Mohon tunggu...
Waatwahan Albert
Waatwahan Albert Mohon Tunggu... Penulis - Aktivis Desa

opini kampung

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Toleransi Kampus yang Hanya Hidup dalam Slogan Tanpa Aksi Nyata

24 Desember 2024   15:51 Diperbarui: 24 Desember 2024   15:51 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Emanuel Asdiakon Bawolo Mahasiswa Universitas PGRI Kanjuruhan (Dok pribadi)

Toleransi sering kali dielu-elukan sebagai nilai utama di lingkungan pendidikan, terutama di kampus yang mencerminkan keberagaman masyarakat. Namun, toleransi tidak cukup hanya menjadi jargon atau slogan, ia perlu diwujudkan dalam kebijakan yang nyata dan berkeadilan. Salah satu momen untuk membuktikan toleransi adalah dengan menghormati hari-hari besar keagamaan. Menjelang perayaan Natal, ketidakhadiran informasi resmi terkait libur dari kampus menjadi cerminan kurangnya implementasi nilai toleransi tersebut.

Berdasarkan hasil diskusi dengan Bonifasius Rahayaan, seorang mahasiswa Kristen, menyampaikan pandangannya tentang situasi ini. Hingga saat ini, belum ada kebijakan dari pihak kampus yang memberikan waktu libur khusus bagi mahasiswa untuk merayakan Natal. "Toleransi sering diperdengarkan, tapi nyatanya kami, sebagai minoritas, tidak merasakan penerapan yang nyata". Ungkapan ini menggambarkan bagaimana mahasiswa dari kelompok minoritas merasa kurang mendapat ruang untuk menjalankan keyakinannya secara leluasa di lingkungan yang mayoritasnya berbeda.

Dalam pandangan filsafat, Jean-Jacques Rousseau menekankan bahwa institusi publik, termasuk lembaga pendidikan, harus menjamin keadilan bagi semua individu tanpa pandang bulu. Toleransi, bagi Rousseau, adalah kunci untuk menciptakan keharmonisan sosial. Jika institusi gagal menjamin hak kelompok minoritas untuk merayakan hari besar agamanya, maka prinsip keadilan tersebut telah dilanggar.

John Rawls, melalui konsep justice as fairness, juga menegaskan bahwa kebijakan harus melindungi hak-hak kelompok minoritas agar mereka tidak dirugikan oleh dominasi mayoritas. Dalam konteks ini, kebijakan kampus yang tidak memberikan perhatian pada kebutuhan mahasiswa dari kelompok agama tertentu menunjukkan adanya ketimpangan dalam keadilan sosial.

Ki Hadjar Dewantara turut menegaskan bahwa pendidikan tidak sekadar transfer ilmu, tetapi juga pembentukan karakter yang menghargai keberagaman. Sebagai institusi pendidikan, kampus seharusnya menjadi model dalam mengimplementasikan toleransi, termasuk melalui kebijakan yang inklusif terhadap hari-hari besar agama.

Ketidakjelasan kebijakan kampus terkait libur Natal ini menunjukkan celah besar dalam praktik toleransi. Jika toleransi ingin benar-benar menjadi nilai yang hidup, kampus perlu mengambil langkah konkret, seperti menyusun kalender akademik yang mengakomodasi hari besar keagamaan semua kelompok. Dengan demikian, kampus dapat menjadi ruang yang adil, ramah, dan mendukung bagi seluruh mahasiswa tanpa memandang perbedaan agama atau keyakinan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun