Apa yang ada di dalam pikiran bocah usia enam tahun ketika melihat kenyataan di sekitarnya? Tentang orang-orang dan keluarganya? Dengan segenap problem kehidupan; harta, uang, kebiasaan, sifat, pertemanan, menilai seseorang, dan lain-lain. Mungkin aku tak begitu menaruh perhatian atas apa yang anak itu pikirkan sebelum beberapa hari ini menyalami kisah seorang gadis kecil bernama Salva yang sehari-harinya disapa Ava dalam novel karangan Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie.
Dengan sudut pandang orang pertama yang diambil dari pikiran seorang bocah usia enam tahun, novel ini berangkat dari kisah dua orang bocah yang memiliki kesamaan soal masalah keluarga. Ava atau Salva (si aku) terlahir di tengah keluarga dengan hubungan antara ayah dan ibu yang tak harmonis. Ayahnya suka marah-marah, dan amat membencinya. Sampai-sampai ketika ia lahir dan hendak diberi nama, ayahnya ingin ia dinamai Saliva (ludah). Namun, untungnya sang ibu menyanginya. Ibunya menolak menamainya ludah, dan menggantinya dengan nama yang lebih baik: Saliva (penyelamat).
Ava kecil tumbuh besar tak seperti anak pada umumnya. Sebab ia teramat sayang dan kagum dengan Kakek Kia (kakeknya dari jalur ayah) yang telah mengenalkannya pada bahasa Indonesia yang baik dan benar, benda yang tak pernah luput dari diri Ava adalah kamus. Ia berbicara tidak seperti anak kecil---meski pikirannya dalam menilai hal tetaplah seorang bocah. Dalam berbicara, kata-kata yang ia pergunakan selalu baku. Ia juga rajin memeriksa kosakata baru yang didengarnya; membuka kamus, kemudian mengafalkan penjelasannya.
Pembuka kisah Ava dimulai ketika kakeknya meninggal. Berbeda dengan ibunya yang merasa sedih, ayahnya justru senang sebab ia mendapat warisan yang membuatnya kaya. Pada titik inilah permasalahan mulai menerpa keluarga Ava. Mendapat harta melimpah ternyata tak dimaafkan oleh sang ayah untuk hal-hal yang baik. Justru sebaliknya. Karena si ayah memiliki kebiasaan berjudi, Ava sekeluarga pindah ke hunian yang lebih buruk dari rumah mereka sebelumnya. Tempat tersebut bernama Rusun Nero. Rumah susun yang kondisinya mengenaskan di satu sudut Ibukota namun menjadi surga tersendiri bagi ayahnya sebab tempat itu berada tak jauh dari Kasino tempat sang ayah bersuka-cita.
Dan di sanalah Ava bertemu P, bocah usia sepuluh tahun bernama hanya satu huruf (P) yang ke mana-mana selalu membawa gitar. Pertemuan mereka tak sengaja terjadi. Bermula dari Ava yang belum tahu caranya makan ayam---yah, biasanya ia disuapi ibunya---di satu warung dekat Rusun, dan P yang tergerak membantunya makan, kedekatan mereka pun dimulai.
Tak berbeda jauh dengan latar belakang keluarga Ava, tokoh kedua ini juga terlahir di keluarga yang tak lebih baik, bahkan lebih buruk. P hanya tinggal bersama ayahnya. Dan ayahnya sungguh membencinya. Bahkan ia harus tidur di dalam kardus supaya ayahnya tak bisa melihatnya berada dalam Rusun sebab kalau ia terlihat oleh si ayah, ia akan dimarahi habis-habisan.
Mendapati latar belakang yang hampir serupa, keakraban keduanya tak membutuh waktu lama untuk terjalin. Dengan kepolosan anak enam dan sepuluh tahun, bahkan gaya bercerita menceracau khas anak-anak, oleh si penulis kau akan dibawa masuk ke dalam dunia gelap sebuah kelurga yang tak harmonis dalam sudut pandang keduanya. Ava menilai ayahnya jahat. Dan ketika mendengar cerita P bahwa ayahnya juga jahat. Ava melebarkan penilaiannya dengan mengatakan semua ayah adalah jahat.Â
Sebab itu saat kedekatan mereka kian akrab, di tengah obrolan polos mereka soal masa depan, ia meminta P untuk jangan menjadi ayah. Ia ingin P menjadi kakek saja. Mengingat figur lelaki baik dalam pikirannya adalah Kakek Kia. Dan ia ingin menjadi ibu, karena ibunya sendiri menyanginya. Namun, P bilang ia tidak bisa menjadi ibu jika P sendiri menjadi kakek. Lalu Ava berubah pilihan. Kalau begitu ia ingin menjadi nenek saja, seperti Nenek Isma (nenek dari jalur ibunya), sebagai figur baik lainnya dalam kepala Ava. Itulah salah satu contoh dari topik bahasan mereka sebagai anak-anak.
Kepolosan kanak-kanak, betapa mudahnya menyamaratakan penilaian, bergulir begitu mengalir dalam novel ini. Premisnya sebenarnya sederhana, mereka ingin kabur meninggalkan Rusun Nero menuju rumah Nenek Isma yang ada seberang pulau setelah Ava bercerita kalau tinggal di sana sungguh nyaman. Dan yang menjadi seru, terenyuh, sekaligus lucu, adalah bagaimana menyaksikan perjuangan mereka menuju tempat itu. Mulai dari rencana menjual ponsel, membeli sepeda yang hendak dipakai untuk pergi ke stasiun, sampai membeli karcis untuk kemudian merencanakan pergi ke seberang menggunakan kapal laut.
Sepanjang cerita, kau akan mendapati racauan Ava yang seringkali keluar jalur. Dan itu menggelitik sekali. Untuk itu, aku rasa memang tepat bahwa novel ini menjadi juara dua dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014. Di balik keluguan anak-anak, gaya bercerita yang unik, ending dan perihal tokoh-tokoh---Kak Suri, Mas Alri, Mama dan Papa Ava, Nenek Isma---yang mengejutkan, ada satu hal yang berhasil membuatku berpikir lama soal kisah mereka. Dan hal itu adalah,
"Yang bikin Mas sedih soal kamu dan dia adalah," kata Mas Alri pelan-pelan, "itu karena kalian tumbuh jadi anak yang skeptis." Hal 196.