Mohon tunggu...
Wahayun Kiyana
Wahayun Kiyana Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Siswi SMA

Saya suka membaca buku dan mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan Harapan

25 November 2024   10:07 Diperbarui: 25 November 2024   10:23 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah renovasi selesai, Desa Sukomulyo kembali seperti biasa, tetapi semangat yang menghangatkan setiap warganya kini berbeda. Keberhasilan memperbaiki sekolah menjadi kebanggaan tersendiri, sebuah bukti bahwa kerja keras bersama dapat mengatasi segala rintangan. Meski sekolah masih sederhana, kini terlihat jauh lebih kokoh dan terawat dibanding sebelumnya. Setiap sudutnya memancarkan harapan baru.

Namun bagi Raya, perjalanan belum berakhir. Ia tahu bahwa memperbaiki atap hanyalah langkah awal. Masih banyak hal yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Fasilitas belajar-mengajar, seperti papan tulis, buku pelajaran, dan alat tulis, masih jauh dari memadai. Sebagian besar murid masih menggunakan buku bekas dengan halaman yang sudah lecek, bahkan beberapa tak punya buku sama sekali.

Suatu sore, setelah jam sekolah selesai, Raya duduk di ruang guru yang kecil, memandangi daftar kebutuhan sekolah yang ia tulis di secarik kertas. Pikirannya melayang pada berbagai cara untuk mendapatkan bantuan. Mengandalkan donasi dari luar tidaklah cukup, dan ia tidak ingin terus-menerus merepotkan warga desa yang sudah berjuang keras.

Dalam lamunan, ia mendengar ketukan lembut di pintu. "Masuk," katanya pelan.

Didi, murid kelas lima yang sering membantunya, melongokkan kepala ke dalam. "Bu Guru, saya dengar dari Ibu kalau sekolah masih butuh banyak buku, ya?"

Raya tersenyum kecil. "Iya, Didi. Kita masih kekurangan banyak hal. Tapi Ibu sedang cari cara supaya bisa mendapatkannya."

Didi berjalan masuk, membawa sesuatu yang disembunyikan di balik punggungnya. "Bu Guru, ini..." Ia mengulurkan sebuah buku tulis kecil yang sampulnya sudah robek. "Ini buku catatan saya. Mungkin bisa buat adik-adik yang belum punya buku."

Raya tertegun, hatinya terenyuh melihat kepedulian Didi. Meski buku itu tampak usang dan hampir penuh dengan catatan, Didi rela memberikannya. Raya tahu, di balik kesederhanaan anak-anak Desa Sukomulyo, tersimpan hati yang besar.

"Terima kasih, Didi," ujar Raya dengan suara bergetar. Ia berjongkok dan memegang bahu anak itu. "Tapi buku ini lebih baik kamu pakai. Ibu janji, kita akan cari cara supaya semua murid punya buku sendiri."

Setelah Didi pergi, Raya duduk termenung, memikirkan bagaimana caranya menanamkan lebih banyak semangat berbagi di desa ini. Ia tahu, jika anak-anak saja bisa menunjukkan kepedulian sebesar itu, maka orang dewasa pun seharusnya mampu memberikan lebih.

Raya mendapatkan ide. Di sudut sekolah, ada sebuah ruangan kecil yang dulunya digunakan sebagai gudang. Kini, ruangan itu kosong, hanya dipenuhi debu dan beberapa meja kayu yang tak terpakai. Raya memutuskan untuk mengubahnya menjadi perpustakaan sederhana. Meski hanya ada beberapa buku bekas dari koleksi pribadinya, ia yakin tempat itu bisa menjadi awal yang baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun