Penegakan hukum adalah salah satu aspek yang sangat penting dalam menciptakan Pilkada yang aman, damai, dan bebas dari praktik black campaign. Praktik black campaign, yang sering kali melibatkan penyebaran hoaks, fitnah, dan serangan pribadi terhadap kandidat, dapat merusak integritas demokrasi dan menyebabkan ketegangan sosial. Oleh karena itu, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku black campaign sangat diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan informasi dalam konteks Pilkada.
Dasar Hukum untuk Penegakan Terhadap Black Campaign
Di Indonesia, ada beberapa regulasi yang dapat digunakan untuk menanggulangi praktik black campaign, antara lain sebagai berikut:
Undang-Undang Pemilu (UU No. 7 Tahun 2017).
UU ini mengatur tentang penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada yang transparan, adil, dan bebas dari kecurangan. Salah satu fokusnya adalah penyebaran informasi yang salah (hoaks) dan kampanye negatif yang tidak sesuai dengan etika politik. Dalam UU ini, terdapat ketentuan yang mengatur sanksi bagi mereka yang melakukan pelanggaran kampanye, termasuk kampanye hitam yang menyebarkan informasi palsu atau menyesatkan.
UU No. 7 Tahun 2017 mengatur bahwa setiap peserta Pemilu dan Pilkada wajib menjalankan kampanye yang sesuai dengan peraturan dan etika. Beberapa ketentuan terkait kampanye dalam UU ini meliputi.
Pasal 280 - Kampanye yang Tidak Sesuai Etika:
Kampanye harus dilaksanakan dengan cara yang tidak menyinggung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Penyebaran informasi yang mengarah pada diskriminasi dan kebencian, termasuk melalui media sosial, dapat dikenakan sanksi. Dalam konteks ini, black campaign yang menyebarkan hoaks atau informasi palsu sangat dilarang.
Pasal 281 - Larangan Kampanye Negatif dan Fitnah:
Dilarang keras bagi peserta Pilkada untuk melakukan kampanye yang menyebarkan fitnah atau menyerang pribadi calon lainnya. Hal ini mencakup penyebaran informasi palsu atau merusak citra kandidat.
Pasal 282 - Pembatasan Media Kampanye: