Mohon tunggu...
Achmmad M
Achmmad M Mohon Tunggu... -

Lepaskan ...

Selanjutnya

Tutup

Nature

Ladang Berpindah: Salahkah?

30 April 2013   10:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:22 922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak zaman SD, ya dulu saya pernah sekolah, saya selalu “dibujuki” dengan kalimat bahwa ladang berpindah merupakan salah satu penyebab rusaknya hutan. Penyebabnya mungkin klasik, karena pepohonan banyak ditebang, semak-semak dibakar dan entahlah masih banyak lagi. Namun, sepertinya ada sesuatu yang tidak sepenuhnya benar mengenai hal itu. Gagasan semacam ini saya mantapkan ketika saya sedang mengobrol dengan salah satu teman saya. Ia memiliki rumah di Riau, sedang kampung aslinya berada di Tarutung, Sumatera Utara. Waktu itu, kami berdua sedang asyik ngobrol tentang Bukit Barisan, gunung berapi, cerita tentang Krakatau dan sebagainya. Saat saya menengok salah satu halaman buku berjudul Ekspedisi Bukit Barisan 2011: Peduli dan Lestarikan Alam Indonesia (buku pinjaman dari teman saya yang meminjam), saya jadi teringat ketika berkesempatan menyaksikan bagaimana sistem ladang berpindah yang saya duga sudah turun temurun. Kedua contohnya berasal dari Sumatera Utara, dari PakPak Bharat dan Simalungun. Waktu itu, saya berkesempatan untuk mengunjungi kawasan pinggir hutan di PakPak Bharat, termasuk deretan Bukit Barisan. Bersama beberapa penduduk lokal, saya sempat melintasi bekas ladang yang sudah ditinggalkan selama 25 tahun lebih, konon begitu ceritanya. Ya, meskipun memang tidak selebat hutan Amazon, bisa tergambarkan bahwa kawasan tersebut sudah tampak seperti hutan lagi. Pepohonan tumbuh dengan suburnya, tanpa ada masyarakat yang menganggu atau menebangi pohon. Beberapa hari kemudian, saya berkesempatan untuk mengunjungi lokasi lain. Masih di lokasi berdekatan, saya mengunjungi lokasi yang dinamakan dengan rambah kedep (semoga tidak salah tulis). Lokasi tersebut adalah ladang yang sudah ditinggalkan, dan perawakannya mirip sekali dengan hutan. Banyak bunga cantik di sana, ada bunga lipstick (Aeschynanthus) dan juga burung alap-alap (tidak teridentifikasi sampai jenis). Beberapa waktu kemudian, saya berkesempatan untuk mengunjungi sudut lain tanah yang dihuni Suku Batal, yaitu Dolok Simbolon, Simalungun. Perjalanan sepintas melintasi tebing dan lembah yang sungguh luar biasa. Terkait dengan ladang berpindah, satu hal yang saya ingat saat itu adalah bekas persawahan yang mirip dengan rawa-rawa. Saat melintasi bekas hamparan sawah yang berlumpur, saya membayangkan di situ ada ular besar yang akan mengejar kami layaknya di film-film. Untung saja itu hanya ilusi saya. Hehe. “Itu merupakan tanda bekas kampung,” kata salah satu rekan saya waktu itu, Pak Paimon namanya. “Ah, mana mungkin itu bekas kampung?” masih kagum dan agak tak percaya (Semoga tidak banyak salah info di sini). Beberapa batang durian besar nampak gagah menjulang di sela-sela pepohonan “hutan”.

1367294216529536411
1367294216529536411
Nah, itu memori yang memang sudah agak lama. Namun, ternyata hal itu bisa menjadi suatu pelajaran yang sepertinya tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Terutama, jika dikaitkan dengan adanya ladang berpindah sebagai salah satu penyebab rusaknya hutan. Ketika ada bekas ladang menghutan, tentu saja ini adalah kabar baik. Tentu saja hal ini terlepas dari adanya beberapa pihak yang memang sangat eksploitatif (duh bahasanya :D) terhadap hutan. Ladang berpindah sepertinya tidak selamanya bisa disalahkan, terutama jika dikaitkan dengan uraian singkat di atas. Jika bekas sebuah kampung bisa menjadi hutan, maka tak salah jika bekas ladang bisa juga menjadi hutan dengan sendirinya. Meskipun butuh proses, hal ini mungkin bisa disetarakan dengan suksesi dari lahan kosong menjadi hutan kembali. Oleh karena itu, sebenarnya ladang berpindah, saya sendiri mengatakan, tidak bisa dijadikan biang rusaknya hutan. Lagipula, masyarakat sejak ratusan atau ribuan tahun mungkin, kemungkinan juga menggunakan sistem yang sama. Nah, terkait dengan hal tersebut, saya sendiri justru berpikir bahwa sistem peradaban modern, misalnya perkebunan dan pembalakan dari perusahaan, menjadi faktor kerusakan hutan dengan efek yang lebih besar. Tentunya ini juga tidak lepas dari faktor-faktor lain seperti “usilnya” beberapa pihak yang masih belum bisa menerima peraturan semestinya. Satu hal yang sampai saat ini saling tentang (gontok-gontokan, tinju-tinjuan) di dalam benak saya adalah adanya pihak yang mempermasalahkan ladang berpindah. Bukankah justru itu merupakan bagian dari kehidupan yang unik pada masa lampau pada masyarakat yang sudah ada? Jika memungkinkan, bisakah ladang berpindah dianggap sebagai salah satu kebudayaan nusantara? Atau, jangan-jangan ladang berpindah sendiri dilakukan dengan alasan yang sudah dibuat ribuan tahun sejak zaman dahulu? Untuk urusan ini, saya sendiri berusaha mengaitkannya dengan konsep terkait penelitian dan pendidikan yang diutarakan oleh Sujiwo Tejo. “Nah, catetan-catetan tentang tukang sayur, dukun bayi dll dll itu kemudian diteliti…diilmiahkan..Hasil penelitian inilah yg dididikkan!!!!” - sebuah pernyataan yang dikutip dari akun Twitter @sudjiwotedjo tertanggal 6 April 2013. Oleh karena itu, saya pikir ada kemungkinan yang lebih baik bahwa kita bisa mengelola hutan dan sumber daya hutan dengan cara ladang berpindah. Siapa tahu dari pembelajaran mengenai ladang berpindah, masyarakat sudah punya cara sendiri untuk menjaga jumlah hutan yang ada dengan prinsip “suksesi” secara alami. Meskipun tampaknya mustahil, namun rasanya tidak ada yang perlu ditakutkan untuk dicoba. Hutan kita selamat, masyarakat juga mendapat manfaat. Semoga :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun