Pilkada ibarat kapal yang berlayar di laut lepas mencari muara. Para paslon adalah nahkoda yang berlomba menawarkan arah, namun apa boleh buat sering kali angin popularitas jauh lebih berkuasa menggerakkan kapal dibandingkan kompas program yang mereka bawa. Akan kah kapal ini menemukan dermaga bernama "kesejahteraan"?
Baru-baru ini Pilkada telah terselenggara di 37 provinsi dan 508 kabupaten di seluruh Indonesia, banyak yang naik tahta tetapi banyak juga yang tersungkur dibawah nestapa. Beberapa daerah menyajikan tontonan dan hasil di luar ekspektasi tetapi pertandingan yang membosankan dan hasil yang sudah diduga kian tidak terelakkan. Pilkada tahun lalu telah menjadi sejarah yang menarik untuk diulas kembali karena implikasinya terhadap demokrasi Indonesia. Gejolak politik sebenarnya sudah dimulai sejak Pemilu 2024 yang menghasilkan banyak kontroversi. Namun, 27 November 2024 adalah hari yang harus diingat oleh seluruh rakyat Indonesia.
Pemilih Indonesia
Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi dalam bukunya yang berjudul "Kaum Demokrat Kritis: Analisis Perilaku Pemilih Indonesia Sejak Demokratisasi" mengkategorikan perilaku pemilih di dalam politik elektoral menjadi tiga model. Pertama, model sosiologis yang memandang perilaku pemilih ditentukan oleh kategori sosial pemilih seperti kelas sosial, agama, afiliasi etnis/ras/wilayah atau bahasa. Kedua, model rasional yang melihat perilaku pemilih berdasarkan kalkulasi ekonomi politik. Dengan kata lain, model rasional adalah model ideal dalam menentukan pilihan politik karena penekanannya berada pada kinerja pemerintahan khususnya terkait dengan kondisi ekonomi. Ketiga, model psikologis yang melihat pemilih mengasosiasikan dirinya dengan identitas kepartaian.
Jika berkaca pada tiga model di atas, maka mayoritas pemilih Indonesia saat ini adalah pemilih model sosiologis dan model psikologis. Hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai hasil pemilihan kepala daerah di Indonesia. Misalnya di Sumatera Utara, masyarakat suku batak cenderung memilih calon kepala daerah yang memiliki ikatan kekerabatan berdasarkan marga mulai dari tingkat Gubernur hingga Bupati/ Wali Kota. Selain itu, faktor lain yang juga berkontribusi besar adalah agama yang sering digunakan sebagai preferensi untuk memilih.
Kasus lain misalnya di Jawa Tengah adalah kemenangan pasangan Ahmad Luthfi-Taz Yasin yang banyak dipandang sebagai akibat dukungan Presiden ke-7 RI Joko Widodo dan dukungan Presiden Prabowo Subianto yang terang-terangan menggegerkan publik. Hal ini sudah pasti akan memengaruhi hasil Pilkada di daerah yang disinyalir sebagai "kandang banteng" tersebut. Turbulensi politik semacam ini pastinya akan memengaruhi psikologis pemilih secara langsung, pasalnya kedua figur tersebut dapat dikatakan sangat populer di Jawa Tengah. Situasi seperti ini dapat dimaknai sebagai bentuk dari model psikologis dimana perasaan dekat, sikap mendukung atau setia terhadap figur tertentu memengaruhi keputusan untuk memilih. Pada titik ini menjadi penting kemudian sosialisasi politik untuk dapat menciptakan opini, persepsi yang dapat menggugah psikologis seseorang.
Jakarta pada momen ini menunjukkan hasil yang cukup berbeda dari peristiwa yang kedua. Banyak orang menilai hal ini tidak terlepas dari julukan Jakarta sebagai miniatur Indonesia dalam konteks kontestasi politik elektoral, pasalnya pasangan Pramono Anung-Rano Karno yang sebelumnya tidak diunggulkan berhasil memenangkan Pilkada dalam satu putaran. Meskipun hanya didukung oleh dua partai politik yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA) dengan persentase suara hanya sebesar 14,46 persen namun terbukti rasionalitas warga Jakarta mampu mengalahkan kehendak penguasa.Â
Popularitas vs ProgramÂ
Pendekatan pemilih dengan popularitas sangat pakem pada Pilkada tahun lalu. Hal ini dapat dilihat pada masyarakat akar rumput yang cenderung lebih peduli terhadap latar belakang pribadi paslon dibanding rekam jejak kinerja di pemerintahan, pengalaman memimpin, dan kompetensi dalam menjalankan roda pemerintahan. Masyarakat lebih peduli siapa keluarga dari paslon tersebut seperti ayah, ibu, bahkan mertua dibanding program apa yang paslon tawarkan. Pembicaraan di akar rumput pun sangat jarang menyentuh program-program yang ditawarkan. Hal ini bisa terjadi karena kurangnya informasi dari paslon dan media atau masyarakat yang sudah subjektif sejak awal dalam menentukan pilihan. Kondisi seperti ini terjadi mulai dari tingkat Gubernur sampai Bupati/ Wali kota.
Kondisi seperti ini diperparah dengan banyaknya adu sentimen dibanding adu gagasan dalam forum-forum Pilkada. Misalnya dalam panggung debat yang seharusnya digunakan sebagai forum untuk mengenalkan visi-misi dan mengadu program antar paslon justru digunakan sebaliknya, para paslon cenderung memilih menggunakan forum tersebut untuk menyerang paslon lain secara personal. Selain itu, media-media besar di Indonesia juga berfokus menyiarkan Pilkada satu daerah tertentu seperti Jakarta yang menciptakan ketimpangan perolehan informasi di seluruh wilayah Indonesia. Lebih lagi, maraknya penggunaan media sosial dan praktik penggunaan "buzzer" menyebabkan banyaknya penyebaran hoaks dan framing terhadap paslon tertentu. Akhirnya, pilihan masyarakat tidak lagi ditentukan oleh rasionalitas dalam menentukan pilihan namun ditentukan oleh opini publik dan pribadi paslon secara subjektif.