Mohon tunggu...
Wahyudi Almaroky
Wahyudi Almaroky Mohon Tunggu... -

pengamat politik dan pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Metamorfosa Sekolah Pamong: Dari OSVIA ke IPDN

8 April 2013   19:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:30 999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wahyudi Almaroky (Direktur Eksekutif Pamong Institute - Penerbit WADIpress). PAMONG Jakarta --- Dalam sejarah pendidikan pamong praja, pendidikan pamong praja pada jaman Hindia Belanda dikenal nama sekolah dengan nama seperti OSVIA, MOSVIA, dan MBS. Berdirinya sekolah Pamong di Indonesia tak lepas dari kepentingan penjajah Belanda untuk memenuhi kebutuhan kader-kader pemerintahan saat itu. Maka didirikanlah OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren). Sekolah ini khusus untuk pendidikan bagi pegawai-pegawai bumiputra pada jaman Belanda. Setelah lulus mereka dipekerjakan dalam pemerintahan kolonial sebagai pamong praja. Sekolah ini dimasukkan ke dalam sekolah ketrampilan tingkat menengah dan mempelajari soal-soal administrasi pemerintahan. Masa belajarnya lima tahun, tapi tahun 1908 masa belajar ditambah menjadi tujuh tahun. Pada umumnya murid yang diterima di sekolah ini berusia 12-16 tahun. Sebelumnya sekolah OSVIA bernama Hoofden School (sekolah para pernimpin).Sekolah ini tersebar di P. Jawa, masing-masing di Bandung, Magelang, dan Probolinggo. Tahun 1900 sekolah-sekolah ini mengalami reorganisasi dan diberi nama baru, yakni OSVIA. Di Bandung, sebagian muridnya berasal dari Jawa Barat. OSVIA Magelang, menarik siswa-siswa dari Jawa Tengah, sedangkan OSVIA Probolinggo bagi siswa dari Jawa Timur. Soal keturunan merupakan faktor penting dalam penerimaan siswa di OSVIA. Hal ini ditetapkan dalam suatu peraturan yang dikeluarkan tahun 1919 oleh pemerintah Belanda. Meskipun uang pembayaran sekolah disesuaikan dengan penghasilan orang tua, bagi keluarga berpenghasilan rendah yang menyekolahkan anaknya d OSVIA biaya itu tetap dirasakan mahal. Penerimaan siswa sering harus disertai surat rekomendasi pribadi pejabat Binenlandsch Bestuur (BB) dan para bupati. Bupati-bupati itu dapat menggunakan haknya untuk mengajukan sanak saudaranya dan orang-orang yang disukainya. Mungkinkah ini masih berlaku hingga saat ini? Pada tahun 1900, OSVIA membuka cabang bam di tiga tempat, yakni Serang, Madiun, dan Blitar. Pembukaan cabang bam itu dilakukan karena jumlah murid OSVIA meningkat dua kali lipat. Para lulusan siswa OSVIA sebagian mempunyai peranan sebagai pemimpin dalam gerakan-gerakan untuk memperbarui korps pegawai pada masa pemerintahan kolonial. Di samping itu, di antara mereka ada yang terjun dalam pergerakan Nasional, seperti HOS Tjokroaminoto sebagai tokoh Serikat Islam (SI) dan Soetardjo Arthohadikoesoemo yang bergabung dalam organisasi Budi Utomo (BU).

Pada tahun 1927 seluruh cabang OSVIA digabungkan menjadi MOSVIA (Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) yang berpusat di Magelang. Pada bulan Oktober 1969 para lulusan OSVIA dan lembaga pendidikan lainnya, seperti Bestuur school menyelenggarakan reuni. Dalam reuni ini mereka membicarakan Rencana Pembangunan Lima Tahun Orde Baru. Beberapa di antara mereka masih mengenakan bintang.Sekolah kepamongprajaan di Indonesia telah ada semenjak Pemerintahan Hindia Belanda, itupun tidak semua orang dapat bersekolah di sekolah ini . hanya orang-orang dari kalangan tertentu saja yang dapat bersekolah disana.

Indonesia telah dijajah Belanda sekitar 3,5 abad lamanya. Selama Pemerintahan Hindia Belanda berkuasa di Indonesia, pada saat itu Pemerintahan Hindia Belanda memerlukan banyak orang orang pribumi untuk dijadikan pegawai pemerintahan untuk menjaga berbagai kepentingannya.

Pada mulanya, pemerintahan Hindia Belanda membangun perguruan tinggi pertama di Indonesia yang berada di pulau Jawa. Pada tahun 1878, telah didirikan sekolah pimpinan pemerintahan (Hoofden-schollen). Pada mulanya sekolah ini hanya diperuntukan bagi anak-anak kaum bangsawan (elite) tetapi kemudian menjadi lembaga pendidikan para pegawai pemerintahan pribumi atau ambtenar yang pada masa itu lebih dikenal sebagai sekolah pangreh praja dan hanya mendapat akreditas A saja. Pada tahun 1879 di Bandung, pemerintahan Hindia Belanda mendirikan Opleidings-school Voor Indlandsche ambtenaren (OSVIA) yang pendidikannya selama lima tahun. Saat itu kalangan penduduk pribumi menyebutnya sebagai “Sukola Menak” maklum, murid sekolah itu adalah anak para priyayi sepeti bupati, patih dan wedana. Murid OSVIA adalah lulusan sekolah dasar atau disebut juga HIS. Setelah OSVIA, Belanda juga kemudian membuka Middlebare Besture School atau MBS yang bertempat di kota Malang-Jatim. Sekolah Pamong yang didirikan oleh pemerntahIndonesia secara resmiyaitu Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) dengan direktur pertamanya Dr. Raspio Woerjadiningrat yang diresmikan oleh presiden RI Ir. Soekarno. Pertama kalinya APDN didirikan pada tanggal 1 Maret 1956 di Malang Jatim. Pendirian ini berdasarkan SK Mendagri No. Pend. 1/20/565 tanggal 24 September 1956.

Karena belum ada yang menampung untuk melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebihtinggi setelah lulus dari APDN maka pada tanggal 25 Mei 1967 APDN diubah menjadi Institut Ilmu Pemerintahan (IIP). Sekolah yang masih balita itu akhirnya IIP malang dipindahkan ke Jakarta pada tahun 1971. Kebutuhan akan tenaga aparatur pemerintahan tiap daerah sangat pesat, maka sejak tahun 1965 satu demi satu didirikan APDN diberbagai provinsi. Pada tahun 1970 telah berdiri APDN diseluruh nusantara dengan lokasi sebagai berikut, Banda Aceh, Medan, Bukit tinggi, Pekan baru, Jambi, Palembang, Tanjung karang, Bandung, Semarang, Malang, Mataram, Kupang, Ujung Pandang, Menado, Pontianak, Banjar masin, Palangkaraya, Samarinda, Ambon dan Jayapura. Namun ternyata kehadiran APDN di dua puluh provinsi mengundang banyak kontroversi dari berbagai kalangan, di mana muncul anggapan bahwa kualitas dan profesionalisme lulusan APDN daerah tidak merata dan tidak seimbang diakibatkan tidak samanya kualitas pendidik dan tidak meratanya sarana dan prasarana pendukung bagi pelaksanaan pendidikan kedinasan. Dalam perjalanannya APDN Sampai dengan tahun 1991 yaitu tahun alumnus terakhir dan berakhirnya opereasi APDN telah menghasilkan 27.710 alumnus APDN yang penempatannya tersebar di 27 provinsi. Selanjutnya, untuk menyamakan pola pendidikan APDN dikeluarkanlah Kep Mendagri No. 38 Tahun 1988 tentang pembentukan APDN yang bersifat nasional yang dipusatkan di Jatinangor, Sumedang, jawa barat. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan kebutuhan masyarakat, maka APDN nasional berubah menjadi STPDN hingga kini bernama IPDN. Sangat mungkin di masa mendatang akan berubah lagi sesuai kebutuhan masyarakat.... (Roky almaro)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun