Mohon tunggu...
Wahda
Wahda Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

wahda mahasiswa universitas Tadulako program studi antropologi hobi travelling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mereview Antropologi Agama Program Studi Antropologi Untad

16 Desember 2023   14:06 Diperbarui: 16 Desember 2023   14:13 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Materi I : Dr. Rismawati, S.Sos, MA.

Membahas tentang Antropologi Agama sebagaimana dikemukakan bahwa yang objek studi antropologi agama adalah manusia dalam kaitannya dengan agama yaitu dengan pikiran sikap dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan yang gaib jadi bukan kebenaran ideologis berdasarkan keyakinan dan kepercayaan menurut ajaran agama itu masing-masing yang menjadi titik perhatian studi melainkan kenyataan yang nampak berlaku yang empiris.

Dalam mempelajari antropologi agama terbagi atas beberapa metode dalam menganalisis antropologi religi diantaranya yaitu :

1.Metode historis

Metode ini bersifat sejarah dengan maksud untuk menelusuri pikiran dan perilaku manusia tentang agamanya yang berlatar belakang sejarah yaitu sejarah perkembangan budaya agama sejak Manusia masih sederhana budayanya sampai budaya agamanya yang sudah maju.

2.Metode normatif

Dalam studi antropologi agama dimasukkan yaitu mempelajari norma-norma kaidah-kaidah patokan-patokan dan sastra suci agama maupun yang merupakan perilaku dan kebiasaan yang tradisional yang tetap berlaku baik dalam hubungan manusia dan alam gaib maupun dalam hubungan antar manusia yang bersumber dan berdasarkan ajaran agama masing-masing.

3.Metode deskriptif

Metode ini dalam studi antropologi agama ialah berusaha mencatat melukiskan menguraikan melaporkan tentang buah pikiran sikap tindak dan perilaku manusia yang menyangkut agama dalam kenyataan yang implisit dalam penggunaan metode ini tentang kaidah-kaidah ajaran agama yang eksplisit tercantum dalam kitab-kitab suci dan kitab-kitab ajaran agama yang dikesampingkan.

4.Empiris

Metode ini dalam antropologi agama mempelajari pikiran sikap dan perilaku agama manusia yang ditemukan dari pengalaman dan kenyataan di lapangan artinya yang berlaku sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dengan menitikberatkan perhatian terhadap kasus-kasus kejadian tertentu atau metode kasus dalam hal ini si peneliti dituntut langsung atau tidak langsung melibatkan diri dalam peristiwa yang terjadi misalnya peneliti ikut berperan serta atau langsung dapat menyaksikan acara perkawinan yang dilakukan antar pria dan wanita yang beda agama atau peristiwa perkawinan yang berlaku di antara penganut agama suku atau terjadinya perkawinan yang dilakukan pada penganut aliran kepercayaan terhadap tuhan yang maha esa begitu pula halnya yang menyangkut pelaksanaan acara dan upacara keagamaan yang berlaku setempat agar si peneliti dapat menyaksikan sendiri bagaimana acara dan upacara itu berlangsung siapa yang memimpin Di mana tempat kejadiannya peralatan apa yang digunakan Apa tujuan upacara dilakukan keadaan para penganutnya gerak-gerik tingkah lakunya dan sebagainya.

Materi II : Yulianti Bakari, S.Sos, MA.

Antropologi agama membahas tentang sistem kepercayaan agama tertua suku Jawa.

Kapitayan (dari Jawa: ) adalah salah satu agama kuno masyarakat pulau Jawa; yaitu terutama bagi mereka yang beretnis Jawa sejak era paleolitik, mesolitik, neolitik dan megalit. Kapitayan merupakan salah satu bentuk monoteisme asli Jawa yang dianut dan dijalankan oleh masyarakat Jawa secara turun temurun sejak zaman dahulu. Orang Jawa setempat kerap juga mengidentifikasikannya sebagai "agama kuno Jawa", "agama monoteis Jawa", "agama monoteis leluhur", "agama asli Jawa", yang mana berbeda dari Kejawen (agama Jawanik lainnya yang bersifat non-monoteistik).

Dalam konteks "agama angin muson", agama kuno yang disebut Kapitayan merupakan agama yang dianut penghuni Nusantara, yang menurut cerita kuno adalah agama purbakala yang dianut oleh penghuni lama Pulau Jawa berkulit hitam. Dalam keyakinan penganut Kapitayan di Jawa, leluhur yang awal sekali dikenal sebagai penganjur Kapitayan adalah tokoh mitologis Danghyang Semar putera Sanghyang Wungkuham keturunan Sanghyang Ismaya. Menurut cerita, negeri asal Danghyang Semar adalah Swetadwipa, benua yang tenggelam akibat banjir besar yang menyebabkan Danghyang Semar dan kaumnya mengungsi ke Pulau Jawa. Sanghyang Semar memiliki saudara bernama Sang Hantaga (Togog) yang tinggal di negeri seberang (luar Jawa), yang juga mengajarkan Kapitayan tapi sedikit berbeda dengan yang diajarkan Danghyang Semar. Saudara Danghyang Semar yang lain lagi bernama Sang Manikmaya, menjadi penguasa di alam gaib kediaman para leluhur yang disebut Ka-hyang-an.

