Mohon tunggu...
Rinaldi Abrakadabra™
Rinaldi Abrakadabra™ Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Anak muda

Anak muda yang rajin beribadah, sesungguhnya telah kehilangan masa mudanya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

[copas] Pemimpin Non Muslim Haram?

24 Agustus 2012   15:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:22 2229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1345822972342572224

“Saya tidak peduli, apa itu kucing putih atau kucing hitam, sejauh kucing itu bisa menangkap tikus, itu kucing yang baik.” -Deng Xiaoping

Sekedar kata pengantar dari saya:

Sejak hebohnya issue SARA dalam masa Pilkada DKI putaran kedua beberapa waktu lalu, saya telah berniat menulis sedikit opini terkait issue tersebut. Namun, karena kesibukan dan faktor “buntu ide”, maka niat tersebut belum terlaksana sampai sekarang. Kemudian saya membaca artikel Akhmad Sahal berikut, yang saya nilai memberi paparan cukup argumentatif dari sudut pandang agama Islam mengenai pemimpin non muslim. Sejujurnya, apa yang dipaparkan Sahal dalam artikel berikut merupakan wawasan baru bagi saya. Itulah yang membuat saya tertarik untuk men-share dan mendiskusikan artikel ini.

Sudut pandang Sahal bukanlah sudut pandang saya. Secara ideologis, saya tidak mau tahu dan tidak berurusan dengan bagaimana Islam mengajarkan umatnya untuk memilih calon pemimpin; apakah harus seiman atau tidak. Yang saya pedulikan adalah: Apakah suatu ajaran dapat selaras dengan asas kesetaraan derajat (equality) dan HAM atau tidak. Itu saja.

Deklarasi Universal HAM telah menjamin bahwa tiap individu memiliki hak dan kebebasan yang sama; baik dalam konteks politik, ekonomi, maupun sosial-budaya. Oleh sebab itu, negara modern yang menjunjung tinggi HAM, haruslah memiliki konstitusi yang bisa menjamin konsep kesetaraan derajat tersebut. Apabila ada agama yang ajarannya bertentangan dengan nilai-nilai kesetaraan derajat dan hak-hak azasi manusia, maka agama tersebut memiliki masalah dan mesti ditinjau ulang status legalnya.

Era modern juga merupakan era yang menjunjung tinggi rasionalitas, bukan menjunjung tinggi adat-tradisi, agama, atau ajaran tua yang sudah kehilangan konteksnya. Hal terpenting dalam memilih pemimpin tentu adalah soal kapabilitas yang ditunjukkan dari “pengalaman kerja” dan rekam jejak karir. Seorang calon pemimpin, selain mesti memaparkan program-programnya, juga wajib mempublikasikan resume-nya. Seorang calon pemilih, juga mesti memperhatikan apa program-program si calon pemimpin dan bagaimana ­resume-nya. Sama sekali tidak ada alasan untuk melibatkan SARA di sini.

Tidaklah penting apakah seorang pemimpin itu Muslim, Kristen, atau ateis sekalipun. Tidak penting juga apakah dia Jawa, Batak, Sunda, “pribumi” atau “non pribumi”. Sejauh pemimpin tersebut mampu mengemban jabatannya dengan baik, maka dia adalah pemimpin yang baik. Apalagi memangnya? Siapakah yang menjamin bahwa pemimpin seiman itu mesti bagus, dan pemimpin yang tidak seiman pasti buruk? Saya pikir tidak ada.

Sebagai penutup pengantar, dapat saya katakan bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang menjunjung tinggi rasionalitas, multikulturalisme dan kesetaraan derajat, serta menghargai hak-hak dasar manusia. Bukan bangsa yang selalu berkutat pada issue-issue primordial yang cenderung mengkotak-kotakkan manusia. Demikian. []

[caption id="attachment_208461" align="aligncenter" width="614" caption="Naheed Nenshi, walikota Calgary, propinsi Alberta, Kanada, adalah seorang Muslim. Dia terpilih menjadi walikota di daerah yang mayoritasnya non-Muslim (di Calgary, Islam merupakan agama kelima terbanyak penganutnya, di mana yang terbanyak adalah Katolik). Naheed Nenshi terpilih tentu karena pertimbangan kemampuannya, bukan karena faktor-faktor berbau SARA. Mampukah kita belajar dari Kanada? - Sumber foto: http://www.nenshi.ca/new/ "][/caption]

Pemimpin Non Muslim Haram?

Oleh Akhmad Sahal

BENARKAH memilih pemimpin non muslim haram? Setidaknya begitulah pendapat sebagian kalangan Islam seperti yang mengemuka dalam kisruh isu SARA di pilkada DKI akhir-akhir ini. Dalil Al-Qur’an yang mereka pakai di antaranya adalah surah Ali Imran 28 dan Al Ma’idah 51 . Dalam terjemahan Indonesia, ayat terakhir berbunyi : “Hai Orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

Kata “pemimpin” pada ayat di atas adalah terjemahan dari kata auliya’. Pertanyaannya, tepatkah terjemahan itu? Coba kita telusuri terjemahan ayat ini dalam bahasa Inggris. Yusuf Ali dalam The Meaning of the Holy Qur’an menerjemahkan auliya’ dengan friends and protectors (teman dan pelindung). Muhammad Asad dalam The Message of the Qur’an dan M.A.S Abdel Haleem dalam The Qur’an sama-sama menerjemahkannya dengan allies (sekutu). Bagaimana dengan penerjemah Inggris yang lain? Muhammad Marmaduke Pickthal dalam The Glorious Qur’an mengalihbahaskan kata auliya’ menjadi friends. Begitu juga N.J. Dawood dalam The Koran dan MH. Shakir dalam The Qur’an. Sedangkan berdasar The Qur’an terjemahan T.B. Irving, auliya’ diartikan sebagai sponsors.

Walhasil, tak satupun terjemahan Inggris yang saya sebutkan tadi mengartikan auliya’ sebagai “pemimpin.”Dan secara bahasa Arab, versi terjemahan Inggris ini agaknya lebih akurat. Perlu diingat, kata auliya’, bentuk plural dari waliy, bertaut erat dengan konsep wala’ atau muwalah yang mengandung dua arti: satu, pertemanan dan aliansi; kedua proteksi atau patronase (dalam kerangka relasi patron-klien).

Karena itulah agak mengherankan ketika dalam terjemahan Indonesia pengertian auliya’ disempitkan, kalau bukan didistorsikan, menjadi “pemimpin”, yang maknanya mengarah pada pemimpin politik. Bisa jadi karena kata tersebut dianggap berasal dari akar kata wilayah, yang memang artinya kepemimpinan atau pemerintahan.

Selintas masuk akal. Tapi kalau kita perhatikan lebih teliti, akan kelihatan bahwa anggapan ini tidak tepat. Mengapa? Kalau memang kata auliya’ bertolak dari kata wilayah, mestinya kata itu disertai dengan preposisi ‘ala. Dengan begitu, kalau QS 5:51 berbunyi ba’dhuhum auliya’ ‘ala ba’dh, auliya’ pada ayat tersebut bermakna pemimpin.Tapi ternyata redaksi ayat tersebut berbunyi ba’dhuhum auliya’u ba’dh, tanpa kata ‘ala setelah auliya’. Jadi tidak pas kalau akar katanya wilayah. Yang tepat, seperti sudah saya sebut di atas, adalah wala.’ Singkat kata, penerjemahan auliya’ sebagai pemimpin terbukti tak berdasar.

Lantas bagaimana kita mesti memahami ayat wala’ seperti QS 5:51 dan QS 3:28 yang secara harfiah melarang kaum mu’min untuk menjalin pertemanan dan aliansi dengan kaum non muslim, apalagi minta perlindungan dari mereka? Apakah ini larangan yang berlaku mutlak atau situasional?

Memahami ayat tersebut secara leterlek dan berlaku mutlak di manapun dan kapanpun akan sangat bermasalah. Ada tiga alasan.

Pertama, makna harfiah ayat itu bertentangan dengan ayat lain yang justru menyatakan kebalikannya. Misalnya ayat yang menghalalkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan Yahudi atau Kristen. Dalam ayat yang sama juga ditegaskan bolehnya kaum muslim untuk memakan makanan mereka, dan sebaliknya (Q 5:5) Selain itu, ada juga ayat lain yang menegaskan bahwa Allah tidak melarang umat Islam untuk “berbuat baik dan berlaku adil” terhadap pemeluk agama lain yang tidak memerangi mereka dan mengusir dari tanah kelahiran mereka (QS: 8).

Kedua, Nabi sendiri pernah menjalin aliansi dan meminta perlindungan dari kalangan non Muslim. Kita ingat cerita hijrah para Sahabat ke Abessina (Habasyah) yang saat itu diperintah oleh seorang raja Kristen. Kisah ini menunjukkan bahwa Nabi pernah meminta perlindungan kepada non muslim. Ketika di Madinah, Rasulullah memelopori pakta aliansi dengan komunitas Yahudi kota itu dalam bentuk Piagam Madinah. Bahkan pada level personal, Nabi bermertuakan orang Yahudi, yakni dari istrinya Sofiah binti Huyai. Ketiga, kalau QS 3:28 dan QS 5:51 dipahami secara harfiah dan mutlak, lalu bagaimana dengan pendirian Republik Indonesia yang dalam arti tertentu merupakan hasil kerjasama antara kaum muslim dengan pemeluk agama lain? Kasus lain: bagaimana dengan keterlibatan negara-negara Islam di PBB yang nota bene terdiri dari banyak negara non muslim sedunia? Bagaimana pula dengan Saudi Arabia, negara yang tak mungkin berdiri tanpa sokongan dari imperialisme Inggris untuk menghancurkan Khilafah Utsmaniyah pada awal abad 20? Sampai sekarang pun kita tahu Saudi mendapat perlindungan dari Amerika Serikat. Bukankah semua itu termasuk dalam kategori menjadikan non muslim sebagai auliya’? Berarti haram? Oh alangkah absurdnya jalan pikiran semacam ini!

Karena itulah ayat tersebut mesti ditafsirkan secara kontekstual. Penerapannya pun tak bisa sembarangan. Di sini ada baiknya saya mengutip Rashid Rida. Menurutnya, ayat-ayat pengharaman aliansi dengan, dan minta proteksi dari non muslim sejatinya hanyalah berlaku untuk non muslim yang nyata-nyata memerangi kaum muslim. Aliansi yang dilarang juga yang nyata-nyata merugikan kepentingan umat Islam ( Tafsir Al Manar, Vol.3, 277).

Pandangan Rida ini juga sejalan dengan pendapat Fahmi Huwaydi, pemikir Islam kontemporer dari Mesir. Dalam karyanya Muwathinun La Dimmiyyun (Warga Negara, Bukan Dzimmi) Huwaydi menyatakan bahwa Islam sejatinya tidak melarang umatnya untuk membangun solidaritas kebangsaan yang berprinsip kesetaraan dengan non muslim, khususnya Kristen Koptik di Mesir. Ayat wala’/muwalah, di mata Huwaydi, mestinya tidak dilihat sebagai larangan terhadap solidaritas semacam itu. Ayat 5: 51, misalnya, sebenarnya diarahkan kepada kaum munafiq yang ternyata membantu pihak non muslim yang kala itu berperang dengan umat Islam.

Dengan kata lain, dalam pandangan Rashid Rida dan Fahmi Huwaydi, QS 3:28 dan QS 5:51 tidak berlaku secara mutlak, melainkan situasional. Artinya, larangan menempatkan non muslim sebagai sekutu atau protektor hanya berlaku manakala pihak non muslimnya jelas-jelas memerangi umat Islam. Adapun jika mereka tidak seperti itu, maka berarti larangan tadi otomatis tidak berlaku.

Menarik untuk dicatat, argumen Rida dan Huwaydi ini sebenarnya bisa dipakai juga untuk membantah klaim sejumlah kalangan Islam yang bergeming untuk memaknai kata auliya’ dalam QS 3:28 dan 5:51 dengan bersandar pada terjemahan Indonesia yang saya kutip di awal tulisan, yakni sebagai “pemimpin.” Dengan demikian, mereka tetap ngotot untuk mengharamkan memilih pemimpin non-muslim. Terhadap mereka kita bisa katakan bahwa ayat tersebut tidaklah berlaku mutlak melainkan situasional. Artinya, larangan menjadikan non-muslim sebagai pemimpin berlaku manakala si non muslim tersebut nyata-nyata memerangi umat Islam. Di luar itu, larangan tersebut tidak berlaku.

Tapi lepas dari itu, kalaupun auliya’ tetap diartikan sebagai “pemimpin,” penerapan QS 3:28 dan 5:51 untuk konteks Indonesia modern juga salah sasaran. Perlu diingat, negara kita berbentuk republik yang menerapkan demokrasi langsung, sesuatu yang sama seklai tidak dikenal dalam sistem politik Islam klasik. Dalam sistem politik Islam klasik yang lazimnya berbentuk kerajaan, otoritas kepemimpinan yang dipegang khaliafah didasarkan pada legitimasi kuasa dari Tuhan, bukan dari rakyat. Pemimpin dianggap sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, dengan kekuasan yang absolut. Tidak ada yang namanya pembagian kekuasaan ala Trias Politica sehingga sang pemimpin memegang kekuasaan tertinggi dalam ranah legislatif, eksekutif, dan yudikatif sekaligus. Dengan kata lain, kepemimpinan dengan model “Daulat Tuanku.”

Ini secara diametral berbeda dengan sistem republik yang menganut asas kepemimpinan bersendi “Daulat Rakyat.” Di sini pemimpin bukanlah pemegang kedaulatan tertinggi, karena legitimasinya justru berasal dari rakyat yang memberinya mandat melalui pemilu. Dalam sistem semacam ini, presiden atau gubernur hanyalah pemegang kuasa eksekutif saja alias “hanya” pelaksana. Sebagai pemimpin, ia hanya berkuasa sepertiga.

Dengan demikian, kalau memang pemimpin non-muslim hukumnya haram, mestinya penerapannya untuk konteks negara kita bukan hanya berlaku untuk lembaga eksekutif saja, melainkan juga legislatif dan yudikatif. Ini karena kepemimpinan dalam sistem republik modern bukanlah bersifat personal melaiankan kolektif dan sistemik. Tapi kalau itu dilakukan, maka sejatinya yang diharamkan bukan hanya memilih pemimpin non muslim, melainkan juga bisa mengarah pada pengharaman terhadap republik kita.

Hal lain, kalau memang dipimpin oleh non Muslim hukumnya haram, bagaimana dengan umat Islam yang menjadi warga negara di India, Amerika atau Eropa? Apakah mereka semuanya berdosa hanya karena jadi warga negara di negara-negara yang dipimpin oleh non muslim? Apakah para pemain bola seperti Zinedine Zidane, Mesut Oziel, Sami Khedira, Samir Nasri, Ibrahim Afellay, yang semuanya dipimpin oleh presiden atau perdana menteri non muslim, harus hijrah ke negara orang tuanya masing-masing di Timur Tengah?

Dengan paparan di atas, saya ingin menunjukkan bahwa wacana pengharaman pemimpin non-muslim bukan hanya berbahaya karena membawa kita berkubang dalam isu SARA yang berpotensi memecah belah Indonesia. Yang tak kalah problematis, wacana tersebut ternyata tidak punya pijakan yang kokoh dari kacamata Islam itu sendiri, karena pedomannya adalah terjemahan ayat secara tidak akurat, penafsiran yang sempit, dan penerapan yang salah alamat.

*Dimuat di Majalah TEMPO, Edisi 16 Agustus 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun