telah bercerai yang hendak menikah lagi. Disitu terbukti adanya jejak – jejak genetic yang ditinggalkan oleh suami dalam area peranakan wanita yang baru hilang atau bersih setelah melewati masa tiga bulan. Itu termasuk bukti ketentuan Tuhan yang kasat mata (empiris) walau melalui hasil penelitian ilmiah.
Ketentuan Tuhan atau yang disebut kodrat misalnya kodratnya makan tentu lewat mulut, apa buktinya dan kemudian apa persyaratan yang mendukung mengenai bahwa kodratnya untuk makan harus lewat mulut. Itulah gambaran mengenai ketentuan Tuhan, jadi ketentuan Tuhan yang berupa wahyu yang tertulis atau tidak tertulis juga demikian halnya. Seperti ketentuan adanya larangan mengenai sesuatu hal pasti ada bukti empiris yang menjelaskan kenapa sesuatu itu dilarang. Demikian juga tentang hal yang menyangkut mengenai sebuah perintah, pasti juga ada sebab kenapa itu diperintahkan.
Pada intinya semua perintah dan larangan menyangkut dan berkaitan dengan peningkatan nilai kemanusiaan, karena Tuhan tidak membutuhkan itu semua yang membutuhkan adanya itu semua adalah manusia. Contoh larangan mengkonsumsi tanaman yang diharamkan semisal ganja, begitu teramat jelas dampak dan resiko akibat mengkonsumsi ganja. Begitu juga perintah untuk melakukan puasa hal ini disebabkan dalam diri manusia ada dzat atau komponen kemanusiaa yang dia akan berfungsi dan meningkat kemampuannya kalau kita melakukan puasa (ngurang – ngurangi). Demikian seterusnya, jadi jangan pernah beranggapan bahwa Tuhan membutuhkan semua itu, kitalah yang membutuhkan Tuhan agar kemanusiaan kita menjadi berkualitas. Karena ada dan tiadanya kita Tuhan tetap saja Mulia, Maha Kuasa, dan sebagainya.
Semua yang telah terjadi di alam semesta ini beserta segala isi yang ada di dalamnya, termasuk hasil olah fikir dan pemikiran manusia adalah merupakan ketentuan Tuhan memang harus demikian terjadinya. Termasuk mengenai munculnya berbagai agama dan kepercayaan, itu semua hanyalah sekedar sarana bagi manusia untuk melakukan perjalanan spiritual yang seharusnya mengarah pada satu titik, sehingga mencapai tahapan tertentu menurut maqomnya masing – masing.
Untuk itulah semestinya kita tidak berhenti di satu tempat dan keadaan dalam menyikapi kepercayaan dan keyakinan kita terhadap apa yang kita percayai dan yakini saat ini. Kalau memang benar – benar di dalami dan melebur secara total ke dalam ajaran yang kita yakini dan fahami semua akan mengarah pada satu titik yaitu titik Ilahiyah. Oleh sebab itu kenapa dalam ajaran agama ada yang berupa perintah dan larangan, semua itu guna menggiring kita manusia agar menuju pada satu titik Ilahiyah. Karena kalau sudah sampai disitu, kita berasal dari kepercayaan apa saja bukan mejadi soal, nanti juga akan tahu dan faham sendiri mana yang harus diyakini dan diikuti serta dilaksanakan.
Yang menjadi sebab seseorang berhenti pada satu keadaan dan tidak mungkin akan beranjak dikarenakan sifat egosentris dengan keyakinan dan kepercayaannya. Sehingga munculah sentiment pribadi yang diatasnamakan agama, ini disebabkan oleh penyakit hati yaitu Dumeh (suka merendahkan atau menyepelekan), suka Kaduk ati (tinggi hati), dan sok Kegedhen rumongso (kebesaran anggapan terhadap diri sendiri.
Jadi dalam mempercayai dan meyakini sesuatu seharusnya dikembalikan ke dalam diri kita sampai dimana tingkat pemahaman dan tingkat perjalanan kita terhadap apa yang kita yakini. Apa telah tepat dan pas pemahaman kita terhadap ajaran – ajaran yang kita percayai, kemudian praktik yang telah saya lakukan apa telah memenuhi persyaratan untuk bisa diakui. Selanjutnya apa saya telah tahu dan faham betul ketentuan mengenai persyaratan – persyaratanya agar apa yang saya lakukan mendapat nilai sesuai dengan yang distandarkan.
Buktinya apapun agama kita kalau tersengat api terasa panas, kemudian bila tidak kemasukan makanan apapun dalam perut, juga merasakan lapar. Itulah bukti keadilan Tuhan dan para malaikatnya, jadi jangan berharap dapat kompensasi hanya karena percaya dan yakin semata terhadap satu agama, tapi mana bukti kepercayaan dan keyakinan yang telah kita nyatakan itu yang dinilai.
Kalau kita percaya dan yakin kemudian kita buktikan kepercayaan dan keyakinan kita api bisa tidak berasa panas, tidak makanpun bisa tidak terasa lapar.
Oleh karena itu kenapa ada perintah untuk bergaul yang baik terhadap siapa saja tanpa pandang bulu. Hal ini bertujuan agar kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari apa yang kita hadapi dan kerjakan. Sebab pada tiap – tiap sesuatu pasti ada sesuatu hal yang baik, kalau kita mampu menangkap dibalik sesuatu yang telah terjadi. Sebagaimana telah disitir oleh Tuhan dalam satu ayat “tidaklah Aku menciptakan sesuatu di dunia ini yang bersifat sia – sia”. Jadi teramat nyata dan jelas keberadaan beragam agama dan kepercayaan pasti mengandung sesuatu rahasia Tuhan. Dimana sebenarnya titik pusat lingkaran dari semua itu dan kemana seharusnya itu semua bermuara itu terserah manusianya mau dikemanakan diri ini.
Sudah teramat jelas tiap – tiap pilihan ada resikonya masing – masing, yang sudah memilih dengan tepatpun juga ada resiko yang harus ditempuhnya kalau tidak ingin menyesal nantinya.
Selanjutnya …
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H