Oleh: Adie Prasetyo (www.wacana.org) Sejarah peradaban umat manusia adalah sejarah peperangan dan penaklukan. Dalam film berjudul Mongol, diceritakan orang-orang suku Borjigins di pedalaman Mongolia berperang sepanjang hidupnya melawan suku-suku lainnya. Perang dan penaklukan yang mereka lakukan berdiri di atas identitas komunal (tribal). Dan, belakangan perang itu ditujukan untuk ’mempersatukan’ Mongolia menjadi satu kesatuan (negara) di bawah seorang Khan. Di sudut belahan dunia yang lain, tahun 1798 orang-orang Perancis mendarat di pelabuhan Iskandariyah. Niat awalnya menyelamatkan gereja-gereja ortodoks di Timur Tengah. Padahal kita tahu, ekspansi itu sebenarnya ditujukan guna memperluas imperium Eropa dan mencari bahan baku baru bagi industri mereka. Dalam kasus lain, Islam sebagai agama dan negara juga berkembang melalui peperangan. Ketika Muhammad membawa agama baru (Islam) di Mekah, ia bersama para pengikut setianya rela mempertahankan basis ideologinya, salah satunya dengan cara berperang dan menyerang. Sekarang, ketika dunia makin bergeser ke arah modernisasi, perang atas nama Tuhan dan agama masih mengemuka. Atas nama agama, bom meledak di mana-mana. Janji-janji sorgawi (eskatologis), niat besar membangun imperium berdasarkan agama, yang dibalut dengan perasaan dendam-buta kepada bangsa (agama) lain, telah menjadi pemicu terjadinya konflik atas nama agama. Kita lebih akrab dengan sebutan terorisme atau jihad atas nama agama. Yakni aksi kekerasan dengan berbagai cara untuk memberikan peringatan atau untuk melumpuhkan mereka yang dianggap sebagai ancaman dan musuh. Memang, seperti kita pahami, terorisme dalam beberapa tahun terakhir ini telah menjadi kata yang sering muncul di media cetak maupun elektronik. Di Indonesia, kata terorisme semakin populer seiring dengan berbagai rentetan peristiwa peledakan bom di berbagai daerah. Jauh sebelum teror mengguncang Indonesia, sebenarnya peristiwa-peristiwa teror itu juga sudah dialami oleh berbagai negara di dunia. Biasanya, jaringan teroris ini berlindung di balik institusi keagamaan, baik bertopeng agama Islam, Kristen, Budha, Hindu dan sebagainya. Sebagai contoh, dari gerakan Kristen kita mengenal peristiwa pengeboman klinik aborsi dan juga Timothy McVeigh. Di Inggris, terkenal dengan peristiwa peledakan truk-truk dan bis-bis oleh tentara Nasionalis Katholik Irlandia. Di Jepang, dunia dikejutkan oleh serangan gas beracun di jalur kereta api bawah tanah oleh anggota sekte Hindu-Budha. Dan, tentu saja orang sulit melupakan peristiwa pengeboman menara kembar WTC 11 September 2001 yang dilakukan oleh jaringan Al-Qaeda. Sebagai fenomena yang menggemparkan, merisaukan dan mengancam tatanan dunia, aksi kekerasan dan teror atas nama agama tersebut tak luput dari penelitian para sosiolog maupun agamawan terkemuka. Salah seorang ilmuan yang konsen meneliti masalah itu adalah Mark Juergensmeyer. Seorang guru besar sosiologi dan Direktur Global and International Studies Universitas California di Santa Barbara, Amerika Serikat. Untuk memahami lebih jauh latar belakang fenomena teror ini, tidak tanggung-tanggung, Juergensmeyer melakukan studi selama 15 tahun. Mulai dari pembunuhan Indira Gandhi di India, sampai Tragedi 11 September di World Trade Center (WTC), New York, Amerika Serikat. Percikan pemikiran Juergensmeyer tentang aksi kekerasan atas nama agama ini terangkum dalam beberapa bukunya, antara lain; Global Rebellion: Religious Challenges to the Secular State (2008), Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence (2003), dan The New Cold War: Religious Nationalism Confronts the Secular State (1993). Kemudian buku-buku lain karya Juergensmeyer yang terkenal antara lain; Radhasoami Reality: The Logic of a Modern Faith (1996), Religion as Social Vision: The Movement Against Untouchability in 20th Century Punjab (1982). *** Mengawali pembacaan tentang studi agama dan kekerasan, kita bisa mengajukan pertanyaan awal: apakah terorisme merupakan fenomena yang baru? Dalam buku Terorisme Para Pembela Agama (2003), Juergensmeyer menjawab bahwa terorisme bukanlah fenomena yang baru. Dalam sejarah, kekerasan atas nama agama ini terjadi sejak dulu. Hal itu seperti fenomena permainan politik yang memanfaatkan respons keagamaan menjadi perang sekuler. Tapi, terorisme dapat juga menjadi hal baru, karena menjadi fenomena global dalam menentang globalisasi dan modernisme. Setiap kelompok teroris, ungkap Juergensmeyer, mempunyai tujuan khusus dengan latar belakang masing-masing. Tapi, yang terjadi hampir sama. Terorisme di belahan dunia manapun selalu mengatasnamakan agama. Ada kesamaan antara pemboman Gedung Federal di Oklahoma, yang dilakukan Christian Militant Movement, dan Al-Qaeda yang membom WTC 11 September 2001, juga bom Bali. Kesamaan dasarnya ialah masalah sosial yang diintroduksi ke dalam perjuangan agama. Sebuah perjuangan kosmik antara kebaikan dan kejahatan, benar dan salah, agama dan sekuler. Singkatnya, mereka ingin menarik perhatian publik. Dalam hal ini, tentu saja agama tidak salah. Sebab, agama selalu mengajarkan hal yang baik. Dalam pengamatan Juergensmeyer, kekerasan itu sendiri merupakan bagian dari respons masyarakat dalam menyikapi masalah politik. Mereka menggunakan agama sebagai jalan keluar untuk mengkritik, dengan memobilisasi kekerasan sebagai alternatif. Dus, masalahnya justru terletak dalam masyarakat (pemeluk agama) itu sendiri. Agama memang memiliki aturan dalam memberikan pilihan bagaimana memperbaiki kerusakan moral dalam masyarakat. Tapi, tentu saja ketika dilakukan dengan tingkat ekstrem dalam bentuk tindak kekerasan, hal ini tak sesuai lagi dengan moralitas yang diajarkan agama. Singkatnya, agama telah dihinakan di balik aksi terorisme itu, dan kaum penganutnya wajib bertindak. Lalu, bagaimana cara mengerem terorisme atas nama agama agar tidak beranak pinak menjadi kekerasan dengan segala dimensinya? Sebelum menjawab pertanyaan ini, Juergensmeyer mengajak kita untuk merefleksikan bagaimana dunia Barat, khususnya Amerika Serikat, dalam menanggapi aksi kekerasan tersebut dengan metode yang salah kaprah. Kita tahu, sejak peledakan WTC 11 September 2001, Amerika menjadi negara yang paling paranoid, terutama dengan gerakan-gerakan Islam di seluruh dunia. Kita juga paham, Amerika menempatkan diri sebagai panglima dunia yang memungkinkan negara itu memainkan politiknya dengan bertindak secara global. Artinya, di mana pun aksi teroris itu terjadi, intelijen Amerika akan menelusurinya. Kebijakan Amerika untuk menuntaskan terorisme ini berlaku di seluruh dunia, baik di Jerman, Timur Tengah, Inggris, dan lain-lain. Tapi, ingat saat menyerang Afganistan dan Irak, Amerika juga sedang melakukan tindakan teroris. Dus, tanpa disadari Amerika sendiri memanfaatkan peluang politik ini untuk melancarkan agresinya dengan membawa bendera perang melawan terorisme. Padahal, kita tahu di balik itu terdapat motif-motif ekonomi-politik (neokolonialisme) Amerika serikat untuk menguasai sumber-sumber ekonomi di Irak. Penanganan terorisme seperti itu tentu bukan cara terbaik untuk memotong akar terorisme di dunia. Justru, tindakan tersebut telah memantik perlawanan dan dendam berkepanjangan dari jaringan gerakan agams politik radikal. Dalam proses selanjutnya, secara samar-samar kita dapat melihat apa yang disebut Juergensmeyer sebagai fenomena ”Perang Dingin Baru.” Menurut Juergensmeyer, The New Cold War ini terjadi karena westoxifikasi budaya , kebijakan luar negeri dan globalisasi sekulerisme yang dipromosikan Amerika telah melahirkan persepsi penghinaan dan ketertindasan berbagai kelompok agama. Setelah berbicara dengan banyak pelaku teror, Juergensmeyer menemukan tumbuhnya sikap ketidaknyamanan makro akibat globalisasi dan perubahan sosial. Ada banyak luapan kekecewaan dan kemarahan yang hadir di berbagai belahan dunia, bukan hanya dunia Islam, akan serangan westoksifikasi. Dominasi politik dan ekonomi AS dan Barat, dengan bauran persepsi ini, kemudian juga menjadi sumber kemarahan baru. Ada fenomena menentang globalisasi dan modernisme yang seakan hendak mengendalikan dunia. Akhirnya, reaksi kekerasan pun menjadi pilihan. Pada muaranya, seperti membangkitkan kenangan perang dingin dulu, di mana tercipta persepsi bahwa pihak yang di seberang itu jahat. Di dunia Islam, banyak tercipta persepsi bahwa Amerika Serikat dan Barat itu jahat dan di Barat juga terdapat persepsi bahwa Islam agama yang penuh dengan kekerasan. Fenomena ini turut diperparah oleh kesimpulan ilmuan Gedung Putih, salah satunya Samuel P. Huntington, yang menyatakan bahwa dunia saat ini sedang bergerak menuju perang peradaban antara Islam di satu pihak dan Barat di pihak lain. Padahal, sesungguhnya yang sedang terjadi adalah perang yang diciptakan oleh persepsi. Ada introduksi konsep perjuangan agama dalam menjawab masalah sosial. Yakni sebuah pertarungan kosmik antara kebaikan dan kejahatan, benar dan salah, agama dan sekulerime. *** Kembali ke pertanyaan awal, bagaimana cara mengakhiri kekerasan atas nama agama ini? Menurut Juergensmeyer, ada lima skenario yang dapat dilakukan untuk mengakhiri teror atas nama agama. Skenario pertama, merupakan salah satu dari solusi yang dilakukan melalui kekuatan (power). Hal ini dilakukan dengan cara membinasakan atau mengendalikan teroris-teroris itu dengan jalan kekerasan. Cara yang dianggap solusi ini pada kenyataannya bukan solusi yang baik, karena setiap kekerasan yang dihadapi kekerasan akan menimbulkan kekerasan baru. Inilah yang dilakukan oleh Amerika ketika mendeklarasikan perang total melawan terorisme agama dan melaksanakannya selama bertahun-tahun. Penggunaan kekuatan untuk menghancurkan terorisme tidak jarang hanya merupakan manipulasi untuk membenarkan kepentingan di balik itu. Kedua, solusi dalam bentuk ancaman pembalasan dengan kekerasan atau pemenjaraan untuk menakut-nakuti aktifis-aktifis keagamaan sehingga mereka ragu-ragu untuk melakukan aksinya. Cara ini pun dianggap tidak efektif, karena meski para aktivis itu diancam atau dipenjara, bahkan dibunuh sekalipun tidak akan berpengaruh terhadap para aktivis keagamaan lainnya. Ketiga, dengan melakukan kompromi atau negosiasi dengan para aktifis yang terlibat dalam terorisme. Cara ini pun seperti dikatakan oleh Marx Juergensmeyer sendiri merupakan penyelasaian yang tidak selalu berhasil. Beberapa aktifis barangkali menjadi lunak, tapi yang lain menjadi marah dikarenakan apa yang mereka sebut sebagai penjualan prinsip. Kasus Arafat dan Hamas merupakan contoh dalam skenario ini. Setiap upaya kompromi yang dilakukan sekelompok aktifis Palestina akan membuat marah kelompok lainnya. Keempat, pemisahan agama dari politik dan kembali pada landasan-landasan moral dan metafisikal. Artinya, politisasi agama dapat dipecahkan melalui sekulerisasi. Solusi seperti ini telah dilakukan di beberapa negara di dunia. Namun, cara ini nampaknya belum menunjukkan keberhasilan. Alih-alih dapat melunakkan prinsip mereka, cara ini justru menimbulkan reaksi keras dari aktifis-aktifis keagamaan yang kadarnya semakin tinggi. Kelima, solusi-solusi yang mengharuskan pihak-pihak yang saling bertikai untuk, paling tidak pada tataran minimal, menyerukan adanya saling percaya dan saling menghormati. Hal ini ditingkatkan dan kemungkinan-kemungkinan ke arah penyelesaian dengan jalan kompromi semakin menguat ketika aktifis-aktifis keagamaan memandang otoritas-otoritas pemerintahan memiliki integritas moral yang sesuai dengan nilai-nilai agama. Di luar kelima skenario itu, Juergensmeyer menegaskan bahwa aksi kekerasan atas nama agama akan terus berlangsung, selama kita salah menyikapinya. Kalau kita menyikapinya dengan cara yang salah, maka terorisme justru akan berkembang dengan subur. Dus, ke depan diskursus keagamaan harus mampu melakukan terobosan-terobosan baru guna mendekontekstualisasi kekerasan, seperti doktrin perang suci atau jihad, yang kerap dijadikan justifikasi untuk menghalalkan kekerasan. Saat ini sangat diperlukan pemahaman keagamaan yang turut mendorong perlawanan terhadap segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan yang mengancam terwujudnya masyarakat pluralis. Karena bagaimanapun, agama menghendaki agar setiap umat dapat hidup berdampingan tanpa harus menebarkan kebencian dan kecurigaan pada yang lain. *** Itulah percikan pemikiran Mark Juergensmeyer, seorang profesor sosiologi dan studi agama di University of California, Santa Barbara, Amerika Serikat. Ilmuan yang serius meneliti tentang agama, kekerasan dan konflik politik di berbagai belahan dunia. Tak heran, karena keseriusannya Juergensmeyer mendapat julukan sebagai ahli agama dan ahli resolusi konflik. Ia telah menerbitkan lebih dari 200 artikel dan selusin buku. Sejak 11 September, Juergensmeyer aktif menjadi komentator di media, termasuk CNN, NBC, CBS, NPR, Fox News dan ABC’s Politically Incorrect. Juergensmeyer mendapatkan gelar Ph. D. Ilmu Politik di University of California, Berkeley, di mana ia kemudian dikoordinasikan program studi agama. Ia juga memiliki gelar dari Union Theological Seminary di New York, Columbia University (hubungan internasional) dan University of Illinois (bachelor dalam filsafat seni). Sang Profesor ini dibesarkan di daerah perdesaan di pusat Illinois dan pernah bekerja sebagai koresponden perang di Vietnam. Sebelumnya, Juergensmeyer pernah menjabat sebagai Ketua Pacific Rim Penelitian Program, University of California dari 1993-1997, Dekan School of Hawaii, Asia & Pacific Studies, Profesor Agama dan Ilmu Politik, Universitas Hawaii, dari 1989-1993; Direktur Program Studi Agama, Universitas California, UC Berkeley, dan sebagai Profesor dan Direktur Perbandingan Agama, di Graduate Theological Union, UC Berkeley 1974-1989. Karena dedikasinya yang tinggi terhadap masalah agama dan kekerasan, The Washington Post dan Los Angeles Times memasukkan Juergensmeyer sebagai ilmuan dan penulis terbaik (2003) dan bukunya “Teror dalam Pikiran Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama” menjadi salah satu buku nonfiksi terbaik tahun 2003. Buku sebelumnya, “The New Cold War? Religious Nationalism Confronts the Secular State” menjadi salah satu buku terkemuka tahun 1993 versi The New York Times. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H