Mohon tunggu...
Wahda Fajar Arizka
Wahda Fajar Arizka Mohon Tunggu... -

Seorang manusia yang ingin senantiasa mendekat kepada Robb nya...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Percakapan

17 Juni 2013   16:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:53 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

PROLOG:Ketika langit tergores sebuah lengkungan pelangi, aku cemburu.. Bukan cemburu karena indahnya paduan warna yang terlukis di hamparan luas kanvas biru, bukan pula karena hujan rela mereda demi munculnya "Sang Ratu Warna", namun karena aku kurang ilmu bahwa setelah pekatnya awan samarkan langit, datang pemandangan indah cerahkan dunia dengan paduan tujuh pesona warnanya...

Di sela renungan sore di tepian pantai, dengan iringan suara ombak kecil dan gurauan burung camar yang sedang menari di cakrawala senja, tiba-tiba datang seseorang dengan menggunakan pakaian berwarna-warni, yang tak kuketahui apa saja paduan warnanya, sontak mengagetkanku ketika sapanya, “Hai, apa yang kau kerjakan di sini?”

“Tidak ada, hanya melihat gelombang ombak di antara menguningnya langit sore,” jawabku.

“Hmm... bolehkah aku duduk di sampingmu, untuk sekedar bercakap-cakap menghabiskan waktu sebelum adzan Maghrib berkumandang?” tanyanya.

“Silakan,” kataku singkat dengan sikap acuh.

“Perkenalkan, namaku Qolbu. Siapa namamu?”

“Orang memanggilku Ilham, atau Zulham kadangkala”

“Baik, kupanggil kau dengan nama Zulham, aku lebih suka itu.”

“Iya, terserah kau saja,” jawabku seadanya.

Angin darat mulai berhembus pelan, menyapa butiran pasir yang tampak berkilau anggun terpantul hangatnya sinar matahari sore.

“Kulihat, kau sedang murung dari tadi. Apa yang membuatmu tak tampak seperti biasa, kalau boleh aku tahu?” lanjutnya dengan nada sedikit rendah.

”Ah, tidak ada apa-apa, hanya mukaku yang tampak lesu karena kurang tidur semalam.”

”Saudaraku, janganlah kau simpan sendiri kegundahan di hatimu, tak baik itu,” katanya sok bijak menceramahiku.

Amboi, apa yang kau tahu tentang hatiku? Asal kau tahu saja, tidak ada yang mengetahui isi hati manusia kecuali Yang Maha Menciptakan!” nada suaraku tampak meninggi.

Aku kesal dengan kalimatnya yang seperti memancingku untuk mengatakan isi hatiku. Tapi, apa untungnya? Toh, aku baru mengenalnya hari ini, tak lebih dari lima menit yang lalu ketika tangannya menyapa pundakku. Tapi, itu bukan berarti bahwa dengan serta merta aku lantas mempercayainya, mengeluarkan semua apa yang sedang kupikirkan. Iya, setidaknya untuk saat ini aku hanya ingin hatiku saja yang tahu apa yang sedang kurasakan.

”Coba kau lihat cakrawala di depanmu, Kawan. Keindahannya tak mudah untuk dilukiskan. Paduan warna antara kemuningnya senja langit sore dan birunya air laut, serempak membiaskan keceriaan kumpulan burung camar itu. Bukankah di hatimu juga mengatakan hal yang sama tentang semua ini? Betul kan? Atau kau coba untuk menipu dirimu sendiri dengan mengacuhkan fenomena indah ciptaan Illahi ini?” katanya bagaikan serbuan peluru MP4 CARBINE buatan Amerika.

Dalam hati, aku mengakui keunggulannya dalam membaca pikiranku. Tapi, darimana dia bisa? Ah, mungkin hanya siasatnya saja, supaya aku buka suara. Aku diam beberapa detik, menunggu saat yang tepat untuk memberikan sebuah jawaban.

”Bisa jadi perkataanmu benar, bisa jadi salah,” jawabku memecah keheningan.

Dan hanya kesunyian juga yang ada dalam beberapa saat lamanya.

Sementara, sekumpulan ikan kecil tampak sedang menikmati sore, berlomba-lomba mengitari sebuah batu karang yang terletak di tengah kolam air laut. Tampak juga beberapa udang kecil bermalas-malasan, sesekali menyiibakkan ekornya untuk sekedar melakukan pemanasan sebelum sang surya menyelinap, mengganti hangatnya suhu air dengan kepekatan malam yang menusuk tulang.

”Bukannya bermaksud untuk mengguruimu, tapi ini hanya pengalamanku saja. Kalau Kau mau, dengarkan dan cermati. Kalau tidak, sampai bertemu di lain waktu. Semoga kita dapat berjumpa lagi,” kali ini suaranya tegas namun tetap lembut.

”Hei, tunggu. Kau yang membuka tema, jangan Kau akhiri dulu,” sergahku seraya sedikit meminta.

Akhirnya ia menurut, posisi duduknya masih tetap bersandar di batang sebuah pohon waru. Sementara itu, suara canda tawa anak-anak bermain bola di hamparan pasir tengah laut mengubah arah dudukku, agar terlihat apa yang sedang mereka lakukan dengan tubuh-tubuh kecilnya. Kini, posisiku membelakanginya.

”Apa yang ingin Kau katakan?” sekarang aku yang mulai penasaran.

”Kukira aku tak lebih paham darimu, maka aku tak jadi menceritakannya padamu”, katanya.

Sontak darahkupun naik. Namun tak ada energi untuk meladeninya. Hanya diam yang kulakukan.

”Kau pandai memainkan emosiku,” batinku.

”Rambutmu terlihat cukup kasar dan panjang, tak beraturan,” tiba-tiba ia memulai percakapan dengan gaya bahasanya yang agak menyindir.

”Jangan marah dulu, aku hanya mengatakan sejujurnya. Bukankah Kau juga tahu, kejujuran adalah hal utama bagi penilaian kualitas manusia?” ucapnya buru-buru dibarengi dengan tawanya yang terkekeh-kekeh, mendahului niatku untuk segera meresponnya.

Senja semakin beranjak menuju peraduan, sementara sekawanan burung camar terlihat semakin menjauh dari pandangan, hingga hanya membentuk kerangka garis berbentuk anak panah yang lama-kelamaan berubah menjadi titik, akhirnya menghilang. Dan yang teringgal hanya desiran suara ombak kecil menyapu butiran pasir pantai, teriring angin darat yang mulai berhembus lepas.

Beberapa helai daun waru terjatuh dari rantingnya, melayang terhempas angin yang sedang berlarian kecil. Suara sorak dan tawa laskar anak pantai lamat-lamat meredup, sejalan dengan semakin menghilangnya hamparan pasir yang tergenang air laut. Nuansa sore itu sungguh indah, hingga puluhan nyiur pun ikut menari-nari mengikuti arah hembusan angin, berlatarkan teluk yang sungguh menawan.

”Kawan, jika aku boleh mengajukan pertanyaan padamu, maka pertama kali aku akan menanyakan tentang keadaan orang tuamu, adik-adikmu, kemudian keluargamu. Menanyakan apa yang sedang Ibumu kerjakan, sehatkah beliau di rumah sementara kau berada jauh darinya. Selain daripada itu, ada satu pertanyaan lagi yang teramat membuat penasaran batinku. Sudahkah ada seseorang spesial di hatimu?” tanyanya sembari mendekat dan memandang penuh kehangatan, sedikit mengagetkan lamunanku.

Aku berusaha menenangkan diri, berharap ia tak tahu kegelisahan yang sedang kusembunyikan. Kusembunyikan? Bukankah aku belum mengenalnya secara baik, lantas apa gunanya aku menyembunyikan segenap perasaanku?.

”Maaf kawan, apa yang kau tanyakan tak membuatku merasa lebih baik,” kataku apatis kepadanya.

”Baiklah kalau begitu, kusimpan saja semua pertanyaanku ini. Namun kuharap kau baik-baik saja dengan keadaanmu,” timpalnya.

Sebenarnya, aku ingin mengatakan kepadanya tentang isi hatiku. Sejujurnya, aku juga ingin menjawab semua pertanyaannya, hanya saja masih ragu. Namun, keraguanku ini bukan karena aku belum mengenalnya dengan baik, bukan pula karena aku ingin menyimpan semuanya ke dalam bejana hatiku saja. Aku yakin itu...

”Pertanyaanku yang terakhir. Mau dijawab atau tidak, terserah, aku pasrah. Dan selanjutnya aku akan pergi, menghilang di antara jejak kakimu,” pintanya setengah memelas.

”Baiklah, kali ini kuturuti permintaanmu,” jawabku sambil tak henti memandang anak-anak kecil itu.

”Aku tahu kau sedang dilanda cinta. Kau hampir tahu itu, kepada siapa hatimu akan berlabuh. Hanya saja Kau masih bimbang, belum ada pandangan jelas tentang bidadari yang Kau pinta. Sekarang, siapa bidadari yang Kau sembunyikan itu?”

Lagi-lagi aku tercengang, darimana ia tahu semuanya? Setelah menarik sebuah nafas panjang, kukatakan padanya, ”Silakan pergi kawan, pergilah jauh-jauh lalu sampaikan salamku kepada para pejuang cinta. Di sana Kau akan menemukan berbagai kisah indah tentang perjuangan cinta sejati. Bersujudlah untuk memantapkanmu, mohonlah petunjukNya, agar Kau tak silau dengan kecantikan dunia yang melenakan. Lalu kembalilah kepadaku, dan sampaikan apa yang telah Kau dapatkan kepadaku,” ujarku lantas meninggalkannya dalam kesendirian.

Beberapa langkah kuayunkan, lalu kutoleh ke belakang. Ia telah menghilang, bersamaan dengan hembusan angin darat yang menerpa dedaunan pohon waru yang tampak menguning, tepat di tepian pantai sore itu. Dan ketika itu, segera kusadari bahwa jawaban terakhirku adalah bisikan darinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun