Pada mulanya saya pribadi, penulis risalah ini, tidak tahu apa itu Dwifungsi ABRI karena saya bukanlah anggota tentara. Akan tetapi setelah mengetahui ayah saya, Abdul Wahid Er., yang pada masa Perang Gerilya 1949 dahulu diberi pangkat baru sebagai Bupati Militer di Sumatera Timur, barulah disitu saya mulai tertarik dan ingin mencari tahu dari mana sebenarnya asal ide Dwifungsi ABRI tersebut.Â
Memang, pada masa Perang Gerilya 1949 dahulu bukan ayah saya saja yang mendapat pangkat Bupati Militer, hampir semua pejabat sipil yang ikut bergerilya pada masa itu diberi pangkat "militer" dibelakang nama jabatannya.
Sehingga pada waktu itu ada yang berpangkat Bupati Militer, kemudian ada yang berpangkat Patih Militer, ada pula yang berpangkat Wedana Militer, selanjutnya ada yang berpangkat Camat Militer. Pokoknya, semua pegawai sipil dimiliterkan tetapi yang ada jabatannya saja baru diperkenankan memakai sebutan "Militer" dibelakang nama jabatannya.
Pada masa ini nama jabatan Patih sudah ditukar dengan nama Wakil Bupati. Nama jabatan Patih ini dipakai terus sampai ke masa Orde Revolusi Soekarno, suatu orde yang dijuluki oleh Soeharto dengan nama Orde Lama (Orla).
Sedangkan jabatan Wedana pada saat ini sudah tidak ada lagi. Pada masa dahulu setiap Kewedanaan itu membawahi beberapa Kecamatan. Lalu, pejabatnya itu disebutlah Wedana, setingkat dibawah Bupati.
Patih dan Wedana tidak ada disetiap Kotamadya (sekarang Kota saja) pada masa dahulu walau jabatan Wakil Walikota itu ada pada masa sekarang ini. Meskipun begitu struktur pemerintahan Kota (Kotamadya dahulu) tidaklah sepanjang struktur pemerintahan Kabupaten.
Dalam struktur pemerintahan dahulu ada yang dinamakan Karesidenan tetapi kini tidak ada lagi. Dahulu suatu Karesidenan dipimpin oleh seorang Residen yang membawahi beberapa Kabupaten dan Kotamadya.
Akan tetapi sampai kini jejak Karesidenan itu masih ada. Coba kita lihat plat nomor Polisi pada kenderaan bermotor, semuanya itu menggambarkan wilayah-wilayah Karesidenan dahulu. Seperti A Banten, B Jakarta, F Bogor, R Banyumas, AB Yogyakarta, BA Sumatera Barat, BB Tapanuli, BK Sumatera Timur, BL Aceh, BM Riau, DD Sulawesi Selatan, DK Bali, KB Kalimantan Barat, dan sebagainya.
Kita kembali kepada persoalan jabatan sipil yang dimiliterkan tersebut. Sepertinya jabatan-jabatan itu hanya ada di Sumatera saja sebab, di Jawa sendiri tidak ada jabatan-jabatan yang demikian.
Kita harus memahami mengapa sampai begitu persoalannya. Tentu, sudah pasti ada sebabnya dan untuk itu kita harus melihat dahulu ke belakang sewaktu Ibu Kota RI, Yogyakarta, diduduki Belanda pada Agresi Militer Belanda II, pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1949. Kemudian beberapa orang Pemimpin Negara kita ditangkap dan diasingkan di dua tempat yang terpisah jauh.
Namun, sebelumnya sempat juga Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muh. Hatta mengirimkan Surat Mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara, yang kebetulan pada saat itu berada di Bukittinggi, Sumatera Barat untuk segera membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera.