Pernahkan kamu bertanya-tanya mengapa hampir semua perlindungan lebih condong ditujukan ke pihak perempuan dan bukan laki-laki. Pada salah satu tujuan dari SDGs terdapat tujuan “kesetaraan gender : Mencapai Kesetaraan Gender dan Memberdayakan Kaum Perempuan”. Tujuan itu dibuat untuk Isu kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Namun kenapa terlihat hanya perempuan saja yang dilindungi, dan mengapa laki-laki jarang mendapatkan perlindungan seperti itu? Apakah karena perempuan terlihat lebih lemah?
Menurut Halodoc.com Indonesia, ada 338.496 kasus kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan pada tahun 2021, meningkat tajam dari 226.062 kasus pada tahun 2020. Namun, data Komnas Perempuan tahun 2023 menunjukkan 401.975 kasus dari 457.895 kasus. Sebuah penelitian yang diterbitkan oleh Halodoc.com menyatakan bahwa kurangnya pengalaman perempuan, terutama di usia muda, menyebabkan mereka lebih sering terjebak dalam hubungan yang tidak sehat di mana mereka menganggap kontrol atas pasangan mereka sebagai wujud cinta, yang menyebabkan mereka lebih rentan terhadap kekerasan atau diskriminasi. Kurang pengalaman tersebut disebabkan oleh pendidikan yang rendah, yang mengakibatkan kurangnya pengetahuan umum dan seksual. Ketidaktahuan dasar seksual membuat pelaku seksual menjadi sasaran empuk bagi pelaku seksual.
Data menunjukkan bahwa wanita lebih sering mengalami kekerasan, tetapi ini tidak menghilangkan kemungkinan bahwa laki-laki juga mengalami kekerasan. Contohnya pada kasus kekerasan seksual, kekerasan terhadap laki-laki seringkali tidak dianggap sebagai hal yang serius. Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender, yang dirilis pada tahun 2020 oleh Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan INFID, menunjukkan bahwa 33% laki-laki mengalami kekerasan seksual, terutama pelecehan seksual. Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), korban kekerasan seksual di tahun 2018 lebih banyak dialami oleh anak laki-laki. Pelecehan terhadap anak laki-laki mencapai 60%, sedangkan pelecehan terhadap anak perempuan mencapai 40%. Menurut data yang dikumpulkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tahun 2017, anak-anak berusia antara 13 dan 17 tahun
Pelaku kekerasan terhadap perempuan didominasi oleh laki-laki. Data menunjukkan bahwa kekerasan berbasis gender adalah pria, yang sering kali dipengaruhi oleh norma-norma sosial dan budaya patriarkis yang memberikan kekuasaan lebih kepada laki-laki. Jadi dapat disimpulkan bahwa perempuan mendapatkan perlindungan yang lebih banyak dikarenakan jumlah kekerasan kepada mereka yang dimana pelakunya diantaranya adalah laki-laki.
Kesadaran masyarakat akan adanya ketimpangan ini saat mereka mulai menyadari perbedaan perlakuan yang mereka dapatkan khususnya pihak perempuan. Pada masa perang dunia ke 2 banyak perempuan yang turun ke jalan untuk menyuarakan pendapat mereka tentang perbedaan perilaku yang mereka dapati selama perang dunia kedua. Mereka pada masa itu hanya diberikan sedikit makanan atau bahkan tidak diberikan makanan sama sekali begitu juga dengan anak-anak mereka. Supply makanan yang ada selama masa perang dunia jauh lebih banyak diberikan untuk laki-laki yang berperang. Makanan tersebut difokuskan untuk laki-laki dengan anggapan mereka butuh asupan lebih untuk berperang sehingga perempuan yang dianggap hanya berada dirumah dipandang sebelah mata dan tidak diberikan makanan yang layak. Pemikiran bahwa memenangkan perang lebih penting adalah faktor yang membuat kesadaran masyarakat naik dan paham bahwa bukan hanya para laki-laki yang berperang saja yang membutuhkan pangan untuk hidup tapi juga generasi penerus mereka dan orang yang akan mengurus generasi penerus mereka yaitu perempuan.
Pada saat itu, masyarakat mulai memperhatikan dan melindungi anak-anak dan perempuan. Tapi aspek pentingnya adalah mereka melihat apakah perempuan yang saat itu menjadi budak seksual bagi para prajurit dapat melakukan peran yang lebih bermanfaat daripada hanya memuaskan hasrat mereka. akhirnya, hukum dibuat untuk masyarakat yang berani melakukan kekerasan terhadap perempuan, baik verbal maupun seksual. Pemerintah akhirnya memberikan pekerjaan kecil-kecilan kepada ibu rumah tangga yang tidak memiliki pekerjaan, memasak makanan dalam jumlah besar untuk prajurit dan mereka sendiri, tetapi tidak ada yang terpengaruh. Dari Indonesia sendiri, masyarakat menjadi lebih sadar sejak para pejuang muncul. Tapi mata masyarakat baru terbuka tentang keadilan untuk perilaku pada perempuan saja sedangkan perilaku yang memang kurang adil untuk laki-laki belum dipandang oleh masyarakat karena itu kesadaran masyarakat yang kurang akan hal ini harus kita highlight dan dukung dengan baik agar tidak terjadi ketimpangan di dalam masyarakat.
Untuk menyelesaikan masalah double standard ini belum ada bentuk penyelesaian yang pasti, namun dapat dilakukan melalui implementasi Sustainable Development Goals (SDGs). Salah satu tujuan utama dari SGDs untuk mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan semua perempuan dan anak perempuan, ini merupakan cara untuk menghapuskan bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap para perempuan. Mulai sekarang kita perlu menumbuhkan kesadaran sejak dini pada setiap jenjang pendidikan mengenai pentingnya memberlakukan semua manusia dengan adil tanpa memandang gender mereka. SDGs juga membuat kampanye yang dapat meningkatkan kesadaraan masyarakat tentang pentingnya kesetaraan gender dan pentingnya menghilangkan standar ganda.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memainkan peran penting dalam menyuarakan pentingnya menghapus standar ganda di masyarakat. Untuk melakukan ini, Komnas HAM mengembangkan program pendidikan mengenai kesetaraan gender dan standar ganda. Selain itu, mereka terlibat aktif dalam kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran publik tentang konsekuensi buruk penerapan standar ganda. Namun, penyelesaian standar ganda untuk laki-laki hanya dapat dicapai melalui kampanye publik yang meningkatkan kesadaran publik.
Sekarang perempuan memiliki badan perlindungan sendiri karena kesadaran masyarakat, dan karena perang tidak lagi terjadi, beberapa laki-laki sudah bebas mengekspresikan perasaan mereka dan melakukan apa yang mereka suka seperti laki-laki yang lebih feminim. Namun, tetap tidak ada badan yang melindungi pemberdayaan laki-laki karena pandangan tentang laki-laki sebagai pelaku dari kekerasan masih kuat.
Asian Development Bank & UN Women. (2018). Gender Equality and the Sustainable Development Goals in Asia and the Pacific. https://www.adb.org/sites/default/files/publication/461211/gender-equality-sdgs-asia-pacific-brochure.pdf
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. (n.d.). Langkah-Langkah Advokasi Komnas Perempuan dalam Melindungi HAM Perempuan dan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. https://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/15859/H.%20BAB%20IV.pdf?isAllowed=y&sequence=8