Tuhan dalam agama kapitayan disebut Sang Hyang Taya. Taya berarti "suwung" (kosong). Tuhan Kapitayan bersifat abstrak, tidak bisa digambarkan. Sang Hyang Taya diartikan sebagai "tan keno kinaya ngapa", tidak dapat dilihat, dipikirkan, atau dibayangkan, alias tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Untuk itu, supaya bisa disembah Sanghyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut Tu atau To, yang bermakna "daya gaib" yang bersifat adikodrati. Tu atau To adalah tunggal dalam Dzat. Satu Pribadi. Tu lazim disebut dengan nama Sanghyang Tunggal. Dia memiliki dua sifat, yaitu Kebaikan dan Kejahatan. Tu yang bersifat Kebaikan disebut Tu-han disebut dengan nama Sanghyang Wenang. Tu yang bersifat Kejahatan disebut dengan nama Sang Manikmaya. Demikianlah, Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya pada hakikatnya adalah sifat saja dari Sanghyang Tunggal. Karena itu baik Sanghyang Tunggal, Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya bersifat gaib tidak dapat didekati dengan pancaindera dan akal pikiran. Hanya diketahui sifat-Nya saja.

Kekuatan Sang Hyang Taya yang kemudian mewakili di berbagai tempat, seperti di batu, monumen, pohon, dan di banyak tempat lain. Oleh karena itu, mereka memberikan persembahan atas tempat itu, bukan karena mereka menyembah batu, pohon, monumen, atau apa pun, tetapi mereka melakukannya sebagai pengabdian mereka kepada Sang Hyang Taya yang kekuatannya diwakili di semua tempat itu. Agama kapitayan tidak mengenal dewa-dewa seperti dalam agama Hindu.

Tokoh-tokoh idola dalam ajaran Kapitayan seperti Danghyang Semar, Kyai Petruk, Nala Gareng, dan Bagong dimunculkan sebagai punakawan yang memiliki kekuatan adikodrati yang mampu mengalahkan dewa-dewa Hindu.

Materi III : Muh. Zainuddin Raddolahi, S.Sos. M.SI

Ritual dan kepercayaan Masyarakat bugis

Dalam lingkungan adatnya, masyarakat Bugis-Makassar mempunyai tradisi Assongka Bala. Tradisi ini diyakini sebagai bentuk tolak bala, pencegah datangnya penangkal penyakit, pembawa rejeki, penyederhanaan urusan, pemberi keselamatan, umur panjang, dan pemupukan tanah. Ritual adat pemasangan Assongka merupakan ritual adat rutin dimana diadakan setahun sekali pada bulan Juni (satu/Januari). Assongka Bala merupakan ritual adat yang menggunakan bahan dari rempah-rempah yang tumbuh di Bugis-Makassar baik daunnya dengan berbagai jenis. Itu Tata cara pemetikan daun mempunyai teknik/ritual tertentu berdasarkan arahan dari Sanro. Sanro memerintahkan perempuan dan laki-laki untuk mengambil daun lanra. Perempuan bertugas memetik daun dan laki-laki yang membawa daun tersebut ke ritual diadakan dan diserahkan kepada Sanro. Prosesi ritual Assongka Bala dilaksanakan pada malam baik saat bulan purnama selama 4 hari 4 malam.

Prosesi ini merupakan ritual pesta adat yang dilengkapi dengan makanan adat seperti songkolo le'leng (ketan hitam), songkolo eja (ketan merah), songkolo pute (ketan putih), manu (ayam), loka (pisang), kaluku (kelapa), dan tua'. Setelah ritual selesai, daunnya diberikan kepada setiap rumah untuk digantung di depan pintu. Setiap rumah memiliki tanda di atasnya masuk jika rumah telah melaksanakan ritual ini. Selain menjalankan tradisi Assongka Bala, adat istiadat masyarakat melindungi diri dari perbuatan tercela yang diatur adat dalam ritual. Pangadakkang (adat) berlaku ketika masyarakat melanggar atau melakukan perbuatan tercela. Hal ini dapat menyebabkan penyakit yang tidak dapat dideteksi oleh ilmu kedokteran modern. Masyarakat mengakuinya sebagai sesuatu yang istimewa penyakit karena kesalahan. Dikatakan bahwa penyakit ini dapat diobati tetapi tidak dapat disembuhkan sangat rentan terhadap kematian yang tidak wajar. Penyakit-penyakit tersebut misalnya penyakit kusta yang bersifat turun-temurun sampai dua kali tujuh generasi, badan bengkak dan menghitam, patah tulang, kecelakaan, dan ketika meninggal tiba-tiba tubuhnya membusuk dan menghitam, bentuk Pangadakkang sebagai berikut :

Tradisi yang berkaitan dengan Adat untuk melindungi diri dari wabah penyakit yaitu Upacara Akkallabua. Waktu upacara ini tidak diketahui secara pasti, namun motif utamanya adalah implementasi adalah penolakan terhadap penguatan atau upaya untuk menghindari sesuatu gangguan penyakit ini adalah bentuk isolasi diri tradisional. Penyakit yang dimaksud seperti penyakit menular seperti TBC atau penyakit kulit lainnya. Jadi upacara ini juga secara tidak langsung merupakan bagian dari praktek isolasi bentuk-bentuk pengobatan dalam tatanan tradisional Bugis-Makassar masyarakat. Salah satu kepercayaan masyarakat Bugis-Makassar yang dilandasi oleh nilai-nilai kepercayaan atau ritual, terutama terkait penanganan penyakit sehingga membentuk persepsi jika ritualnya tidak dilakukan dilaksanakan akan mendapat sanksi/kerugian tersendiri berupa sakit. Beberapa nilai dan norma yang mengatur penatalaksanaan penyakit yaitu "bila ingin sehat maka bekerjalah dan makanlah apa yang kamu tanam". Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat Bugis Makassar bekerja sebagai petani padi dan berkebun petani. Setiap kepala keluarga menanam padi dan sayuran. Petani tidak diperbolehkan menggunakannya pestisida sehingga beras dan sayuran yang dihasilkan bebas dari racun yang dapat menimbulkan penyakit.

Dalam Assongka Bala ritual pemberian sesaji bersifat perorangan, hanya mewakili masing-masing rumah tangga. Kegiatan ritual diawali dengan persiapan sesaji di rumah masing-masing. Setiap rumah tangga menyiapkan bahan. Sesaji (perseorangan) kemudian diserahkan kepada adat para pemimpin yang telah menunggu di tempat upacara yang diyakini sebagai tempat leluhurnya dan tikar yang dibentangkan sebagai tempat mereka duduk melakukan ritual. Setelah semua warga diharapkan, barulah pemimpin ritual dalam hal ini (sebagai pemimpin adat) memulai menyapa warga dengan menanyakan apakah semua hadir dan dikonfirmasi oleh warga. Lalu ritualnya

Pemimpin mengambil posisi menghadap pohon dan didampingi tiga tokoh adat lainnya. Keempatnya duduk bersila dan di depan mereka, masing-masing membawa nampan berisi dupa, daun besar, daun sirih dan ubi (kendi tanah liat). Seperti telah disebutkan sebelumnya, ritual Assongka Bala dilakukan oleh masyarakat Bugis-Makassar sangatlah sederhana. Namun di balik kecerdasannya terkandung suatu nilai disebut kearifan lokal. Berikut uraian beberapa kearifan lokal yang terdapat dalam ritual Assongka Bala:

Salah satu kearifan lokal yang terdapat dalam ritual Assongka Bala adalah kesederhanaan. Hal itu tercermin dalam menu (persembahan) yang disiapkan oleh mereka. tingkat kebersamaan yang tinggi dalam Assongka Bala ini upacara. Masyarakat dengan kesadarannya sendiri tanpa dikirimi undangan atau pesan bersama-sama menghadiri ritual tersebut. Sikap ini didasari oleh pemikiran bahwa ritual yang mereka lakukan milik bersama sehingga tidak perlu mengajak dan mengajak. Apalagi untuk kebersamaan mereka rela meninggalkan segala aktivitasnya masing-masing. Pada saat pelaksanaan ritual, tidak ada apa-apapenting selain menghadiri ritual Assongka Bala. Artinya, masyarakat masih mempertahankan sikap menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Menghormati leluhur menjadi penyebab kehadiran mereka di muka bumi, khususnya di Bugis-Makassar. Dimana mereka tidak akan pernah disebut sebagai masyarakat Bugis-Makassar. Dengan itu, di setiap tarikan napas dan setiap tingkah lakunya, mereka tidak pernah melupakan nenek moyangnya. Implementasi kehormatan mereka kepada mereka nenek moyang. Sebuah kepercayaan bahwa meskipun nenek moyang mereka telah tiada, namun ada kekuatan tak kasat mata yang ada sumber kekuatan mereka. Pesan yang ditangkap yaitu menghargai jasa orang lain terpuji. Sekecil apapun pengabdian orang baik untuk orang lain maupun untuk orang lain bangsa harus dihormati. Bentuk kepercayaan masyarakat Bugis-Makassar yang tidak ada tempat lain untuk bersembunyi dan meminta selain Allah SWT. Baginya, pria itu menyerah. Ini bisa dilihat dalam doa-doa yang dipanjatkan pada saat ritual. Ritual Assongka Bala yang merupakan upaya untuk mencegah semua itu bahaya kemarahan, malapetaka, dan musibah yang tidak dapat terwujud tanpa izin dari yang bersangkutan Mahakuasa. Manusia hanya terbatas pada medium doa dan segala keputusan dan kepastian ada di dalamnya Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun