Kita semua pasti tahu berita apa yang paling santer tersiar akhir-akhir ini. Dari judul tulisan ini, tentu dapat langsung ditebak. Entah benar atau tidak, tapi mayoritas penduduk Indonesia saat ini digemparkan dengan adanya berita terkait pernikahan. Sudah paham kan? Tentu saja terkait salah satu pejabat publik yang "menikahi" gadis berusia 18 tahun dan menceraikannya 4 hari setelah ijab kabulnya melalui pesan singkat. Dan ternyata tak satu dua orang saja pejabat publik yang berkelakuan seperti itu. Seiring "kekuasaan" yang diamanahkan ke pundak mereka, seolah-olah menjadi lampu hijau yang mengizinkan mereka berbuat apa saja. Padahal sejatinya, pejabat publik memberikan contoh yang baik bagi masyarakat. Namun entahlah, dunia makin gonjang-ganjing saja. Mungkin terkait isu kiamat 21-12-2012 kemarin, sehingga semua kalangan berniat memanfaatkan sisa hidupnya untuk memuaskan semua keinginannya sebelum menghadap sang Illahi.
Sebenarnya apa sih arti sebuah pernikahan? KBBI menyatakan bahwa pernikahan adalah ikatan (akad) perkawinan yangg dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Ketentuan hukum disini, tentunya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang di negara kita yaitu UU No.1 tahun 1974 yang dengan gamblang menjelaskan hal-hal terkait ketentuan hukum sebuah pernikahan. Selain ketentuan hukum, perkawinan yang dilakukan juga harus sesuai dengan peraturan agama yang mana setiap agama pastinya mengharapkan sebuah pernikahan merupakan proses perbaikan diri yang terus menerus dan pembentukan sebuah kehidupan baru yang lebih baik dari sebelumnya.
Sebenarnya, apa makna dari sebuah pernikahan? Seperti apa sebuah pernikahan itu? Secara pribadi, saya mendefinisikan pernikahan sebagai sebuah proses terkait perbaikan diri dari waktu ke waktu dengan harapan dapat terwujudnya sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah yang prosesnya merupakan suatu bentuk pembelajaran yang kontinyu. Suatu pernikahan bukanlah sebuah permainan, bukan pula sekedar pengesahan hubungan demi terlampiaskannya nafsu semata. Ada proses disini, sebuah proses perbaikan diri dimana kita memiliki tanggung jawab yang harus kita penuhi. Mulai dari memenuhi kebutuhan hidup baik itu sandang, pangan, hingga papannya, kebutuhan tambahan saat memiliki anak, pendidikan anak, dll. Dan beban tanggung jawab tersebut akan semakin membesar seiring berjalannya sang waktu. Seiring dengan perubahan tanggung jawab inilah kita memerlukan suatu evaluasi diri karena kompleksitas permasalahan menuntut kita untuk lebih bijak menghadapi keadaan. Tanpa perbaikan diri, kita hanya akan terkurung dalam satu situasi yang akan menghambat kita dalam pengembangan diri.
Begitu mulia dan tingginya nilainya sampai-sampai dalam Islam dinyatakan bahwa separuh agama seseorang merupakan pernikahan. Dalam artian bahwa tidak akan sempurna agama seorang muslim hingga ia menjalani pernikahan. Dan tentunya agama lain pun memiliki pandangan yang serupa terkait pernikahan ini. Tak satu pun agama yang menyatakan bahwa pernikahan hanyalah ajang permainan pemuasan nafsu. Tak ada satu pun keyakinan yang manyatakan bahwa pernikahan adalah ajang mengusai wanita sesuka hati (bagi pria) atau sebaliknya. Inti daripada pernikahan salah satunya adalah keseimbangan. Seimbang bukan berarti harus 50:50. Sebagaimana definisi adil, seimbang berarti sesuai dengan keadaan dan kebutuhan objek. Atau dengan kata lain, pelaksanaan suatu pekerjaan dalam rumah tangga pernikahan dilakukan sesuai dengan proporsi masing-masing yang telah disepakati sebelumnya.
Terakhir, terkait pemberitaan akhir-akhir ini yang terasa sangat men-judge kaum pria, mungkin sedikit pembelaan dari saya pribadi. Salah seorang teman saya di twitter mengungkapkan pernyataan yang intinya kurang lebih menyatakan kekecewaannya pada perilaku pejabat publik terkait dan menyatakan bahwa semua laki-laki itu sama saja, otaknya seks doang isinya. Setengah geli saya membaca twitnya saat itu, terlebih tak lama setelahnya keluar berita terkait Andika Kangen Band (AKB, tapi bukan AKB48 ya) yang ternyata ikut-ikutan memperparah citra para pria dimata wanita, saya balas twitnya dengan mengatakan bahwa tidak semua laki-laki seperti itu sebagaimana tidak semua perempuan sebaik dia (temen saya tadi). Memang bukan hal yang mudah untuk mengelak dari cercaan publik terkait diskriminasi gender karena berita yang sangat menurunkan citra para lelaki ini. Namun perlu ditekankan bahwa tidak semua orang seperti itu. Dalam semua hal, tidak ada yang 100% baik ataupun 100% buruk. Pasti selalu ada "oknum" yang menyimpang dari 100% yang ada. Dan saat hal seperti ini memang terjadi di sekitar kita, tugas kita bukanlah men-judge segelintir orang yang terkait dengan "oknum" tersebut, melainkan melihat sisi lain dari permasalah itu. Ada banyak pembelajaran dari semua itu, entah itu terkait tata krama, kesopanan, kewibawaan, proteksi diri kedepannya, dll. Biarkan "oknum" yang bersangkutan tenggelam dalam lumpur kenistaannya dan kita ambil pelajaran darinya tanpa harus terperosok kedalam lumpur yang sama. Bukankah indah belajar dari pengalaman buruk orang lain? ^_^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H