Ilham terbangun dari mimpi. Masih terlihat jelas gambaran monumen itu. Tinggi, menjulang hampir menusuk gerombolan awan putih serupa salju. Masih teringat jelas dalam mimpinya, puncak bangunan itu berkilau, terpantul sinar matahari pagi. “Emas”, begitulah kata Pak Guru mengenai puncak monumen ketika menerangkan sejarah berdirinya. Apa yang Ilham temui melalui mimpi ternyata hampir serupa dengan gambaran yang disampaikan Pak Guru dalam pelajaran kemarin.
Ilham masih tertegun. Takjub akan pemandangan yang baru saja didapatinya, meskipun hanya sebuah mimpi. Sembari memandang langit-langit kamar yang berhias aneka rupa aksesoris gantunganberbentuk hewan, Ilham berkata lirih, “Monas”. Tak lama menit berselang, Ilham tertidur lagi.
“Bangun Dik, jam dinding sudah menunjukkan pukul 04.30. Saatnya menunaikan sholat Subuh,” kata Ibu, lirih, membisik di sela liukan lubang telinganya.
Ilham, anak berusia 11 tahun itu, merasa agak malas untuk bangun. Diliriknya Ibu dengan picingan satu matanya, kemudian ia tutup kembali. Ibu gemas, digelitiknya ketiak Ilham. Ia menggelinjang, meringis lalu tertawa. Ilham terbangun, rasa kantuknya hilang seketika. Demi menghindari serangan Ibu berikutnya, ia segera bangkit dari tempat tidur untuk menunaikan Sholat Subuh. Tapi tetap saja, pikirannya masih tertuju kepada bangunan monumen berpuncak emas itu.
---------
Ruangan kelas V Sekolah Dasar itu sudah penuh, walau pelajaran pertama hari ini dimulai 20 menit yang akan datang. Ilham melamun, jemari mungilnya sibuk menggores sebuah objek berbentuk seperti jarum raksasa dengan ujung berpola segitiga. Sekelilingnya digambarkan seperti hutan yang banyak ditumbuhi pepohonan rindang. Untuk yang terakhir ini, Ilham hanya mengarang, sebab Pak Guru tak sempat menceritakan gambaran di sekitar monumen itu.
“Hai Ilham, apa yang sedang kau lakukan?” Tanya Rudi yang duduk di bangku belakangnya.
Ilham terkejut, sembari menjawab, “Aku sedang menggambar monas.”
Rudi penasaran, “Boleh kulihat sejenak gambarnya?”
“Iya, silakan Rud,” kata Ilham.
Beberapa menit kemudian, Bu Guru Ida datang. Ruangan hening, seirama dengan suara Bu Guru Ida yang lembut menerangkan pelajaran. Semua murid menyimak dengan serius ilmu yang sedang diajarkan, kecuali Ilham. Tapi kali ini tidak sendiri, Rudi tampak melayangkan pandangannya ke jendela sebelah bangku, angan-angannya melambai bak dedaunan pohon jajaran tiang depan kelas yang bergerak halus tertiup semilir angin pagi. Sejuk sekali. Entah sampai di belahan bumi mana lamunan kedua anak itu. Yang jelas, senyuman tersungging dari bibir keduanya, hampir berbarengan.
-----------
“Mau kan Bu. Ilham ingin melihat monas, ingin mengusap ujungnya yang berlapis emas,” Ilham merengek kepada Ibu. Aduh, mimik mukanya terlihat begitu menggemaskan, di samping pipinya yang putih bulat. Oh iya, bibirnya mungil, merah muda warnanya.
“Ilham, saat ini Ibu dan Ayah sedang sibuk di kantor. Nanti kalau sudah luang, kita bertiga ke monas ya, Sayang,” kata Ibu.
“Hmm… baiklah Bu,”suara Ilham merendah, sedikit kecewa dengan jawaban Ibu. Ya iyalah, Ilham kan inginnya besok. BESOK. Titik. Tapi untuk kali ini ia bisa bersabar, merasa iba melihat Ibu dan Ayah yang hampir tiap hari sampai di rumah pukul 10 malam.
-----------
Akhirnya, saat yang dinanti-nantikannya pun tiba. Hari libur semesteran. Artinya, Ilham, Ayah, dan Ibu akan segera berlibur ke Jakarta. Seperti yang telah dijanjikan Ibu. Ke monas tepatnya. Eh, bukankah ada Rudi, teman sekelasnya yang juga ingin sekali mengunjungi monas?
“Ma, Ilham ada satu permintaan,” Ilham memohon kepada Ibu ketika Ibu sedang beres-beres untuk persiapan berangkat liburan besok.
“Ya, apa itu Sayang?” kata Ibu.
“Hmm .. Ilham punya teman, namanya Rudi. Dia teman sekelas Ilham. Dia ingin juga ke monas, Ma. Tapi dia tidak punya uang, bapak dan ibunya tidak sanggup memberikan uang saku,” Ilham menjelaskan.
Ibu terlihat sedikit mengernyitkan dahi. Dilihat dari raut mukanya, Ibu bersimpati. “Iya, Ilham. Hubungi Rudi sekarang, agar ia segera dapat menyiapkan apa yang harus dibawa besok.”
“Alhamdulillah. Ibu baik sekali, dan juga cantik.”
Ilham sangat gembira, diciumnya kedua pipi Ibu. Ilham girang bukan kepalang.
Segera ia berpamitan kepada Ibu dan Ayah untuk memberitahukan kabar gembira itu kepada Rudi. Tangkas sekali kedua kaki anak itu, kendati jika dilihat dari belakang, tubuhnya hampir mirip huruf O.
--------------
Rudi seakan-akan tidak percaya. “Benarkah itu, Ilham?!”, katanya setengah histeris.
“Iya Rudi, Ibuku membolehkan kamu ikut,” jawab Ilham. Tak kalah histeris.
“Terimakasih ya Ilham. Sampaikan salamku untuk Ibu dan Ayahmu.”
“Sama-sama Rudi. Ya sudah, kalau begitu kamu siap-siap ya, besok pagi kujemput. Assalamu’alaykum”. Tak lupa, Ilham pamit kepada Ibu dan Bapak Rudi.
“Wa’alaykumussalam,” Rudi, Ibu, dan Bapak membalas salam.
Wajah Ilham tampak berseri-seri. Memang begitulah sifat anak itu. Baik hati. Ia gembira membuat orang lain bahagia.
Hari ahad pagi. Waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba. Langit cerah, memerah, pertanda ufuk akan segera tiba. Udara sejuk, setitik embun masih tersisa di sela atap mobil ayah. Persawahan depan rumah tampak sedang menguning, segerombolan burung terlihat saling beradu strategi dengan musuh bebuyutannya, orang-orangan sawah yang dikendalikan oleh Pak Petani.
Seorang bocah sedang sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang akan dipersiapkan untuk perjalanan. Tampak sudah rapi ia. Tak lupa makanan kesukaannya, pisang goreng keju.
Bi Imah sejak sebelum Subuh sudah sibuk sekali. Beli pisang di pasar Paing, mengupasnya, membuat adonan, memarut keju, menggoreng, menaburinya dengan parutan keju hingga memasukkan ke dalam tempat makanan. Pokoknya dari A sampai Z. Kata Bi Imah kepada Ibu ketika Ibu ingin membantu, “Tidak Usah Bu, biarkan saya saja. Saya ingin Den Ilham tinggal makan”.
Iya, Bi Imah memang sayang betul sama si Ilham! Habis Ilham baik sih budi pekertinya, tidak pernah ia membentak Bi Imah, sekali pun!
Ibu masih di ruang tamu menyiapkan pakaian dan persiapan lainnya, sementara Ayah masih melihat siaran berita pagi. Rudi? Hmm.. baru saja ia selesai Sholat Subuh.
Jam dinding masih menunjukkan pukul 05.00. Masih pagi. Tapi Ilham tampak paling sibuk di antara yang lainnya. Rupanya sudah tidak sabar ia ingin melihat monas. Sebuah kertas yang sudah dilipat-lipat ia ambil dari saku celana. Ia pandangi. Gambar sebuah bangunan –ia banggakan kepada Ibu dan Ayah sebagai gambar monas, yang sebenarnya lebih mirip gambar topi badut—dengan ujung berbentuk datar dan ada dua orang membawa bendera merah putih.
“Siapa itu?” kata Ibu saat melihat gambar Ilham.
“Itu Ilham dan Rudi, Ma,” jawab Ilham, serius.
Ibu menahan senyum, tapi segera setelah menyadari anak semata wayangnya itu terlihat serius, Ibu menyembunyikan senyumnya.
“Assalamu’alaykum,” tiba-tiba sebuah suara yang tak asing di telinga Ilham datang dari halaman rumah.
“Wa’alaykumussalam,” jawab Ilham dan Ibu dari dalam. Oh .. ternyata suara Rudi.
“Masuk, Rudi. Ini Ilham sedang mempersiapkan bekal untuk perjalanan,” Ibu mempersilakan Rudi untuk masuk ke ruangan tengah.
“Iya Bu, nuwun sewu.”
Pagi itu suasana pedesaan tempat mereka tinggal sungguh menyenangkan. Lihatlah, sekelompok burung kutilang sedang berkicau. Gemerisik dedaunan pohon pinggir jalan desa seakan menyapa setiap orang yang melaluinya. Lambaian daun pohon pisang juga tak kalah sibuknya, melambaikan kebahagiaan dan semangat bagi penduduk desa yang terlihat mulai beraktivitas.
Dua anak sebaya di dalam kamar sedang asyik mengobrol, saling menceritakan imajinasi mereka tentang monas. Sesekali mereka tertawa, entah apa yang ditertawakan. Di ruang tengah, tampak Ayah dan Ibu saling berpandangan, kemudian tersenyum geli demi melihat tingkah polah keduanya. Dari kejauhan, sebuah senyuman kecil tergurat dari bibir Bi Imah, sembari mendendangkan sebuah lagu Jawa Timuran. Semua penghuni rumah sedang berbahagia rupanya. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H