Mohon tunggu...
Wahana Dharma
Wahana Dharma Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Core Belief

29 Mei 2017   23:15 Diperbarui: 29 Mei 2017   23:42 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Cara pandang kita terhadap dunia, adalah hasil belajar kita sejak masa awal kelahiran, hasil belajar kita ketika berinteraksi dengan lingkungan dan orang-orang yang ada di sekitar kita, khususnya mereka yang banyak terlibat dalam pengasuhan kita saat kita, seyogyanya orang tua. Cara pandang yang terbentuk ini kerap dinamakan core belief, unconditional schema atau apapun lah namanya, yang intinya ia adalah nilai-nilai yang tertanam kuat dalam diri kita dan sangat sulit untuk berubah. Cara pandang ini akan kita bawa ke mana pun kita pergi, menjadi acuan dalam merespon stimulus yang hadir dalam kehidupan kita, menjadi semacam takdir yang pada akhirnya menentukan hidup kita, menentukan pilihan-pilihan hidup dari yang paling remeh temeh sampai pilihan yang paling kritis dan menentukan. Boleh saja, orang mengalami banyak pencapaian dalam kehidupannya, namun inner di dalam dirinya tidak pernah berubah.

Kita tak pernah minta dilahirkan ke dunia, pun tak bs memilih orang tua yang akan melahirkan kita. Orang tua lah yang mendidik kita dan menanamkan nilai-nilai, jadilah kita hari ini. Orang tua bagaikan Tuhan saja bagi anaknya. Dia yang menentukan ini dan itu untuk anaknya, namun belum tentu sesuai dengan kebutuhan si anak. Di sisi lain, anak tak berdaya menolaknya. Walau bertentangan dengan kebutuhan dirinya, anak terpaksa mengikutinya. Pengalaman inilah yang membentuk kepribadian si anak. Menurut saya, sehebat apapun orang tua, tetap tak ada yang sempurna dalam mendidik anaknya, ada saja celah kurang dan salahnya. Ketika kita mendapatkan orang tua yang mendidik jauh dari kebutuhan anak, maka akan muncul banyak persoalan. Anak yang merasa diabaikan orang tuanya akan merasa tidak dicintai. Anak yang tidak pernah dipercaya dan dihargai akan merasa tidak mampu, dan sebagainya. Pengalaman ini akan kita bawa sampai usia dewasa. Di sisi lain, cinta dan perhatian yang berlebihan pun menimbulkan banyak persoalan. Dari situlah para ahli psikologi mengembangkan beragam teori kepribadian untuk menggambarkan perilaku manusia.

Ilmu pengetahuan berkembang pesat. Ilmu otak (neuroscience) mengatakan bahwa otak manusia itu sangat plastis, jadi ada peluang untuk mengubah cara pandang dan kepribadian manusia dengan cara tertentu. Berkembanglah beragam teknik terapi. Namun sejauh mana ilmu pengetahuan mampu mengubah itu? Faktanya memang sulit, namun ini tetap berita yang menggembirakan. Intervensi terapi sebagai upaya membantu mengatasi persoalan manusia pada dasarnya adalah membantu manusia untuk lebih adaptif dalam menghadapi hal-hal yang menjadi persoalan dirinya. Kalau awalnya manusia hanya terpaku pada satu cara dalam mengatasi persoalannya, dengan terapi yang dilakukan, manusia dapat melakukan bbrp cara yang lebih adaptif dan sesuai. Kalau tadinya hanya menyerah ketika menghadapi stimulus yang bermakna untuknya, mungkin dengan terapi dia bisa melihat cara lain yang lbh membuatnya tersadar dalam membuat pilihan. Dengan intervensi (terapi) manusia dapat lebih menyadari persoalan yang dihadapinya, dan sadar dalam membuat pilihan-pilihan. Dengan terapi, fungsi logika dan akal sehatnya lebih diberdayakan, jadi pilihan-pilihan yang dibuat adalah pilihan2 yang disadari. Apakah dengan berubahnya perilaku manusia maka berubah pula innernya, nilai2 dalam dirinya? Saya rasa nilai-nilai yang sudah tertanam kuat itu sangat sulit untuk diubah.

Di sisi lain, di mana peran agama? Kembali pada cerita di awal, kita tidak minta dilahirkan dan tidak bisa memilih orang tua yang melahirkan kita, namun sekarang kita berada dalam situasi kehidupan yang penuh masalah. Kalaulah kita dididik dengan baik oleh orang tua kita, terpenuhi segala kebutuhan kita, mungkin saja kita relatif lebih berbahagia dibandingkan orang lain, namun namanya masalah pasti selalu ada. Anehnya, ketika seorang manusia berniat menjadi lebih baik, kesulitan pun semakin menggempurnya.Apa ini sebetulnya? Ya, memang ada tujuannya manusia dilahirkan ke dunia yang tidak nyaman dan penuh dengan persoalan ini. Tujuannya agar manusia bersungguh-sungguh belajar memahami diri dan kehidupannya, yang ujungnya adalah memahami Tuhan yang menciptakan dirinya dan menghadirkannya ke dunia. Betapa banyak manusia yang terfitnah dengan kehidupan dunia. Hanya fokus pada persoalannya, namun lupa pada dirinya dan pemberi kehidupan ini. Kesulitan dalam menjalani kehidupan, apapun warna kehidupan itu, tujuannya hanya satu, yaitu manusia menjerit dan membutuhkan Tuhan. Kalau tidak pernah ada masalah dalam hidup, maka ibadah kita terasa hambar, istighfar kita terasa basi. Mau minta apa? Toh semua sudah terpenuhi. Jadi kalau boleh disimpulkan dzolim kalau Allah tak memberi manusia persoalan dalam hidupnya, yang itu artinya tidak memberi kesempatan pada manusia untuk ingat pada dirinya, pada tujuan dia hadir di bumi.

Ilmu psikologi dengan terapi tercanggihnya sekalipun tidak bisa mengubah manusia sepenuhnya, namun saya yakin Allah mampu mengubah kita menjadi manusia yang benar-benar baru dan berakhlaq mulia sebagaimana Nabi SAW ajarkan. Syaratnya adalah kesungguhan untuk berjalan menemukan Sang Pemberi Kehidupan Yang Maha Indah. Bukan kondisi sempit atau lapang yang mampu mengubah manusia, namun kebutuhan manusia akan Allah-lah yang menyelamatkan manusia. Dan kebutuhan akan kehadiran Allah itu kerap baru muncul ketika manusia didera masalah. Jalan menuju Tuhan itu sangat personal dan manualnya hanya bisa dibaca oleh masing-masing orang, sebagaimana firman Allah, "Jalan menujuku sebanyak nafs hamba-hambaKu". Ketika manusia paham tentang keadannya, maka dia tdk akan protes lagi dengan warna kehidupan dan takdir yang Allah berikan. Lapang dan sempit adalah jalan, sebagaimana Sayyidina Umar bin Khattab RA katakan dalam Al Bayan wa At Tabyin III/126, "Kalau sekiranya kesabaran dan syukur itu dua kendaraan, aku tak tahu mana yang harus aku kendarai". Mungkin mirip dengan kata2 beliau yang lainnya yaitu, "Aku tidak peduli atas keadaan susah dan senangku, karena aku tidak tahu manakah di antara keduanya itu yang lebih baik bagiku". Itulah kata2 seorang ikhlas, yang guru saya alm mendefisinikan ikhlas sebagai bersih tanpa hawa nafsu. Ciri-cirinya menurut seorang sahabat saya adalah senang dan susah tak lagi terasa berbeda, atau sama-sama membahagiakan. Secara teknis, agar Allah membukakan jalan bagi kita, yang dapat kita lakukan adalah senantiasa memperbaiki istighfar kita dan melazimkannya di mana pun, kapan pun. Semoga diberi kemampuan. Aamiin YRA.

Wallahu'alam...

Nia Setyawati

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun