Oleh : Wahada Mony
(Tulisan ini sudah termuat di media massa di Maluku)
Direktur Eksekutif Polwais Maluku, dan
Aktifis Pada Komite Pemuda Pembangunan Indonesia Timur di Jakarta
Membangun Infrastruktur pembangunan di daerah tidak semudah meletakan konsep aktual yang disandarkan oleh pempus. Namun butuh juga kepedulian pemerintah dalam implememtasi pembangunan yang komprehensif dari berbagai sektor. Bicara soal pembangunan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) memang sudah sejak lama didengungkan dalam skala agenda pemerintah, hal ini juga tak kurung mengundang berbagai pengamat, maupun ekonom dan arsitek pembangunan untuk turut membahasnya. Akan tetapi kemacetan agenda pada sub pembangunan ini begitu panjang dan menggelisahkan di kawasan KTI sepanjang beberapa kurun waktu terakhir paska momentum Otonomi Daerah di laksanakan yang tak kunjung berhasil di daerah kawasan ini.
Kawasan KTI memang terbentang luas di negara ini, dengan berbagai potensi wilayah yang dimiliki, mempaunyai karakteristik daerah yang varian, serta kecenderungan memiliki geopolitik daerah yang beragam. Sehingga tidak mudah untuk meletakan dasar pembangunan yang merata untuk berbagai kawasan dan antar daerah. Tentu pemerintah pusat butuh kebijakan tersendiri dalam mengagendakan lokus pembangunan pada KTI.
Jika menatap agenda pembangunan di negara ini, cukup meyakinkan bahwa niscaya cerminan pembangunan infrastruktur nasional adalah pembangunan infrastruktur di tiap wilayah atau provinsi di Indonesia. Perkembangan pembangunan infrastruktur di masing-masing pulau di Indonesia memperlihatkan perbedaan yang cukup berarti. Dominasi pembangunan infrastruktur sangat ditentukan oleh kondisi geograsfis dan demografis dari suatu wilayah.
Dominasi infrastruktur ini dapat mencerminkan pula tingkat aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah. Perkembangan pembangunan infrastruktur untuk masing-masing pulau yang ada di Indonesia. Hal ini pula yang menjadi hambatan pembangunan infrastrukrur Kawasan Timur Indonesia. Pada hal sejatinya jika Indonesia ingin percepatan mencapai kemajuan maka pendekatan potensi atau potential approach yaitu potensi yang mendorong tumbuhnya komoditas unggulan, hendaknya menjadi komintmen kuat terhadap pembangunan infrstruktur kawasan timur Indonesia. Hingga sejauh ini, problem pembangunan di KTI masih sulit di atasi, problemnya sudah melebar hingga hampir di seluruh daerah di KTI. Karena perannya pempus masih di dominasi oleh kebijakan pembangunan yang sepihak.
Realitas Pembangunan
Pembangunan Kawasan Timur Indonesia (KTI), dalam satu dekade terakhir menunjukkan kecenderungan positif dan indikator-indikator makro ekonomi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di kawasan ini mengalami percepatan. Sayangnya, masih banyak tantangan pembangunan yang harus menjadi perhatian. Jumlah penduduk miskin di KTI masih berada di angka rata-rata 25%. Kementerian PDT telah menetapkan 199 Kabupaten di Indonesia sebagai Daerah Tertinggal dan 62% daerah tertinggal ini berada di KTI. Daerah-daerah di KTI juga masih minim dalam hal infrastruktur. Sebut saja Maluku, Papua dan Nusa Tenggara yang masih minim akses terhadap pelayanan kesehatan dasar, Maluku dengan akses dan infrastruktur transportasi laut yang masih kurang, serta Sulawesi yang infrastruktur pendukung kerja sama regionalnya juga masih kurang. Hal ini cukup mempengaruhi ketertinggalan daerah di kawasan ini yang cukup akut.
Belum lagi pembangunan di kawasan Timur Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan saudaranya, Kawasan Barat Indonesia (KBI). Dengan skala perbandingan tingkat kepadatan penduduk serta pemanfaatan sumber daya manusia dan alam yang masih rendah, di mana jumlah penduduk KTI sebanyak 13 % dari penduduk Indonesia, rata-rata pertumbuhan ekonomi dan IPM di KTI lebih rendah daripada rata-rata nasional. Indikator sosial seperti AKI, AKB maupun angka harapan hidup di KTI lebih buruk dari nasional. Bahkan 3 propinsi teratas dalam angka kematian bayi dan ibu terletak di KTI (NTB, NTT, Malut dan Sulteng), tingkat partisipasi sekolah di KTI selalu lebih rendah pada rentang usia masuk sekolah apa pun di banding nasional (2007). Inftrastruktur KTI jelas lebih tertinggal dari nasional.
Fakta dan data tersebut diatas telah menunjukkan bahwa KTI sangat membutuhkan percepatan dalam proses pembangunannya. Hal ini dimaksudkan agar tidak lagi terjadi ketimpangan pembangunan antar kawasan sebagai akibat sentralisasi roda pemerintahan dan pembangunan di masa lampau. Sejalan dengan kebijakan desentralisasi, maka masing-masing daerah bertanggung jawab untuk meningkatkan intensitas pembangunannya. Hal ini bisa tercapai apabila segenap komponen dan pelaku pembangunan di daerah dapat terlibat secara aktif dalam proses pembangunan. Berbagai langkah akan ditempuh, antara lain dengan membuka akses informasi dan jaringan komunikasi antarberbagai pihak di daerah.
Mesti sudah dilakukan langkah-langkah strategis oleh pemerintah serta masyarakatnyadi daerah. Upaya ini selain untuk mengejar ketinggalan dengan kawasan lain, juga untuk meningkatkankemandirian daerah yang lebih berkualitas dan berefek ganda, yaitu disatu pihak memiliki daya saing tinggi menghadapi pasar global, juga mampu mengolah sumberdaya alamnya guna menciptakan kemandirian dalam meningkatkan kesejahteraannya. Akan tetapi butuh rencana strategi dari pemerintah pusat guna mendorong kemampuan dalam mengelolah dan membangun daerahnya baik dari sisi anggaran maupun dalam hal teknis pembangunan lainnya.
Kebijakan Renstra
Pemerintah melalui Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas mengumumkan dimulainya pembahasan master plan percepatan dan perluasan ekonomi Indonesia 2011-2015. Salah satu hal yang menarik bagi masyarakat di Kawasan Timur Indonesia (KTI) adalah keinginan pemerintah untuk mengalihkan konsentrasi industri ke luar Jawa, dari sekitar 30 persen saat ini menjadi 40 persen dari total industri di Indonesia.
Selain melihat perencanaan pembangunan pempus diatas, patut pula menengok perbedaan karakteristik wilayah. Artinya bahwa, perbedaan karakteristik wilayah berarti perbedaan potensi yang dimiliki, sehingga membutuhkan perbedaan kebijakan untuk setiap wilayah. Untuk menunjukkan adanya perbedaan potensi ini maka dibentuklah zona-zona pengembangan ekonomi di daerah.
Zona Pengembangan Ekonomi Daerah (ZPED) adalah pendekatan pengembangan ekonomi daerah dengan membagi habis wilayah sebuah daerah berdasarkan potensi unggulan yang dimiliki, dalam satu daerah dapat terdiri dari dua atau lebih zona dan sebuah zona dapat terdiri dari dua atau lebih cluster. ZPED juga adalah salah satu solusi yang dapat diterapkan untuk membangun ekonomi suatu daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di masa depan. Pola pembangunan ekonomi dengan pendekatan Zona Pengembangan Ekonomi Daerah (ZPED), ini bertujuan bertujuan untuk, (pertama) Membangun setiap wilayah sesuai potensi yang menjadi keunggulan kompetitifnya/kompetensi intinya, (kedua) Menciptakan proses pembangunan ekonomi lebih terstruktur, terarah dan berkesinambungan, serta (ketiga) Memberikan peluang pengembangan wilayah kecamatan dan desa sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi daerah.
Hal ini sejalan dengan strategi pembangunan yang umumnya dikembangkan oleh para ahli ekonomi regional dewasa ini. Para ahli sangat concern dengan ide pengembangan ekonomi yang bersifat lokal, sehingga lahirlah berbagai Strategi Pembangunan Ekonomi Lokal (Local Economic Development/LED). Oleh karena itu, pemerintah pusat juga harus mendorong kekuatan ekonomi lokal di daerah. Karena kekuatan potensi ekonomi lokal daerah yang berada pada kawasan timur Indonesia. sehingga butuh renstra khusus yang relevan dalam merancang pembangunan untuk kawasan timur Indonesia.
info kontak : (081288781806)
email            : mony_wahda@yahoo.com
blog             : http://wahadamony.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H