[caption id="attachment_214018" align="alignright" width="600" caption="Calon Gubernur Fauzi Bowo (kiri), dan Calon Wakil Gubernur Nachrowi Ramli (kanan), melakukan debat calon gubernur dan wakil gubernur di Jakarta, Minggu (16/9/2012). Pasangan Foke-Nara bersama pasangan Jokowi-Ahok, melaju ke putaran kedua pilkada DKI Jakarta, yang berlangsung pada 20 September 2012. - Foto: TRIBUNNEWS/DANY PERMANA "][/caption]
MOMEN Pilkada DKI yang baru saja berlalu, dalam pengamatan saya mengindikasikan beberapa hal. Pertama: Bahwa issue SARA tidak terlalu diminati di DKI. Kedua: Masyarakat DKI umumnya cenderung berpandangan sekuler-nasionalis.
Putaran pertama ada Hidayat Nur Wahid, tokoh Islam PKS. Hidayat kalah telak sehingga tidak bisa ikut putaran kedua. Walau dulu PKS pernah menang di Jakarta, tetapi sepertinya hal ini tidak berpengaruh. Kekalahan Hidayat menunjukkan masyarakat Jakarta tidak terlalu antusias dengan ideologi keislaman ala Hidayat/PKS.
Memasuki putaran kedua, pasangan Foke-Nara dan Jokowi-Ahok maju bersaing. Kedua pasangan ini sesungguhnya cenderung berpandangan sekuler-nasionalis dan diusung oleh partai-partai yang juga berplatform sekuler-nasionalis. Masuknya kedua pasangan tersebut saja sudah jelas mengindikasikan arah pandangan masyarakat Jakarta.
Pasangan Foke-Nara, walau sering terlihat memanfaatkan issue SARA dan terkenal dekat dengan tokoh habib dan ulama di Jakarta, sesungguhnya terhitung figur yang berpandangan sekuler-nasionalis ketimbang figur yang berideologi agama.
Berbagai issue keislaman dan “kebetawian” yang diusung Foke-Nara hanyalah upaya pragmatis untuk mendongkrak suara, tidak lebih. Islam yang diusung Foke-Nara bukan Islam ideologis seperti yang dianut Hidayat dan PKS. Semua jurus primordial itu pun dipakai hanya karena pihak lawan ada Ahok yang Cina dan Kristen. Anggaplah Foke-Nara melaju ke putaran kedua berhadapan dengan pasangan Hidayat-Didik, boleh jadi jurus “islam” tidak akan digunakannya.
Metoda kampanye "bawa-bawa agama" dan "bawa-bawa ras" yang dilakukan kubu Foke-Nara, itupun akhirnya tidak membuahkan hasil. Walau digempur issue agama dan ras, kubu Jokowi-Ahok yang “tak berpeci dan tak berbaju koko”, tetap meraih kemenangan dengan selisih suara (menurut hasil hitung cepat) sekitar 10 persen ketimbang Foke-Nara yang berpeci dan berkoko. Euforia dukungan terhadap Jokowi-Ahok juga terlihat jelas di berbagai situs jejaring sosial baik selama, maupun setelah pilkada.
Berdasarkan kecenderungan fakta-fakta di atas, secara sederhana bisa kita tarik kesimpulan bahwa rata-rata masyarakat DKI, walau mereka –katakanlah—taat beragama, namun memiliki kecenderungan pandangan yang sekuler-nasionalis ketimbang agamis-ideologis. Saya berpendapat, bahwa ini adalah wujud "silent majority" yang bisa menepis anggapan bahwa “muslim Jakarta menginginkan formalisasi syariat Islam.”
[caption id="attachment_214019" align="alignright" width="663" caption="Pasangan capres/cawapres Jusuf Kalla dan Wiranto bersama isteri mereka yang berjilbab. Foto: VIVAnews/Tri Saputro"]
Issue SARA sebagai black campaign dalam moment pemilu di Indonesia bukan hanya terjadi pada pemilukada kemarin. Dalam moment Pilpres 2009 lalu, capres inkumben SBY yang berpasangan dengan Boediono, juga digempur issue SARA. Isteri SBY, Ani Yudhoyono sempat digosipkan beragama Kristen melalui sejumlah selebaran. Kemudian lawan politiknya, kubu Jusuf Kalla yang berpasangan dengan Wirantojuga mencoba “menjual Islam” dengan aksi memamerkan isteri mereka yang berjilbab dalam berbagai baliho kampanye. Gambar capres Kalla dan Wiranto yang berfoto di samping isteri mereka yang berjilbab, jelas terbaca sebagai upaya “jualan jilbab” demi meraih sentimen umat Islam.
Walhasil, segala kampanye SARA tersebut tidak berhasil. Pasangan SBY-Boediono tetap unggul dibandingkan dengan pasangan JK-Wiranto. Serupa dengan Pilkada DKI tersebut di atas, hal ini mengindikasikan arah pandangan masyarakat Indonesia yang cenderung sekuler-nasionalis ketimbang agamis-ideologis. Sepanjang sejarah pula, partai-partai Islam tidak pernah ada yang menang telak dalam even pemilu. Masyarakat cenderung memilih figur, bukan agama. Atau masyarakat telah cerdas dan sadar, bahwa issue “agama” yang digaungkan selama masa kampanye, hanyalah upaya politisasi agama demi keuntungan politik. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H