Jalanan itu seperti biasa, menghadirkan rasa tersendiri; bahkan hampir menjadi candu yang meminta untuk dipuaskan minimal satu minggu sekali. Layaknya pelukan Ibu yang menenangkan tangisanmu, ia membentang dan memanjang beserta lampu-lampu serupa tangan yang merangkul bahumu lewat cahayanya yang terkadang muram tak jarang terang. Kendaraan lalu-lalang, obrolan-obrolan, dan tawa berderaian, kauanggap angin lalu.
tak lebih sebagai sesuatu yang ada, sekaligus ingin kausangkal keberadaannya. Kau mengaburkan mereka, eksistensi mereka.
Sebab malam ini kau hanya ingin menikmati jalanan. Jalan dengan lampu-lampunya. Jalan dengan cahaya bulan tumpah ruah di permukaan aspalnya.
Sepanjang bulan, kau mencoba mengais mana jalanan yang paling menawan, dan tak ada yang semenawan jalanan dengan siraman lampu selepas hujan atau geremis bertandang. Namun, malam ini, adalah akhir Juni yang kering. Tidak ada mendung. Apalagi hujan. Kering itu pun kian sarat, sebab angin yang menderakkan ranting yang menyelusup celah jaketmu sama sekali kaurasa kecil gigitannya. Tak seperti angin bulan Desember, bulan yang ramai koor panjang katak yang kausukai, yang senantiasa mengirim dingin pada malam hari.
Ah, tiba-tiba kau ingat dan merindukan Desember: akan cuaca, angin, sampai wajah tanah pada bulan itu, juga jalanan yang kerap basah, ranting dan daun yang sore hari basah selepas hujan turun seharian, dan perayaan Natal dan Tahun Baru yang tiap tahunnnya biasa saja tetapi selalu berhasil membuatmu rindu akannya.
Ini Juni, bukan Desember, pikirmu mengingatkan. Bahwa Juni sebenarnya penuh arti, setidaknya bagi mereka yang penyair atau penikmat puisi. Tapi, tidak, pikirmu lagi. Kau lebih menyukai Desember atau Januari. Tidak, kau bukannya membenci Juni, atau kesembilan bulan sisanya, akan tetapi kau merasa mereka tak cukup seksi dibanding dua bulan itu. Desember dan Januari. Tanah basah penuh koor katak dan reranting pohon penuh buah-buah masak. Akhir dan permulaan. Atau awal dan berakhirnya sebuah siklus.
Kau tersenyum, sama sekali tak mengira pikiran bulan memenuhi kepala dalam perjalananmu malam ini. Mungkin orang lain yang melihatmu, akan memandang aneh, lalu menggumam sambil tertawa mengataimu orang gila. Lelaki berjaket hitam yang berjalan sendirian dalam keremangan malam yang sesekali tersenyum senang, kau mendiskripsikan sendiri gambaran dirimu malam ini. Tertawa, bahkan kau sendiri merasa lucu atas statusmu.
Tidak, aku tak cukup gila, kau menggumam, pelan. Ada yang lebih gila, kau terdiam lagi, berhenti di satu persimpangan jalan tiga cabang, lalu memandang ke atas---ke arah lilitan kabel silang menyilang---jatuh cinta, itulah hal tergila di dunia, kau menggumam lagi, kemudian melangkahkan kaki ke arah jalan yang paling lengang di antara tiga cabang.
Jalanan yang penerangannya paling minim dan tampak paling sepi. Sepi, oh, sepi. Kau menyukai sepi dengan segala kesenyapannnya, ia adalah baju bagi mereka yang terlalu sering sendirian. Bukankah yang dicari seseorang yang berjalan malam-malam begini tak lain adalah kesepian? tanyamu, menegaskan alasanmu keluar malam ini. Kau membutuhkannya, tentu saja, sebab suara-suara di tengah kesunyian adalah hal yang telah menjadi nyanyian tersendiri bagimu.
Entahlah, aku tak ingat kapan kali pertama menyukainya, tegasmu seolah mendapat pertanyaan dari dunia entah. Itu membuatmu peka, gumammu lebih lanjut, yang ditanggapi oleh kelepak kelelawar yang melintas di atas kepalamu. Kau berhenti, pandanganmu mengikuti arah terbang mamalia bersayap itu.
Aku sama sepertimu, Kalong, tersenyum. Apa bedanya? kamu bertanya, lagi. Kami sama-sama hidup di tengah kelengangan malam. Bedanya ia mencari makan, dan aku mencari ketenangan. Lalu berjalan lagi, kemudian menggumam, aku sama sekali tak sendiri.