Mohon tunggu...
Wahidah R Bulan
Wahidah R Bulan Mohon Tunggu... -

Berharap ingin jadi wartawan, perjalanan hidup mengantarkanku pada dunia yang lain: menjadi peneliti! Tapi ternyata bukan sesuatu yang benar-benar berbeda. Terlalu jelas kesamaan diantara keduanya. Kusuka jalan yang kutempuh kini. Jalan yang membuatku bisa sedikit memberi arti, bagi peradaban bumi yang terus mencari jati diri

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fenomena Jokowi dan Kegenitan Media

21 April 2014   21:30 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:23 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Paska terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi “tiba-tiba” muncul menjadi fenomena dengan terus menerus hadir diberbagai halaman dan layar pemberitaan, jejaring media sosial, serta diskursus. Salah satu stasiun TV berita bahkan menjadikan Gebrakan Jokowi sebagai topik liputan rutin. Pembicaraan tentang Jokowi yang sudah dimulai sejak proses pencalonannya menuju DKI-1 seolah tidak kunjung habis, bahkan hingga menjelang dua bulan setelah pelantikannya. Semua seolah menegaskan kalau Jokowi benar-benar menjadi trending topic dalam beberapa bulan ini. Dampaknya sudah pasti luar biasa. Jika dulu orang menilai Jokowi (meminjam istilah Jokowi tentang dirinya sendiri), nggak mbody untuk menjadi Gubernur DKI, kini ia digadang-gadang sebagai salah satu kandidat potensial calon presiden pada pilpres mendatang. “Demam” Jokowi ditingkat masyarakat juga terlihat dimana-mana. Diantaranya dapat dikenali dari sejumlah tindakan absurd warga seperti berjalan dari Tugu Pahlawan Surabaya ke Jakarta hanya untuk bertemu Jokowi sebagaimana dilakukan Ahmatdi Effendy atau sebagaimana dilakukan Sutanto, seorang kakek berusia 76 tahun, yang membuat lukisan untuk diberikan kepada Jokowi sebagai hadiah. Fenomena warga yang berebut berfoto bersama dan bersalaman dimana pun Jokowi hadir, merupakan bentuk “kegilaan” lain yang belakangan makin sering disaksikan.

Mengapa Jokowi “tiba-tiba” menjadi fenomena? Lawan politik Jokowi akan mengatakan hal itu karena ketrampilan Jokowi membangun pencitraan melalui media (http://www.youtube.com/watch?feature=player_detailpage&v=NWAvSGROxbE). Sayangnya pendapat itu tidak cukup didukung fakta karena Jokowi tidak mengeluarkan banyak uang untuk membayar media. Berbeda dengan kebanyakan kepala daerah yang ingin mendongkrak popularitas dengan sering muncul ditelevisi, tapi sebagai konsekuensinya juga harus merogoh kocek cukup “dalam” guna membayar biaya iklan. Jika dicermati, medialah yang sesungguhnya “kegenitan” terus menerus menguntit Jokowi. Sampai-sampai Jokowi mengerutkan keningpun, bisa menjadi headline! Apa pasal? Mengapa media seolah “dihipnotis” oleh Jokowi? Sebagai salah satu kekuatan penekan, media yang dikelola secara profesional sesungguhnya tidak dapat dengan mudah didikte. Bahkan oleh pemilik modal sekalipun. Alasan pemilihan fakta menjadi berita tak akan bergeser dari tiga hal: baru, unik, dan memenuhi kebutuhan informasi mayoritas pengguna media tersebut. Persoalannya, tiga hal itu ternyata ada pada Jokowi. Fenomena Baru dan Unik Perilaku Elite Jokowi merupakan fenomena baru dan unik dalam pengelolaan kekuasaan. Relasi kuasa yang selama ini menempatkan penguasa dalam posisi tidak setara dengan rakyat, didobrak habis oleh Jokowi dengan sikap egaliter. Jika penguasa dikesankan harus tampil rapi, necis, dan harum sehingga menunjukkan kelasnya yang berbeda dari kebanyakan warga, Jokowi tampil dengan poni yang kadang menutupi kening, baju yang dikenakan kebanyakan warga, dan semua atribut yang biasa saja. Jika pemimpin membangun jarak untuk menunjukkan kewibawaan, Jokowi begitu mudah disentuh sehingga seorang ibu dapat dengan spontan mencium pipi Jokowi pada saat pembagian Kartu Jakarta Sehat di sebuah wilayah di Jakarta. Jokowi juga begitu mudahnya datang baik melalui sidak maupun blusukan kampung, sementara kebanyakan penguasa sulit dihadirkan meski sudah diundang berpuluh kali dan dengan berbagai cara. Kebanyakan penguasa bahkan lebih senang “memaksa” warga untuk mendatanginya meski untuk itu warga harus merogoh kocek lantaran jaraknya yang cukup jauh (puluhan kilo) dari tempat tinggal warga. Jika kebanyakan penguasa menjadikan ruang kerjanya sebagai tempat sakral yang tidak dapat dengan mudah dimasuki “orang biasa,” Jokowi seolah mempersilakan siapapun untuk masuk. Tak terhitung sudah warga yang datang mengadukan persoalan, yang diterima Jokowi di ruang pribadinya. Jokowi juga begitu mudah dihubungi seolah ia hanya seorang teman. Pengalaman saya ketika mencoba menghubungi Jokowi melalui SMS, tak lebih dari 5 menit Jokowi membalas SMS tersebut meski belakang setelah menjadi Gubernur agak lebih lambat. Tapi yang jelas tak ada satu SMS pun yang dikirim tidak berbalas! Informasi Penting dan Sumber Pengharapan Bukan hanya unik dan tidak biasa, Jokowi menjadi magnet pemberitaan karena ia membawa harapan baru bagi terwujudnya perubahan. Pemberitaan korupsi dan praktek penyalah-gunaan kekuasaan yang sudah menguras habis pengharapan warga, seolah mendapat spirit baru karena pemberitaan tentang tingkah polah Jokowi menjadi oase yang menyegarkan. Masyarakat ingin mendapatkan informasi bahwa mereka boleh berharap akan hadirnya penguasa yang tidak lupa pada tugasnya untuk berjibaku mensejahterakan masyarakat. Masyarakat juga ingin melihat hadirnya sosok pemimpin yang mau bekerja keras dan berkeringat memikirkan nasib mereka. Hal-hal inilah yang dibaca media dari perilaku masyarakat dan yang menyebabkan mereka tak bosan-bosannya memberitakan Jokowi, terlepas dari fakta bahwa pemberitaan yang ditampilkan kadang sangat hard news dan kurang inspiratif. Pengharapan masyarakat itu tak berlebihan karena Jokowi bukan hanya hadir dengan perilaku pemimpin yang lugas dan bersahaja, akan tetapi juga sebagai sosok pemimpin yang bersedia membela nasib warga. Berbagai kebijakan dan program Jokowi ketika di Solo dan kini tampaknya ingin kembali dipraktekkan di Jakarta, setidaknya menunjukkan hal itu. Ketika di Solo misalnya, Jokowi bukan hanya memindahkan PKL dengan non-violence approach dan cultural approach melalui jamuan makan, akan tetapi juga mengeluarkan sejumlah kebijakan pro-poor dengan menggratiskan kios kepada PKL (986 PKL) ketika mereka diminta pindah dari Monumen Banjarsari menuju Pasar klithikan Notoharjo. Kios yang dibangun pun telah direvisi dari disain awal guna mengakomidir aspirasi PKL (menggunakan rolling door). Padahal perubahan itu mempunyai konsekuensi pembengkakan anggaran dari 4,5 milyar menjadi 9,6 milyar. Jokowi juga menggratiskan rumah kepada warga yang direlokasi dari sejumlah titik di bantaran Sungai Bengawan Solo, bahkan lengkap dengan sertifikat hak milik. Jokowi bahkan seolah menutup mata bahwa mereka yang dipindahkan adalah pemukim ilegal yang mendirikan bangunan ditanah Negara. Jumlah mereka pun bukan satu atau dua, tapi 1.571 KK. Bukan jumlah yang sedikit mengingat