Mohon tunggu...
Abdul Rahman Wahid
Abdul Rahman Wahid Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Kader Rayon PMII Ashram Bangsa Fakultas Syariah & Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meneladani Gus Dur

31 Desember 2013   04:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:20 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Abdul Rahman Wahid

Selamat jalan, Gus. Selamat jalan, Dur.
Dalam dirimu ada seorang pujangga yang tak binasa.
Hatimu suaka bagi segala umat yang ingin membangun kembali
puing-puing cinta, ibukota bagi kaum yang teraniaya.
Ketika kami semua ingin jadi presiden,
baju presidenmu sudah lebih dulu kautanggalkan. (Joko Pinurbo)

Setiap 30 Desember (bahkan sejak 10 Desember beberapa golongan telah memperingatinya), seluruh umat berbagai kalangan agama di Indonesia bahkan di saentaro dunia memperingati kepergian (haulnya) sang guru bangsa, KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Sosok Gus Dur ternyata diakui para pengikutnya, lawan-lawannya, dan para pengamat kehidupannya sebagai sosok manusia luar biasa. Manusia yang punya pengaruh sangat besar terhadap perjalanan bangsa Indonesia bahkan sampai saat ini meskipun Gus Dur telah tiada warisan dan ajarannya masih diperjuangkan dan dilestarikan.

Gus Dur adalah satu-satunya sosok tokoh dalam Indonesia (era modern) yang berhasil melakukan perubahan-perubahan besar dalam kepemimpinannya meskipun dengan waktu yang relatif singkat yaitu 22 bulan, baik ditilik dari sudut agama maupun duniawinya. Gus Dur yang berasal dari keluarga Kiai (keluarga pesantren) telah menegakkan dan menyebarkan nilai-nilai Islam dengan pandangan kosmopolitannya. Islam yang beliau ajarkan adalah Islam yang beliau sebut dengan “Pribumisasi Islam”,  maka dari itu Gus Dur selalu disebut sebagai tokoh pencinta dan perawat tradisi. Pada saat yang bersamaan, ia tampil sebagai pemimpin yang tangguh, tulen, efektif, jujur dan sebagai kesatria yang sudah lama dirindukan oleh bangsa Indonesia setelah tertekan oleh menara otoriterianisme Orde Baru, atau meminjam istilahnya Nurani Soyomukti yaitu Orba (ABG, ABRI-Birokrasi-Golkar).

Kini, 4 tahun sesudah wafatnya, pengaruhnya masih tetap kuat di bangsa Indonesia ini. Dari segi inilah saya menilai adanya kombinasi tak terbandingkan antara segi spiritualitas dan segi duniawinya atau biasa disebut dengan “humanisme” yang terlihat sangat melekat pada sosok Gus Dur. Saya menganggap Gus Dur dalam arti pribadi adalah manusia paling berpengaruh dalam Indonesia dewasa ini, karena keterlibatannya dalam banyak hal dan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian.

Sejarah memberi kesaksian, Gus Dur figur yang menarik perhatian sejak usia muda. Di samping talenta kepemimpinan menonjol, meskipun mengalami kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya, ditambah kecelakaan susulan yang mengganggu penglihatannya ia tidak menyerah. Sebelah matanya yang berfungsi baik ia optimalkan untuk selalu membaca buku. Keterpurukan tradisi tidak membuatnya rendah diri, melainkan memberinya dorongan untuk melakukan perubahan bangsa menjadi lebih baik.

Gus Dur juga tampil sebagai tokoh yang berkarakter demokratis dan anti kekerasan, tak heran jika beberapa pengamat mengatakan bahwa Gus Dur melakukan perubahan bangsa ini dengan cara yang gradual bukan dengan revolusi. Hal ini dibuktikan dengan beberapa tindakan beliau yang dinilai kontradiksi oleh masyarakat Indonesia bahkan dari kalangannya sendiri. Seperti pelegalan agama Konghucu sampai Imlek yang dijadikan sebagai hari libur nasional. Pengusulan penghapusan TAP MPR yang melarang ajaran Marxsisme/Leninisme dan lain-lain. Akan tetapi beliau tidak pernah takut dan selalu siap dengan segala konsekuesinya, Gus Dur berani jika harus mendapat cacian dari orang, Gus Dur meyakini nilai kemanusian ini harus benar-benar ditegakkan karena nilai inilah yang akan menjaga keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) tanpa harus menjadikan perbedaan sebagai pertentangan melainkan perbedaan dijadikan sebuah keindahan.

Gus Dur yang egaliter dan demokratis membuatnya bertindak untuk sebuah pembebasan yang selalu melakukan pembelaan pada kaum minoritas (atau lebih tepatnya kaum tertindas). Tindakan-tindakan Gus Dur ternyata mendapat reaksi perlawanan dari orang-orang yang tidak menyukainya dan menilai Gus Dur gegabah dalam melakukan tindakan. Pada akhirnya Gus Dur tidak bisa menghabiskan masa jabatannya sebagai presiden, Gus Dur harus lengser karena kasus Bruneigate dan Buloggate. Sebuah kasus yang menyatakan keterlibatan Gus Dur dalam skandal korupsi tersebut. Yang sebenarnya tuduhan tersebut merupakan fitnah para rival politiknya untuk menjatuhkan Gus Dur dari kursi kepresidenannya. Hal itu terbukti, karena sampai saat ini keterlibatan Gus Dur tidak bisa dibuktikan bahkan Pengadilan Negeri (PN) telah menyatakan, bahwasannya Gus Dur tidak terlibat dalam kasus korupsi Bruneigate dan Buloggate.

Tepatnya 30 Desember 2009 saat tersebar kabar tentang kepergian Gus Dur, pada saat itulah seluruh Indonesia menyadari akan besarnya kehilangan sosok Gus Dur. Air mata menetes dimana-mana seakan tak rela akan kepergiannya. Bendera setengah tiangpun tak mau berkibar karena sulit menerimanya. Semua alam dan seisinya terdiam tanpa kata sebagai ekspresi kesedihannya. Gus Dur kini telah tiada tapi ajaran dan pemikirannya akan selalu ada mewarnai kehidupan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun