Mohon tunggu...
Wachid Hamdan
Wachid Hamdan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah, Kadang Gemar Berimajinasi

Hanya orang biasa yang menekuni dan menikmati hidup dengan santai. Hobi menulis dan bermain musik. Menulis adalah melepaskan lelah dan penat, bermusik adalah pemanis saat menulis kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kuatkan Sadar Diri, Perkuat Aji-Aji Santui, dan Biarkan yang Memilih Pergi!

12 Oktober 2024   14:58 Diperbarui: 12 Oktober 2024   15:03 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 

"Jaga Kewarasanmu kawan! Yang Semula baik, belum tentu memberi akhir yang terbaik!"

Sekian lama berproses menjadi orang, saya terus menikmati tiap absurditas kehidupan. Entah kawan yang konyol, job kerja ra mutu, susah beli rokok, hingga puyeng soal asmara. Semua itu telah menjadi sebuah komplikasi yang begitu sexy. Ya, benar. Sebuah realita tentang kita tidak pernah bisa mengatur apa pun yang ada di luar kita. Menjadi realitas sexy yang kadang bikin kepala tuwing-tuwing.

Di dunia ini, apa pun yang bersifat di luar diri kita itu susah untuk kita rubah. Maksudnya piye? Nah, jadi ada hal-hal yang ada di luar kendali kita (misal: kelakuan orang lain, cuaca, komentar netizen yang toxic) dan ada hal-hal yang bisa kita kontrol, yakni diri kita sendiri. Iya, cuma diri kita sendiri. Cuma aja lho. Lainnya? Ya udah, pasrah.

Coba deh, ingat-ingat momen ketika kamu kesel sama sahabat karib yang tiba-tiba berubah drastis gara-gara pacar barunya. Kita udah kenal sejak lama, sering nongkrong bareng, ngobrol ngalor-ngidul dari hal serius sampai receh. Eh, begitu dia ketemu sama perempuan yang bahkan belum setahun dikenalnya, tiba-tiba semua berubah. Nongkrong jadi jarang, chat dibalasnya  cuma singkat, dan kalau diajak main, jawabannya selalu "Sori bro. Aku lagi kerja." Lalu beberapa waktu berlalu, kita tahu, ternyata kawan kita itu sedang asyik-asyik dengan sang pacar baru. Kan, jancuk!

Manakala menemui hal di atas, mulanya saya bisa tersenyum pahit sambil kasih kode-kode halus. Mulai dari "Eh, jangan lupa sama temen lama, ya" sampai tatapan menusuk tiap kali dia tiba-tiba ninggalin tongkrongan lebih awal cuma buat pacarnya. Kita udah berusaha sabar, kan? Tetap kasih ruang buat dia, meski setiap kali datang selalu dengan wajah yang nggak sepenuhnya hadir. Tapi lama-lama, situasinya jadi nggak asyik.

Suasana pertemanan serasa hambar. Nilai solidaritas hilang drastis, dan tak ada rasa menggebu-gebu sebagaimana sebelum si kawan belum kenal pacarnya. Ya, benar. Tongkrongan dan persahabatannya jadi formil, ndak gayeng, dan penuh kemunafikan. Seolah-olah biasa saja. Padahal di hati membatin, "Bajingan tenan!"

Tapi di titik ini, saya sadar penuh. Bahwasannya Stoisismeitu mengajarkan sebuah aji-aji  sakti: kita itu ndak bisa maksa sahabat kita untuk memilih antara temen atau pacar. Sebesar apa pun kita merasa jengkel, orang lain punya hak buat menentukan prioritas hidupnya. Sakit? Jelas. Tapi nyatanya, yang bisa kita atur cuma respon kita sendiri. Meski kita pernah menjadi rumah singgah bagi yang katanya kawan.

Sebenarnya kita bisa pilih beberapa opsi. Mau cuek dan nikmatin nongkrong tanpa dia, atau kalau kita orangnya rada drama, bisa langsung confrontation ala sinetron, "Awakmu udah ndak anggap kita temen lagi, ya?!" tapi sudah ketebak. Endingnya bakal sia-sia. Karena orang dimabuk asmara, dia langsung jadi budek, wuto, dan bisu oleh sihir cinta tai kucing.

Tapi balik lagi, Stoisisme ngajarin kita buat nggak usah buang energi ngatur-ngatur orang lain. Soalnya, ngatur diri sendiri aja udah rempong. Coba aja, kapan terakhir kali kamu sukses ngatur diri biar gak begadang nonton serial Korea? Atau sukses nggak kepikiran sama status WhatsApp gebetan yang isinya cuma titik tiga?

Ngatur orang lain? No, no, no. Nggak usah sok pahlawan, Sob. Orang lain itu bebas. Bebas dari kode-kode kamu, bebas dari ekspektasi, bahkan bebas dari kewajiban mikir tentang persahabatan yang mungkin udah mulai mereka lupakan.

Intinya, ya kita harus legowo dan nerima kenyataan: nggak semua temen bakal bisa kita atur sesuai kemauan kita. Hidup itu kadang ya cuma sebatas ngejar deadline sambil ngelipet baju yang udah numpuk sebulan. Jadi daripada buang energi kesel gara-gara temen yang udah "diculik" pacarnya, mending fokus ngatur diri sendiri aja. Siapa tau kan, kamu malah ketemu hal-hal asik lainnya yang selama ini luput gara-gara sibuk mikirin dia.

Terus, kalau nanti hidup ngasih kamu lemon berupa temen ngeselin, jangan repot-repot netralisir asemnya lemon itu. Cukup bikin limun, teguk pelan-pelan, sambil berkata dalam hati: "Ya wis lah, mung ngene uripku saiki. Toh, aku juga masih punya teman lain, dan tentu saja... diriku sendiri."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun