Â
"Jaga Kewarasanmu kawan! Yang Semula baik, belum tentu memberi akhir yang terbaik!"
Sekian lama berproses menjadi orang, saya terus menikmati tiap absurditas kehidupan. Entah kawan yang konyol, job kerja ra mutu, susah beli rokok, hingga puyeng soal asmara. Semua itu telah menjadi sebuah komplikasi yang begitu sexy. Ya, benar. Sebuah realita tentang kita tidak pernah bisa mengatur apa pun yang ada di luar kita. Menjadi realitas sexy yang kadang bikin kepala tuwing-tuwing.
Di dunia ini, apa pun yang bersifat di luar diri kita itu susah untuk kita rubah. Maksudnya piye? Nah, jadi ada hal-hal yang ada di luar kendali kita (misal: kelakuan orang lain, cuaca, komentar netizen yang toxic) dan ada hal-hal yang bisa kita kontrol, yakni diri kita sendiri. Iya, cuma diri kita sendiri. Cuma aja lho. Lainnya? Ya udah, pasrah.
Coba deh, ingat-ingat momen ketika kamu kesel sama sahabat karib yang tiba-tiba berubah drastis gara-gara pacar barunya. Kita udah kenal sejak lama, sering nongkrong bareng, ngobrol ngalor-ngidul dari hal serius sampai receh. Eh, begitu dia ketemu sama perempuan yang bahkan belum setahun dikenalnya, tiba-tiba semua berubah. Nongkrong jadi jarang, chat dibalasnya  cuma singkat, dan kalau diajak main, jawabannya selalu "Sori bro. Aku lagi kerja." Lalu beberapa waktu berlalu, kita tahu, ternyata kawan kita itu sedang asyik-asyik dengan sang pacar baru. Kan, jancuk!
Manakala menemui hal di atas, mulanya saya bisa tersenyum pahit sambil kasih kode-kode halus. Mulai dari "Eh, jangan lupa sama temen lama, ya" sampai tatapan menusuk tiap kali dia tiba-tiba ninggalin tongkrongan lebih awal cuma buat pacarnya. Kita udah berusaha sabar, kan? Tetap kasih ruang buat dia, meski setiap kali datang selalu dengan wajah yang nggak sepenuhnya hadir. Tapi lama-lama, situasinya jadi nggak asyik.
Suasana pertemanan serasa hambar. Nilai solidaritas hilang drastis, dan tak ada rasa menggebu-gebu sebagaimana sebelum si kawan belum kenal pacarnya. Ya, benar. Tongkrongan dan persahabatannya jadi formil, ndak gayeng, dan penuh kemunafikan. Seolah-olah biasa saja. Padahal di hati membatin, "Bajingan tenan!"
Tapi di titik ini, saya sadar penuh. Bahwasannya Stoisismeitu mengajarkan sebuah aji-aji  sakti: kita itu ndak bisa maksa sahabat kita untuk memilih antara temen atau pacar. Sebesar apa pun kita merasa jengkel, orang lain punya hak buat menentukan prioritas hidupnya. Sakit? Jelas. Tapi nyatanya, yang bisa kita atur cuma respon kita sendiri. Meski kita pernah menjadi rumah singgah bagi yang katanya kawan.
Sebenarnya kita bisa pilih beberapa opsi. Mau cuek dan nikmatin nongkrong tanpa dia, atau kalau kita orangnya rada drama, bisa langsung confrontation ala sinetron, "Awakmu udah ndak anggap kita temen lagi, ya?!" tapi sudah ketebak. Endingnya bakal sia-sia. Karena orang dimabuk asmara, dia langsung jadi budek, wuto, dan bisu oleh sihir cinta tai kucing.
Tapi balik lagi, Stoisisme ngajarin kita buat nggak usah buang energi ngatur-ngatur orang lain. Soalnya, ngatur diri sendiri aja udah rempong. Coba aja, kapan terakhir kali kamu sukses ngatur diri biar gak begadang nonton serial Korea? Atau sukses nggak kepikiran sama status WhatsApp gebetan yang isinya cuma titik tiga?
Ngatur orang lain? No, no, no. Nggak usah sok pahlawan, Sob. Orang lain itu bebas. Bebas dari kode-kode kamu, bebas dari ekspektasi, bahkan bebas dari kewajiban mikir tentang persahabatan yang mungkin udah mulai mereka lupakan.