Film bernuansa pendidikan dan sarat inspirasi tentang tekad, kerja keras, dan persaudaraan yang menjadi film terheboh tahun ini setelah era laskar pelangi adalah Negeri 5 Menara, apakah Anda sudah menonton film ini ? jika belum saya sarankan segeralah tonton film ini dan saya jamin Anda tidak akan menyesal, karena dari film ini banyak sekali pesan-pesan moral dan motivasi yang akan kita dapatkan. Film yang diangkat dari novel best seller berjudul sama karya Ahmad Fuadi ini benar-benar menjadi tontonan yang dapat menjadi tuntunan dan menjadi pelipur lara bagi kita yang mungkin sudah jenuh dengan film lokal yang banyak menampilkan tema horor, komedi, dan tentunya percintaan. Film ini disutradai oleh Affandi Abdul Rachman di dukung oleh Salman Aristo sebagai penulis skenario, yang membuat film ini menjadi film yang layak kita tonton. Saya sendiri tidak pernah tau ada novel yang berjudul Negeri 5 Menara, karena memang saya tidak hobi membaca novel, tetapi setelah menonton film ini saya akhirnya membeli novel N5M ini, Karena saya yakin filmnya saja sudah bagus apalagi novelnya. Pasti ada sesuatu yang tidak ada di film tetapi diceritakan di novel. Negeri 5 Menara, sebuah judul yang sulit ditebak, ada apa dengan negeri 5 menara ? itulah pertanyaan yang muncul dalam benak saya begitu mendengar judul dari film ini. Saya pun akhirnya mulai menebak mungkin 5 menara bercerita tentang 5 orang sahabat yang memiliki cita-cita tinggi setinggi menara. Hmm, begitu saya ikuti jalan cerita filmnya akhirnya sayapun menemukan jawabannya. Tokoh sentral dalam N5M ini adalah seseorang yang bernama Alif, yang berasal dari Minangkabau yang hidup di tengah keluarga yang sangat harmonis, peran sebagai orang tua yang bijak cukup apik diperankan oleh artis senior David Cholik sebagai Ayah Alif dan Lulu Tobing sebagai Ibu Alif. Di awal cerita inilah saya petik pelajaran bagaimana seharusnya orang tua mendidik anak-anaknya. Ayah dan Ibu Alif sangat menginginkan anaknya bersekolah di Agama, keduanya berniat menyekolahkan Alif di sebuah pesantren di jawa selepas Alif lulus dari SMP. Namun, muncullah dilema dalam diri Alif, karena ternyata Alif menyimpan mimpi bersama seorang temannya untuk melanjutkan studi ke sebuah SMU di Bandung agar kelak bisa meluluskan impiannya untuk kuliah di ITB. Terjadilah konflik batin dalam diri Alif antara mengejar mimpinya atau menuruti keinginan orang tuanya, hal ini digambarkan dengan jelas dalam sebuah adegan saat Alif mengurung diri di kamarnya, membuka catatan-catatan impiannya untuk kuliah di ITB. Sang Ayah tau akan dilema yang dihadapi putranya, di bawanya Alif ke pasar untuk menjual kerbau miliknya demi biaya sekolah Alif, sang Ayah lalu memberikan nasehat kepada Alif untuk mencoba mengikuti kemauan ibunya. Adegan demi adegan dalam film ini benar-benar membuat saya kagum, membuat para penonton terus menyimak dengan seksama, bahkan untuk sekedar ke kamar kecilpun rasanya sayang jika dilewatkan. Inti dari film N5M mulai berjalan ketika Alif resmi dinyatakan lulus seleksi menjadi santri, dimana Alif akhirnya bertemu dengan 5 sahabatnya yang berasal dari berbagai daerah, mereka adalah : Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Kehidupan pesantren dengan disiplinnya yang keras cukup berhasil di gambarkan dalam film ini, penonton seperti di bawa dalam kehidupan pesantren, mungkin Anda yang pernah merasakan menjadi santri akan seperti bernostalgia. Setidaknya Anda akan mengingat masa-masa Anda di pesantren dulu. Sebuah adegan yang luar biasa dalam film ini, dan benar-benar menginpirasi saya sebagai seorang guru adalah ketika Alif dan kawan-kawannya untuk pertama kalinya masuk kelas sebagai santri-santri baru. Kelas pertama di isi oleh Ust. Salman yang di perankan oleh Donny Alamsyah. Bukan pelajaran yang ia berikan, tetapi semangat yang ia tanamkan kepada seluruh siswanya saat itu. Bukan dengan metode ceramah, tetapi ia memberikan gambaran nyata, saat masuk kelas ia membawa kayu yang sangat keras dan sebilah pedang yang berkarat, sudah pasti membuat seisi kelas dan saya sebagai penonton bertanya-tanya, pelajaran apakah yang hendak diberikan sang ustadz ? Sang ustadz pun mulai beraksi membelah batang kayu keras tersebut dengan pedang penuh karatnya yang tidak tajam lagi, dengan penuh kesungguhan dan tekad yang kuat untuk membelah kayu tersebut hingga akhirnya berhasil. Atas aksinya itu, sang ustadz mulai menanamkan akan prinsip Man Jadda Wajaada, bukan ‘tajamnya pedang’ yang menentukan, namun bagaimana tekad yang kuat dalam melakukan sesuatu hingga apa pun yang kita impikan bisa terwujud. Sang Ustadz pun berhasil membuat seisi kelas bersemangat dan ramai dengan pekikan Man Jadda Wajada. Timbul pertanyaan dalam diri saya, selama ini sudahkan saya sebagai pendidik, atau Anda sebagai orang tua menanamkan dengan kuat prinsip Man Jadda Wajada dalam diri anak-anak kita ? Prinsip Man Jadda Wajada telah menyihir ke enam sahabat tersebut, mereka mulai merangkai mimpi di bawah menara yang menjadi base camp favorit mereka untuk berkumpul, muncullah ide untuk menamakan kelompok mereka dengan sebutan ‘Sahibul Menara’ yang artinya pemilik menara. Baso tampil sebagai pemimpin yang mengajak mereka untuk mulai bermimpi, ia memulai dengan impiannya menjadi seorang Hafidz (penghafal Al-Qur’an 30 Juz) sebelum ia lulus, dilanjutkan dengan teman-temannya yang memiliki impian mengunjungi berbagai negara dengan 5 menara yang berbeda. Mereka berjanji akan kembali bertemu dengan foto menaranya masing-masing, termasuk Alif yang bermimpi mengunjungi Amerika. Konflik dalam film ini mulai muncul ketika kita menyaksikan perpisahan Baso dengan Sahibul Menara karena Ia harus pulang ke kampungnya di Goa untuk mengurus neneknya yang sakit parah. Saya salut dengan Bang Fandi yang berhasil membuat film ini terasa lengkap, sehingga berhasilmemainkan emosi penonton. Ada keceriaan misalnya saat adegan hukuman jewer berantai, ada kekaguman saat Atang berhasil menciptakan genset, lalu ada keharuan saat Sahibul Menara melepas kepergian Baso, dan saat Alif memutuskan untuk tetap di pesantren hingga ia lulus. Tak ada gading yang tak retak, begitu juga dengan film ini ada sesuatu yang mengganjal dalam hati saya sebagai penonton, misalnya saat adegan Pak Kyai Rais yang bermain gitar, menunjukkan kehebatannya di depan seorang santri. Tokoh Kyai Rais yang sudah melekat hilang begitu saja dan kita langsung teringat dengan Ikang Fauzi yang memang mantan pemain band. Namun, untuk semua adegan yang lain saya salut dan sangat menginpirasi siapapun yang menonton. Film ini menjadi tontonan wajib bagi siapapun terutama para pendidik di negeri ini. Di akhir cerita, saya pun berandai-andai. Seandainya saja para remaja kita mampu menghidupkan prinsip Man Jadda Wajada dalam dirinya, pastilah negeri kita akan selalu muncul orang-orang hebat yang mampu membangun dan membawa bangsa Indonesia yang lebih baik. Ayo para guru dan orang tua mari kita tanamkan sejak dini prinsip Man Jaada Wajada dalam diri anak-anak kita. Semoga Bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H