Mohon tunggu...
Wahid Syafii
Wahid Syafii Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pemerhati Studi Agama-Agama

Pencinta Ilmu

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Pernikahan Kiai Ahmad Fatah

14 Desember 2023   16:00 Diperbarui: 14 Desember 2023   16:06 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kiai Ahmad Fatah adalah pengasuh Pondok Pesantren Sunni Darussalam dan juga dosen di UIN Sunan Kalijaga. Beliau ulama yang membawa konsep cinta dalam kebahagiaan. Kiai Ahmad Fatah banyak sekali menjelaskan tentang filsafat kebahagiaan. Ada beberapa paparan retorikanya yang sangat filosofis yang dapat diambil makna mendasar cinta dan kebahagiaan dalam filsafat pernikahan.

Saat ngaji tafsir Al-qur'an kitab Ibnu Katsir bada sholat subuh, beliau memaparkan bahwa "Percintaan itu pasti ada dalam kisah para nabi". Konteks pernyataan tersebut adalah "ketika dalam kehidupan ada kebencian dan peperangan tetapi Tuhan menyisipkan dalam kisah para nabi tentang percintaan dan kebahagiaan". Artinya percintaan dan kebahagiaan pasti akan ada dalam perjalan kisah kehidupan kita, maka jangan takut untuk menikah.

"Terkadang orang menikah bukan karena cinta tapi karena berjodoh", pemaparan ini disampaikan Kiai Ahmad Fatah saat ngaji fiqh kitab fathul mu'uin bab nikah bada sholat magrib. Beliau menjelaskan dalam kitab fiqh tidak ada syarat nikah itu harus cinta, sebab ketika sudah menikah walaupun tanpa didasari cinta tapi rumah tangganya rukun-rukun saja punya anak, punya rumah, dan pekerjaan bahkan "tidak sedikit orang yang menikah hanya atas dasar cinta justru banyak yang berpisah". Maknanya yakni cinta dan kebahagiaan bisa tumbah ketika sudah menikah.

"Menikahlah pada hari jum'at, bulan syawal di masjid", itulah pernyataan Kiai Ahmad Fatah tentang pemilihan waktu dan tempat pernikahan. Pernyataan tersebut berkaitan dengan kesakralan pernikahan sehingga tempat dan waktu harus di pilih dengan istimewa. Pemilihan waktu dan tempat jangan dimaknai dengan sempit, artinya waktu dan tempat bisa ditentukan kapanpun dan dimanapun tetapi tidak meleset dari syariat Islam.

Ketika akan menikah maka "berilah mahar yang terbaik sebagai bentuk penghormatan terhadap syariat Islam dan kepada calon pasangan hidup mu". Pernyataan tersebut adalah pernyataan tentang mahar yang harus tinggi tapi terukur dengan kemampuan. Jika mampu untuk memberikan mahar yang tinggi namun memberikan mahar yang rendah maka "mahar yang rendah sama saja merendahkan syariat Islam dan juga calon istri", meskipun wanita yang dinikahi menerima. Oleh karena itu "hai para perempuan mintalah mahar yang tinggi kepada calon suami mu, hai para laki-laki berilah mahar calon istri mu yang tinggi, mahar sepuluh juta adalah bentuk penghormatan kepada syariat Islam dan pasangan hidupmu". Sepuluh juta disini adalah nominal yang diperkirakan dengan hitugan mahar yang pantas dengan syariat Islam diranah ekonomi Indonesia. Mahar sepuluh juta tidak mutlak tetapi bisa kurang bahkan lebih, hal itu memperhatikan dari kampuan ekonomi.

Kiai Ahmad Fatah mengatakan "saya lebih suka melihat orang berlumuran oli karena bekerja di bengkel dan berlumuran lumpur karena bekerja di sawah tetapi ketika anaknya menangis bisa memberikan uang untuk jajan dari pada bergaya seperti orang kaya namun ketika anaknya menangis tidak bisa memberikan uang jajan". Pemaparan tersebut dimaknai dengan wajibnya tanggung jawab dari seorang kepala keluarga terhadap istri dan anaknya. Bekerja untuk menafkahi istri dan anak adalah kewajiban suami, maka bekerja apapun yang terpenting halal dan baik, sedangkan istri bekerja membantu suami bukanlah kewajiban tetapi uang yang dihasilkan dan diberikan kepada keluarga itu bernilai sedekah.

Menjalani rumah tangga tentu berlika-liku terkadang masalah yang sepele bisa menjadikan keributan yang berkepanjangan. Maka ketika istri beliau melapor tentang perabotan rumah tangga rusak beliau mengatakan "Alhamdulillah, gelas dan piring pecah  jadi bisa ganti dengan yang baru". Jika dilihat dari beberapa kasus rumah tangga bisa cekcok sebab masalah yang ringan saja sebab tidak bisa menyikapi masalah dengan baik, bukankah gelas dan piring ataupun perabotan yang lainnya jika tidak rusak tidak diganti dengan yang baru, maka ambil kejadian itu sebagai hikmah sebagai tanda syukur dalam hal apapun yang diberikan Allah.

Ketika merasa istri harus melayani semua kebutuhan suami, makan disiapkan bahkan nasi, sendok, dan piring diambilkan apakah tidak kuat mengambil sendiri? Jadi "istriku bukanlah pembantuku tetapi isitriku adalah pendamping hidupku". Banyak yang meletakkan posisi istri tidak tepat yaitu dengan kalimat dibalik suksesnya suami ada peran istri dibelakangnya, itu pernyataan yang tidak tepat. Sedangkan pernyataan yang tepat menurut Kiai Ahmad Fatah adalah "dibalik kesuksesan suami ada peran istri disampingnya yang selalu mendukungnya", mengapa demikian? Sebab pasangan yang di posisikan disamping adalah wujud penghormatan.

Kiai Ahmad Fatah menatap isrtrinya dengan tatapan pilu, beliau mengatakan "istriku usiaku sudah tua". Kalimat pendek tetapi mengandung filosofi kesedihan bahwasanya beliau berpamit untuk menjalani kehidupan yang hakiki dengan harapan kisah cinta beliau dan istrinya berlanjut di surganya Allah.

Bedasarkan filosofi pernikahan yang telah di ungkapkan oleh Kiai Ahmad Fatah dapat diambil titik jernih, bahwasanya kisah percintaan tidak akan berakhir sampai kapanpun. Terjadinya gejolak dalam rumah tangga adalah kemesraan, yang pada hakikatnya pernikahan merupakan puncak kebahagiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun