Mohon tunggu...
Wahda
Wahda Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

wahda mahasiswa universitas Tadulako program studi antropologi hobi travelling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mereview Antropologi Agama Program Studi Antropologi Untad

16 Desember 2023   14:06 Diperbarui: 16 Desember 2023   14:13 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tradisi yang berkaitan dengan Adat untuk melindungi diri dari wabah penyakit yaitu Upacara Akkallabua. Waktu upacara ini tidak diketahui secara pasti, namun motif utamanya adalah implementasi adalah penolakan terhadap penguatan atau upaya untuk menghindari sesuatu gangguan penyakit ini adalah bentuk isolasi diri tradisional. Penyakit yang dimaksud seperti penyakit menular seperti TBC atau penyakit kulit lainnya. Jadi upacara ini juga secara tidak langsung merupakan bagian dari praktek isolasi bentuk-bentuk pengobatan dalam tatanan tradisional Bugis-Makassar masyarakat. Salah satu kepercayaan masyarakat Bugis-Makassar yang dilandasi oleh nilai-nilai kepercayaan atau ritual, terutama terkait penanganan penyakit sehingga membentuk persepsi jika ritualnya tidak dilakukan dilaksanakan akan mendapat sanksi/kerugian tersendiri berupa sakit. Beberapa nilai dan norma yang mengatur penatalaksanaan penyakit yaitu "bila ingin sehat maka bekerjalah dan makanlah apa yang kamu tanam". Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat Bugis Makassar bekerja sebagai petani padi dan berkebun petani. Setiap kepala keluarga menanam padi dan sayuran. Petani tidak diperbolehkan menggunakannya pestisida sehingga beras dan sayuran yang dihasilkan bebas dari racun yang dapat menimbulkan penyakit.

Dalam Assongka Bala ritual pemberian sesaji bersifat perorangan, hanya mewakili masing-masing rumah tangga. Kegiatan ritual diawali dengan persiapan sesaji di rumah masing-masing. Setiap rumah tangga menyiapkan bahan. Sesaji (perseorangan) kemudian diserahkan kepada adat para pemimpin yang telah menunggu di tempat upacara yang diyakini sebagai tempat leluhurnya dan tikar yang dibentangkan sebagai tempat mereka duduk melakukan ritual. Setelah semua warga diharapkan, barulah pemimpin ritual dalam hal ini (sebagai pemimpin adat) memulai menyapa warga dengan menanyakan apakah semua hadir dan dikonfirmasi oleh warga. Lalu ritualnya

Pemimpin mengambil posisi menghadap pohon dan didampingi tiga tokoh adat lainnya. Keempatnya duduk bersila dan di depan mereka, masing-masing membawa nampan berisi dupa, daun besar, daun sirih dan ubi (kendi tanah liat). Seperti telah disebutkan sebelumnya, ritual Assongka Bala dilakukan oleh masyarakat Bugis-Makassar sangatlah sederhana. Namun di balik kecerdasannya terkandung suatu nilai disebut kearifan lokal. Berikut uraian beberapa kearifan lokal yang terdapat dalam ritual Assongka Bala:

Salah satu kearifan lokal yang terdapat dalam ritual Assongka Bala adalah kesederhanaan. Hal itu tercermin dalam menu (persembahan) yang disiapkan oleh mereka. tingkat kebersamaan yang tinggi dalam Assongka Bala ini upacara. Masyarakat dengan kesadarannya sendiri tanpa dikirimi undangan atau pesan bersama-sama menghadiri ritual tersebut. Sikap ini didasari oleh pemikiran bahwa ritual yang mereka lakukan milik bersama sehingga tidak perlu mengajak dan mengajak. Apalagi untuk kebersamaan mereka rela meninggalkan segala aktivitasnya masing-masing. Pada saat pelaksanaan ritual, tidak ada apa-apapenting selain menghadiri ritual Assongka Bala. Artinya, masyarakat masih mempertahankan sikap menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Menghormati leluhur menjadi penyebab kehadiran mereka di muka bumi, khususnya di Bugis-Makassar. Dimana mereka tidak akan pernah disebut sebagai masyarakat Bugis-Makassar. Dengan itu, di setiap tarikan napas dan setiap tingkah lakunya, mereka tidak pernah melupakan nenek moyangnya. Implementasi kehormatan mereka kepada mereka nenek moyang. Sebuah kepercayaan bahwa meskipun nenek moyang mereka telah tiada, namun ada kekuatan tak kasat mata yang ada sumber kekuatan mereka. Pesan yang ditangkap yaitu menghargai jasa orang lain terpuji. Sekecil apapun pengabdian orang baik untuk orang lain maupun untuk orang lain bangsa harus dihormati. Bentuk kepercayaan masyarakat Bugis-Makassar yang tidak ada tempat lain untuk bersembunyi dan meminta selain Allah SWT. Baginya, pria itu menyerah. Ini bisa dilihat dalam doa-doa yang dipanjatkan pada saat ritual. Ritual Assongka Bala yang merupakan upaya untuk mencegah semua itu bahaya kemarahan, malapetaka, dan musibah yang tidak dapat terwujud tanpa izin dari yang bersangkutan Mahakuasa. Manusia hanya terbatas pada medium doa dan segala keputusan dan kepastian ada di dalamnya Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun