Kalau lagi suntuk, ada saja hal-hal yang Dia hadirkan untuk bikin hati jadi terasa tercerahkan. Awalnya saya memilih naik angkot untuk pulang ke rumah karena saya pikir belum masuk jam yang terlalu sibuk, paling tidak saya berharap ketika jalanan mulai padat, saya sudah dekat dengan rumah. Lagipula ketika naik angkot banyak "pemandangan" yang bisa dinikmati. Begitu pikir saya.
Berharap angkot yang saya tumpangi tidak terlalu penuh, namun nyatanya makin lama makin penuh. Oh ya, karena rumah saya cukup jauh dari tempat berkegiatan, untuk sampai ke rumah saya perlu naik turun angkot setidaknya dua kali. Dua kali berganti angkot dengan kondisi angkot yang hampir sama, penuh dengan penumpang. Di sisi lain, saya beruntung tidak perlu menunggu angkot terlalu lama, bahkan sempat duduk di kursi depan, di samping sopir, sebelum naik anak muda berpakaian SMA. Yah bisa saja sih saya membayar ongkos untuk dua kursi, biar duduk saya lebih nyaman. Namun, saya jatuh kasihan melihat anak muda yang tampak kelelahan menunggu angkot. Benar saja, tak lama setelah duduk di sebelah saya, anak itu tertidur dengan nyaman dan tanpa rasa malu😄
Itu tadi cerita angkot pertama. Angkot kedua juga mudah saya dapat. Kali ini saya duduk di belakang bersama penumpang lain. Makin lama jalanan makin macet seiring dengan semakin penuhnya angkot. Sampai pada perempatan jalan dekat rumah saya yang lampu merahnya terkenal super lama karena ada di jalan utama, rasa tidak nyaman semakin terasa. Selain udara yang sangat panas, aroma di dalam angkot pun mulai menyeruak mengganggu penciuman. Maklum lah, di hari yang mulai senja, bau tubuh orang-orang usai beraktivitas semakin tajam tercium, terlebih dalam udara yang cukup panas.
Selain background dalam angkot seperti yang saya ceritakan tadi, ada pemandangan menarik lainnya. Di depan saya, ada anak laki-laki kurang lebih berumur delapan tahun, bersama ayahnya. Berpakaian agak lusuh, namun perlakuan si ayah pada anaknya terasa hangat. Anaknya dipeluk erat tak berlebihan, dan dengan sabar si ayah menanggapi si anak yang saya kira mengeluh lapar, karena tak lama kemudian si ayah memberinya sepotong lontong lengkap dengan gorengannya, bala-bala kata orang Bandung mah! Si anak makan dengan lahap dan tak terlihat sama sekali terganggu dengan suasana angkot yang tak nyaman. Ya, tak nyaman setidaknya menurut ukuran saya tentunya. Hehehe....
Pemandangan lainnya adalah seorang ibu muda yang duduk di sebelah saya dengan dua anak perempuannya yang berumur kurang lebih lima dan dua tahun. Saya tak bisa memperhatikan dengan jelas wajah si ibu karena posisinya yang menyamping. Namun dari wajah anak-anaknya yang manis, sangat mungkin si ibu juga berwajah manis. Pakaiannya pun cukup modis, ala ala ibu muda, dengan celana jins dan kaos serta kerudung bergaya kekinian. Hihihi...gak penting ya
Udara yang panas membuat anak yang kecil terlihat rewel. Si kakak juga terlihat memberi kode tertentu pada ibunya dengan sedikit mengernyitkan dahinya. Ternyata anak-anak itu kehausan, dan ibu mereka pun berteriak memanggil pedagang asongan untuk membeli air dalam kemasan. Dalam hati keterlaluan juga nih, ibu. Bawa anak kok gak membawa apapun, termasuk air minum yang pasti dibutuhkan selama perjalanan. Setelah mendapatkan air, anak-anak pun bergantian minum, dan terlihat tenang kembali.
Kedua pemandangan tadi (ayah dengan anak laki-lakinya dan ibu dengan dua anak perempuannya) adalah pelarian saya atas rasa jengkel saya terhadap sopir angkot yang seenaknya melipir ke pinggir jalan, berhenti cukup lama menunggu penumpang walau kursi di dalam angkot sudah penuh. Sambil menunggu si sopir bolak balik menghitung uang di tangannya. Mungkin berhitung pendapatannya hari ini dan jumlah uang yang harus disetorkannya pada sang majikan. Mungkiiiiinnn...
Dalam hati, cepatlah jalan Pak. Di sini panas sekali. Kalau saya perhatikan, tidak hanya melipir sesaat, si sopir tampaknya sengaja mencari kesempatan lebih lama untuk berhenti beberapa kali, berharap ada penumpang tambahan walau angkot sudah demikian penuhnya. Kalau dihitung, angkot yang saya tumpangi alami tiga kali lampu merah yang membutuhkan waktu seminimalnya lima menit untuk berubah menjadi hijau. Bayangkan, tiga kali lampu merah artinya menunggu minimal lima belas menit tanpa ada kemajuan yang berarti. Keterlaluaaaaannn......kata saya dalam hati. Namun anehnya, pemandangan di depan dan samping saya, cukup menghibur dan mencerahkan hati. Dalam hati saya menyadari bahwa mereka lebih hebat dari saya. Rasanya saya cemen banget dibanding mereka yang jauh lebih tabah "menderita". Orang tua dan anak yang mampu bekerjasama dengan baik dalam menghadapi situasi yang mungkin saja membuat hati kebanyakan orang tidak sabar, seminimalnya orang seperti saya. Entah mengapa hati saya jadi berbunga menyaksikan pemandangan itu. Alhamdulillah. Terima kasih sudah mengajari dan mengingatkan saya.
Wallahu'alam...
Bandung, 15 Mei 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H