Mohon tunggu...
wahidil qohar
wahidil qohar Mohon Tunggu... -

Hingga saat ini aku masih menyangsikan keberadaan ku didunia yang tidak pernah aku bayangkan atau aku impikan sebelumnya. Dimana satu dunia yang terlihat sangat manis dan baik, tetapi penuh dengan kepura – puraan dan kemunafikan yaitu menjadi seorang guru. Dimataku menjadi seorang guru memiliki dua tanggung jawab yang sangat besar, yaitu tanggung jawab moril dan spirituil yang mungkin akan dipertanggung jawabkan kelak. Itupun jika dunia yang selalu diceritakan dalam kitab suci memang benar – benar ada.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Manipulasi Komunitas

24 Oktober 2010   14:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:09 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bunga – bunga demokrasi dinegeri ini kini semakin tumbuh, berkembang dan bermekaran serta mulai menampakan wajah aslinya setelah sekian lama mengalami tidur panjang sejarah bangsa yang tak terlupakan. Tragedi – demi tragedi yang mewarnai, pergerakan kaum cendukiawan muda dengan aksinya serta penyatuan elemen setiap lapisan masyarakat yang memiliki satu tujuan sama berhasil menumbangkan satu rezim yang telah dengan lama menancapkan kuku – kukunya dibumi persada Indonesia. Pergerakan Mahasiswa dan segenap lapisan masyarakat yang tergabung dalam organisasi massa dengan masing – masing nama dan ideologi yang dianutnya seolah mendapat musuh bersama dengan tujuan yang diusungnya belum tentu sama.

Dalam setiap pergerakan tentunya selalu ada yang dikorbankan baik biaya, tenaga atau pikiran hingga bahkan jiwa. Begitu pula dengan pergerakan yang terjadi di era menumbang Orde Baru tersebut telah menelan banyak biaya serta meninggalkan trauma yang mendalam dan korban jiwa yang kini tinggal kenangan dengan mendapat julukan Sang Pahlawan Bangsa “Pahlawan Reformasi”.

Seolah mendapat angin segar dengan berhasil menumbangkan rezim yang telah banyak berjasa bagi Indonesia dengan prasasti – prasasti bersejarah yang masih nampak terlihat dan megah berdiri seperti ; jalan – jalan bebas hambatan yang telah dibangun dimassanya, Taman Mini Indonesia Indah dengan konsep miniatur Indonesia didalamnya dengan suguhan rumah adat dan fasilitas lain didalamnya, Masjid At – Tin sebagai sarana peribadatan bagi umat muslim, hingga sebuah nama “Indonesia” dikancah dunia dan dimata internasional meski tak sedikit pula luka yang ditinggalkannya.

Mereka yang seolah mendapat hembusan angin surga merasa merdeka dan terbebaskan dari belenggu keotoritasan sang rezim dan setelah nyaris setengah abad tertidur, mati dan terbungkam kini mulai bersuara dan menampakan wajah aslinya dibalik tabir demokrasi dengan mengatasnamakan demokrasi.

Mereka yang dengan senang hatinya mengatasnamakan demokrasi dan bebas bersuara mencoba mensuarakan aspirasinya diatas kelompok, golongan dan sekat – sekat kepentingan. Karena inilah wajah demokrasi kita yang nampak jelas terlihat dan selalu terjadi, demo – demo bermunculan, banyak yang mensuarakan serta mencoba mengaspirasikan kepentingan masing – masing kelompok, golongan hingga muatan pribadi, anarkisme, bermunculannya partai – partai politik dengan konsep dan idedologi yang beragam serta lainnya. Hal tersebut tentunya akan menimbulkan manipulasi pilitik serta manipulasi dalam komunitaspun terjadi dan mewarnai.

Apakah ini wajah asli dari sebuah demokrasi atau ini hanya konsekuensi dari sebuah nama demokrasi yang digembar – gemborkan atau ini hanya hal biasa yang terjadi dinegeri ini kini???

Demokrasi pada dasarnya memiliki satu senjata utama yaitu dua pertiga atau sekitar enam puluh persen dari perolehan jumlah suara responden yang diakomodir dengan kata mufakat. Kini suara rakyat tak lagi menjadi suara tuhan karena toh nyatanya pembodohan dengan cara politik uang kerap terjadi dan tidak adanya pendidikan politik yang sehat bagi rakyat, karena dalam setiap pergerakan pesta rakyat selalu mengedepankan hiburan semata dengan nama artis yang sedang booming atau berani membeberkan tubuhnya didepan khalayak ramai. Suara tuhan adalah suara komunitas dan suara rakyat adalah kelaparan dan dengan senyum manisnya memberikan sumbangsih suaranya yang dianggap tak berharga dibandingkan dengan mempertahankan senyum mereka untuk esok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun