Budaya populer adalah budaya yang cenderung digandrungi dan diminati oleh masyarakat di suatu tempat dalam jangka waktu tertentu. Umumnya, budaya populer tidak akan bertahan dalam jangka waktu yang lama, karena disebabkan dengan adanya perubahan tren/mode yang kemudian memicu masyarakat untuk berpindah mode/tren mengikuti apa yang sedang viral saat itu. Tak bisa dipungkiri, bahwa budaya pop adalah salah satu bagian dari arus globalisasi yang terjadi.Â
Karena itu, bukan sesuatu yang mengherankan apabila tren yang sedang menjamur di suatu negeri, bisa ikut menjamur di negara lain yang jaraknya dapat terpisah ribuan kilometer. Budaya pop adalah bagian dari kehidupan kita sebagai masyarakat global saat ini. Kita tidak dapat menutup diri dari keberadaan budaya populer yang mengelilingi kita. Sekalipun, kita tidak mengikuti budaya pop yang sedang tren, tapi lingkungan kita pasti akan mengikuti budaya pop yang sedang populer.
Sebagai bagian dari kehidupan kita saat ini, budaya populer tidak bisa kita hindari apalagi kita tahan penyebarannya. Terlebih lagi di era sekarang, yang mana teknologi informasi dan komunikasi sudah berkembang sangat pesat, dengan adanya media sosial dan internet, telah menjadikan budaya pop mudah menyebar, bukan hanya di suatu negeri, tapi di seluruh penjuru dunia. Di Indonesia sendiri, kita dapat saksikan bahwa tren budaya pop selalu berubah dari waktu ke waktu mengikuti budaya yang sedang viral atau hits pada saat itu. Penulis sendiri akan memaparkan sejumlah pengalaman pribadi penulis yang bersinggungan dengan budaya populer, baik yang dialami oleh penulis sendiri ataupun yang penulis saksikan dari lingkungan di sekitar penulis.
Sebelumnya, kita pahami bersama terlebih dahulu, bahwa media yang menjadi salah satu cara budaya pop menyebar dan viral di mana-mana, bukan hanya sebatas pada media elektronik seperti televisi dan radio. Kebanyakan orang, saat membahas tentang budaya pop yang tengah digandrungi masyarakat, maka mereka akan terpikirkan dengan pengaruh dari media-media elektronik, seperti televisi, yang mana menurut mereka, budaya pop tersebut dipopulerkan kepada masyarakat oleh artis-artis yang memang sudah biasa tampil di depan layar kaca.Â
Mereka memperkenalkan suatu hal yang kemudian digandrungi oleh masyarakat, padahal sebelumnya hal tersebut adalah asing, namun karena dipopulerkan oleh artis yang notabene adalah publik figur yang sering dijadikan role model oleh masyarakat, maka masyarakat pun latah ikut-ikutan memakai, menggunakan, dan mempopulerkan hal yang diperkenalkan oleh artis tersebut, dan inilah yang sering dianggap sebagai budaya pop oleh orang kebanyakan. Yang unik dari kasus diatas adalah dapat dilihat bahwa budaya pop menjadi digandrungi oleh masyarakat, bukan karena isi dari budaya pop itu sendiri, melainkan karena sosok artis yang mempopulerkan budaya pop tersebut yang seolah-olah menjadi influencer yang mempengaruhi masyarakat untuk menggandrungi budaya pop yang dipopulerkan oleh artis tersebut.
Hal ini sebetulnya tidaklah salah, namun dalam kasus tadi, masyarakat kita cenderung menyempitkan makna media yang menjadi cara penyebaran budaya pop. Masyarakat hanya menganggap bahwa media budaya pop terbatas pada media elektronik saja, padahal media cetak sekalipun dapat menjadi sarana penyebaran suatu budaya pop, dan tentunya di zaman sekarang, media sosial adalah bentuk media yang memiliki porsi paling besar dalam mempopulerkan budaya pop.Â
Salah satu contoh, kalau media cetak dapat mempopulerkan budaya pop dapat kita lihat pada sekitar tahun 2000an. Jika kita lihat perkembangan tren di zaman itu, maka bisa kita saksikan kalau media cetak memiliki andil besar dalam mempopulerkan budaya pop. Misalnya gaya rambut ataupun gaya berpakaian anak-anak muda di tahun 2000an yang mengikuti artis-artis idola mereka yang mereka lihat di majalah majalah anak muda. Banyak anak muda di tahun-tahun tersebut mengikuti gaya rambut dari Grup Band Peterpan, Sheila On 7, ataupun band yang lainnya yang masyarakat lihat foto-foto mereka di majalah-majalah dan mereka tiru gaya rambut dan gaya berpakaian mereka.
Jika dirunut, maka Indonesia pernah mengalami sejumlah transisi perubahan budaya pop dari waktu ke waktu. Dimulai dari dekade tahun 1960an, dimana budaya pop kita didominasi oleh budaya pop Inggris, seperti The Beattles yang saking populernya, membuat terbentuknya sebuah band legendaris di Indonesia yang mengikuti konsep The Beattles, yakni Koes Plus. Lalu di dekade 1980an, kita beralih pada budaya pop Amerika, di zaman itu, anak-anak muda menggandrungi lagu-lagu rock, metal, jazz asal Amerika.Â
Penyanyi dan artis serta film Hollywood mendominasi di zaman itu, di era ini biasa disebut dengan Era Retro. Lalu di dekade 1990an, kita sempat bergeser ke budaya pop Mandarin, dengan banyaknya film-film laga Mandarin, sebut saja seperti film petualangan Boboho, film vampir Cina, Legenda Pendekar Pemanah Rajawali, atau serial drama Meteor Garden. Pemuda pemudi di era itu, banyak meniru gaya rambut, pakaian pemeran serial Meteor Garden yang sangat hits saat itu.Â
Di akhir dekade 1990an, kita kembali beralih pada budaya pop Latin, dengan maraknya tayangan Telenovela asal Amerika Selatan yang banyak diputar di stasiun televisi kala itu. Untuk orang-orang yang sempat merasakan hidup di era ini, pasti mereka tidak asing melihat banyak tv yang memutar program telenovela di jam tayangnya, atau lagu-lagu tema telenovela yang banyak diputar saat itu, dari mulai di rumah-rumah, jalanan, sampai mall-mall besar.Â
Memasuki abad ke 21, kita sempat beralih ke budaya pop Melayu, dengan maraknya band-band yang beraliran musik pop Melayu, seperti Ada Band, Peterpan, Dewa 19, dsb. Bagi mereka yang merasakan remaja di zaman ini, pastilah pernah membeli majalah-majalah yang berisikan foto artis atau penyanyi pada saat itu, lalu mengguntingnya dan menempelkannya pada dinding atau lemari di kamar, bahkan ada juga yang menghapal karya-karya lagu mereka, sampai meniru artis atau penyanyi favorit mereka dalam hal penampilan.