Pada tanggal 30 September 1965, Indonesia diguncang oleh peristiwa penting yang akan mengubah arah sejarahnya insiden G30S/PKI. Peristiwa ini merupakan upaya kudeta oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang akhirnya gagal tetapi berujung pada pembantaian terhadap orang-orang yang diduga bersimpati terhadap komunis dan perubahan signifikan dalam lanskap politik negara tersebut. Dalam artikel ini, akan membahas insiden G30S/PKI dan hubungannya dengan teori sosiologi komunikasi.
Peristiwa G30S/PKI
Peristiwa G30S/PKI merupakan upaya kudeta yang gagal oleh sekelompok perwira Angkatan Darat yang berafiliasi dengan PKI. Kelompok yang dipimpin oleh Letkol Untung Syamsuri ini menculik dan membunuh enam jenderal Angkatan Darat berpangkat tinggi dan berupaya menguasai pemerintahan. Namun, kudeta tersebut dengan cepat digagalkan oleh Jenderal Suharto yang kemudian menjadi Presiden kedua Indonesia.
Akibat dan Pembantaian
Kudeta yang gagal itu diikuti oleh gelombang kekerasan dan pembunuh massal terhadap mereka yang diduga bersimpati pada komunis. Militer Indonesia dengan dukungan kelompok Islam dan faksi konservatif, melancarkan kampanye untuk membersihkan negara dari unsur-unsur komunis. Hal ini mengakibatkan kematian sekitar 500.000 hingga 1 juta orang, terutama yang diduga komunis, etnis Tionghoa, dan intelektual sayap kiri.
Hubungan dengan Teori Sosiologi Komunikasi
Peristiwa G30S/PKI dan dampak-dampaknya mempunyai kaitan yang signifikan dengan teori sosiologi komunikasi, khususnya dalam bidang :Â
- Agenda setting theory
Agenda setting theory yang dicetuskan oleh Max McCombs dan Donald Shaw menyatakan bahwa media memiliki kekuatan untuk menetapkan agenda publik dengan menyoroti isu-isu tertentu dan menciptakan rasa penting. Dalam konteks insiden G30S/PKI, media memainkan peran penting dalam membentuk opini publik dan menciptakan narasi yang membenarkan pembantaian terhadap orang-orang yang diduga komunis. Pemerintah yang didukung militer menggunakan propaganda dan memanipulasi media untuk menciptakan suasana ketakutan dan histeria, melabeli simpatisan komunis sebagai ancaman terhadap keamanan nasional.
- Framing Theory
Framing theory yang dikembangkan oleh Erving Goffman, menjelaskan bagaimana orang mengatur dan memahami informasi dengan menciptakan kerangka kerja mental atau "bingkai." Dalam kasus insiden G30S/PKI, pemerintah yang didukung militer membingkai peristiwa tersebut sebagai tindakan heroik untuk menyelamatkan negara dari pengambilalihan komunis, sementara membingkai para simpatisan komunis yang dituduh sebagai penjahat. Pembingkaian ini berdampak signifikan pada persepsi publik dan berkontribusi pada pembenaran kekerasan yang terjadi setelahnya.
- Interkasionisme Simbolik
Interaksionisme simbolik, sebuah teori yang dikembangkan oleh Herbert Blumer, menekankan peran simbol, seperti bahasa dan gerak tubuh, dalam membentuk interaksi manusia. Dalam konteks insiden G30S/PKI, simbol dan retorika memainkan peran penting dalam membentuk narasi publik. Penggunaan propaganda komunis, sentimen anti-Tiongkok, dan simbolisme agama berperan penting dalam memobilisasi dukungan untuk pembantaian tersebut.