Pernahkah Anda penasaran ke mana perginya ponsel lama yang sudah diganti dengan model baru? Atau apa yang terjadi dengan komputer lama yang terabaikan di sudut gudang? Jawabannya bisa jadi mengejutkan. Barang elektronik bekas tersebut tidak lenyap begitu saja, melainkan menjadi bagian dari masalah global yang semakin mendesak: e-waste atau limbah elektronik.Â
Apa Itu E-Waste?
E-waste atau limbah elektronik merujuk pada perangkat elektronik yang sudah tidak terpakai, rusak, atau telah diganti dengan yang baru. Contoh perangkat tersebut meliputi ponsel, televisi, komputer, kulkas, dan berbagai barang elektronik lainnya yang sudah tidak berfungsi. Menurut World Health Organization (WHO), "Sumber e-waste berasal dari berbagai perangkat elektronik yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti perangkat konsumen (ponsel, komputer, televisi), peralatan rumah tangga (kulkas, mesin cuci, microwave), serta perangkat industri dan peralatan medis yang sudah usang atau rusak" (WHO, 2024).
Data Analisis E-Waste
Berdasarkan laporan dari United Nations Institute for Training and Research (UNITAR) dalam The Global Waste Monitor 2024, produksi e-waste di dunia pada tahun 2022 mencapai 62 juta ton (Mt), mengalami kenaikan 82% dibandingkan dengan tahun 2010. Hanya 22,3 persen (13,8 miliar kg) dari limbah elektronik yang dihasilkan dikumpulkan dan didaur ulang dengan benar. Proyeksi menunjukkan bahwa jumlah ini akan meningkat sekitar 32% lagi, mencapai 82 juta ton pada tahun 2030.
Pada tahun 2022, total e-waste di ASEAN tercatat sebesar 4,4 juta ton, dengan Indonesia menjadi penyumbang terbesar di Asia Tenggara, mencapai 1,9 juta ton. Thailand berada di peringkat kedua dengan 750 ribu ton, diikuti oleh Filipina yang mencatatkan 540 ribu ton. Di Indonesia, e-waste diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 101/2014 untuk memastikan limbah elektronik tidak membahayakan kesehatan dan lingkungan, dengan fokus pada pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan. Namun, pengelolaan e-waste masih dalam tahap awal pengembangan, tanpa peraturan khusus dan fasilitas yang memadai untuk pembuangan yang aman. Kurangnya kebijakan efektif dan kesadaran publik menyebabkan banyak e-waste berakhir di tempat pembuangan sampah, yang berpotensi menimbulkan risiko besar bagi lingkungan dan kesehatan.
Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, timbunan sampah elektronik mencapai 2 juta ton pada tahun 2021. Pulau Jawa menyumbang jumlah sampah elektronik terbesar, yaitu 56 persen dari total sampah elektronik, diikuti oleh Pulau Sumatera dengan kontribusi sebesar 22 persen. Menurut waste4change.com, dari total 2 juta ton sampah elektronik di Indonesia yang tercatat oleh KLHK pada tahun 2021, hanya sekitar 17,4% yang berhasil dikelola dengan baik. Sisanya masih tersimpan di rumah atau dibuang ke tempat pembuangan sampah, bercampur dengan sampah lainnya. Perbandingan pengelolaan sampah di Indonesia yakni 20% dibakar secara tidak aman, 15-30% diekspor secara illegal, dan 30-47,6% tidak diketahui.
Pengelolaan sampah elektronik yang termasuk dalam kategori B3 masih terus disempurnakan. Direktur Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 (PSLB3) KLHK, Novrizal Tahar, menyatakan bahwa peraturan mengenai sampah elektronik di Indonesia masih terbilang baru, dan upaya integrasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, industri, produsen, dan masyarakat terus dilakukan.
Sampah elektronik dapat dibedakan berdasarkan bentuknya, seperti telepon seluler, laptop, televisi, kabel, dan lain-lain. Sampah elektronik juga dapat dibedakan berdasarkan jenisnya, seperti peralatan rumah tangga, peralatan hiburan, peralatan teknologi informasi dan komunikasi, peralatan listrik, perlengkapan cahaya, dan mainan serta alat olahraga.
Bagaimana Dampak Negatif E-Waste?