Seperti diberitakan Kompas (16/2) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta masyarakat untuk terus menjaga kesatuan dan tidak saling menyalahkan agar tidak terjadi keributan. Masyarakat diminta berjuang lebih keras dan menyelesaikan segala macam masalah secara damai. Ajakan yang positif memang, namun rasanya kurang elok bila keluar dari mulut sang Presiden sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan. Ajakan seperti itu lumrah keluar dari isi kepala para tokoh agama: kyai, pendeta, biksu, dan sejenisnya. Mengapa demikian? Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, ajakan untuk bersatu, damai, harmonis, atau sejenisnya merupakan ajakan yang sifatnya normatif, bahkan eskatologis (orientasi surgawi). Walaupun momennya pas, yakni dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, seorang presiden seharusnya berusaha mengambil angle pokok bahasan yang bernas, cerdas, lugas, berani serta mengutamakan kebersamaan, seperti apa yang diajarkan oleh Nabi. Seorang presiden, sebagai pemimpin, harus mampu menyalakan obor atau menjadi semacam tongkat pemandu ketika ummat-rakyatnya berada dalam kegamangan. Bukan sebaliknya, meredam emosi umat-rakyat melalui puisi dan lagu-lagu surgawi. Karena itu, argument bahwa kalimat itu cocok keluar dari mulut para agawaman menemukan titik pijaknya. Namun, harus diingat bahwa para agamawan pun, sebagai pemimpin umat, juga dilarang keras untuk selalu meninabobokkan umatnya dalam kebohongan. Kedua, apa yang disampaikan presiden adalah sesuatu hal yang salah alamat. Mengapa demikian? Sebab, lagi-lagi, setiap terjadi fenomena misalnya kekerasan atas nama suku, ras, dan agama, pihak yang paling dipojokkan adalah rakyat itu sendiri. Kalimat yang keluar dari presiden tak ubahnya seperti peluru yang ditembakkan kepada rakyatnya sendiri. Secara tidak langsung, presiden menuding dan menuduh rakyat sebagai biang keladi terjadinya pelbagai persoalan belakangan ini. Tak etis bukan? Apa justru tidak pantas? Lalu, di mana keberadaan negara? Bagaimana peran pemerintah sebagai “panitia” yang mengatur hajat hidup orang banyak itu? Sudah menjadi rahasia umum, peran negara-pemerintah dari hari ke hari dirasakan semakin luntur, terkikis oleh nafsu kepentingan. Kepentingan global (baca: neoliberalisme) menuntut negara mengurangi perannya terhadap rakyat dalam berbagai aspek kehidupan. Walhasil, rakyat yang dibiarkan sendiri berhadapan dengan pemodal raksasa adalah fenomena penindasan mutakhir di depan mata. Lain dari itu, kepentingan nasional, yang di dalamnya terdapat berbagai entitas: jaringan pejabat, partai, pengusaha kroni, dan seterusnya, dari waktu ke waktu semakin gemuk menghisap keringat dan kerja keras rakyat. Ya, inilah persoalan kita.
Pada akhirnya, tujuan awal pendirian negara sebagai “rumah” bagi kesejahteraan dan keamanan warga negara pun menjadi bias. Kita harus jujur mengatakan bahwa telah terjadi berbagai kebohongan dan anomali. Seharusnya kita (warga negara) yang menuntut negara (cq: pemerintah) untuk melaksanakan tugas dengan baik. Namun sebaliknya, justru pemerintah yang kini justru banyak menuntut, menuding, menyalahkan, menuduh, serta meminta banyak hak dari warga negara.
Selain pesolek, penyanyi, dan peragu, kita patut member gelar tambahan kepada presiden SBY sebagai tukang tuduh dan tukang tuding. (*)
Oleh: Adie Prasetyo
Sibuk di Wacana Institute
www.wacana.org
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H