Pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam pikiran saya ketika banyak berita mengenai kasus pembulian di kalangan anak sekolah. Permasalahan pendidikan di Indonesia sebelumnya masih berkutat pada seputar akses dan kualitas pendidikan yang tidak merata, kurikulum dan metode pengajaran yang masih memerlukan penyesuaian, serta permasalahan terkait infrastruktur pendidikan. Kini ditambah dengan lemahnya pendidikan karakter yang berakibat banyaknya kasus pembulian oleh para siswa.
Ketika ditanya mengenai tanggung jawab siapa? Jawaban-jawaban mulai bermunculan dalam pikiran, mungkinkah orang tua? Pihak sekolah? Lingkungan masyarakat? Pemerintah? Individu sendiri? Betul sekali, semua jawaban tersebut benar adanya, yaitu semua elemen dalam kehidupan anak harus saling berkolaborasi dan mendukung pendidikan karakter yang baik. Namun, selain kehidupan secara nyata dan interaksi langsung yang bisa dirasakan anak dengan pihak-pihak tersebut, ternyata ada satu pihak penting menurut saya yang mungkin tidak banyak orang menyadarinya atau bahkan sudah menyadari tetapi tidak tahu cara mengungkapkannya. Pihak tersebut adalah kita sebagai pengguna media sosial.
Kita mungkin tidak secara langsung berinteraksi dengan pelaku maupun korban, tetapi bagi saya media sosial yang kita gunakan sekarang dapat menjadi penyebab maupun solusi dari kasus pembulian tersebut. Mengapa demikian? Banyaknya konten kekerasan yang tersebar di media sosial dapat menjadi penyebab anak melakukan pembulian ketika anak tertarik atau bahkan termotivasi untuk mencontoh konten kekerasan tersebut. Hal itu terjadi karena pada konten kekerasan yang tersebar di media sosial, minim sekali yang diikuti dengan sebab dari kekerasan tersebut.
Misalnya, dalam sebuah berita pembulian yang dilakukan oleh anak sekolah, di dalamnya hanya berisi kronologi kejadian berupa video, ilustrasi, maupun tulisan mengenai kekerasan yang dilakukan oleh pelaku, bahkan ada yang ditambah dengan kata-kata kontroversial sebagai bumbu untuk menarik reaksi kita sebagai pengguna media sosial atau yang sering disebut sebagai netizen. Reaksi alami kita adalah bentuk emosional dengan mengutarakan hukuman-hukuman yang pantas didapatkan oleh pelaku tanpa adanya reaksi realistis yang didasari oleh pengetahuan hukum-hukum yang memiliki dasar aturan di Indonesia. Jika diibaratkan, kita hanya bisa mendukung dengan kata-kata yang bahkan kita sendiri tidak tahu apakah bisa terealisasi atau tidak alias "bulshit".
Untuk itu, bagi para pengguna media sosial, baik dari kalangan yang menyebarkan berita maupun kita sebagai penikmat media sosial, harus bisa memberikan reaksi atau tindakan secara emosional dan realistis dengan cara mencantumkan akibat-akibat yang dilandasi oleh sumber-sumber hukum di Indonesia yang sekiranya dapat dijadikan edukasi bagi para penerima konten tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H