APBD Kota Solo yang tidak terlalu besar (pada tahun 2012 masih dibawah 1,5 Trilyun). Jokowi juga tidak terlalu mempermasalahkan karena ternyata diantara warga tersebut tidak seluruhnya warga Solo. Dalam wawancara yang penulis lakukan untuk kepentingan riset Jokowi mengatakan, “Nggak banyak kok… ada beberapa… sulitkan kita harus memilah-milah. Mereka sudah lama di sana. Mereka mau pindah itu sudah bagus…” Begitu pula ketika penulis menanyakan mengapa kios dan rumah digratiskan, Jokowi mengatakan, “Sama warga miskin nggak bisa hitung untuk rugi… ini kan bukan bisnis… ini melaksanakan kewajibannya pemerintah… ya harus mau keluar duit…” Kebijakan tersebut menarik karena pada saat yang sama kebanyakan kepala daerah masih menghitung untung rugi memberi “ruang khusus” bagi PKL untuk berjualan. Apalagi membangunkan kios dan memberikan gratis. Mereka juga kerap berdalih bahwa kebanyakan PKL merupakan pendatang. Karena itu pula penertiban dan bukan penataan menjadi pendekatan yang kerap dijadikan pilihan. Tapi mengutip apa yang diungkap mantan Kepala Bapeda Depok, Ir. Khamid Wijaya, hal itu sesungguhnya merupakan tindakan kesia-siaan karena hanya akan membuang ratusan juta bahkan milyaran rupiah anggaran (jika dikalkulasi untuk kurun waktu yang cukup panjang). PKL menghilang sesaat dan kembali muncul karena mereka perlu makan. Selain itu jika kebanyakan daerah hanya memberi bantuan untuk warga miskin (selected coverage), Jokowi memberlakukan universal coverage health atau memberi jaminan kesehatan kepada seluruh warga Solo tanpa terkecuali melalui program PKMS (Pelayanan Kesehatan Masyaraakt Surakarta), meski dengan pembedaan bantuan pembiayaan. Sementara untuk bantuan pendidikan, melalui BPMKS (Bantuan Pendidikan masyarakat Kota Surakarta) Jokowi memberi bantuan kepada seluruh anak usia sekolah SD dan SMP yang bersekolah disekolah Negeri, serta bantuan pendidikan kepada seluruh anak keluarga miskin dimana pun mereka bersekolah (hingga SLTA). Pemberian bantuan kepada seluruh warga dan bukan hanya kepada kelompok miskin merupakan kebijakan tidak biasa karena dinilai memberatkan APBD dilihat dari kebijakan penganggaran. Akan tetapi mengingat ketidak-jelasan kriteria miskin yang ada (14 kriteria miskin versi BPS), yang ternyata tidak selalu tepat dijadikan rujukan untuk semua program bantuan, kebijakan model ini semakin dibutuhkan mengingat jumlah warga yang setingkat saja di atas kelompok misikin semakin hari semakin banyak. Mereka kerap terlewat dari berbagai program bantuan karena dianggap mampu, namun dalam praktek mereka sesungguhnya menghadapi kesulitan luar biasa untuk bisa memenuhi kebutuhan pembiayaan pendidikan dan kesehatan. Dengan alasan tersebut di atas, akhirnya apa yang mengherankan jika media terpesona kepada Jokowi? Tanpa membayar sepeserpun media pasti akan menempatkannya sebagai berita penting untuk diliput. Lebih dari itu bahkan media kadang berlomba untuk lebih dulu memberitakan. Dan itu bukan sebuah pelanggaran bahkan merupakan tugas jurnalistik yang sesungguhnya. Kepala daerah manapun akan mendapat liputan serupa jika mereka mau melakukan apa yang dilakukan Jokowi. Dan itulah sesungguhnya message utama pemberitaan tentang Jokowi oleh media. Bukan semata karena terkena “virus jokowinomic,” tapi untuk tujuan mulia guna mendorong terjadinya replikasi kebaikan dimana-mana… Dr. Wahidah R Bulan, M.Si. Dimuat di Harian Monitor Depok pada Desember 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun