Mohon tunggu...
Vyerlla Apri
Vyerlla Apri Mohon Tunggu... -

simpel aja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mencari Damai

14 November 2010   06:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:37 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pagi. Kata yang cantik untuk menyapa dan memberi semangat. Selamat pagi semua…..

Hampir sebulan penuh jemariku tak bertelur. Semua yang ada di tempurung kepalaku kusimpan saja sendiri. Terlebih tentang sesuatu yang berlintang simetris di hatiku. Ah, hati, berhentilah untuk memanjai diri. Jaga letupan rasamu. Biarkan damai menyelimuti relungmu.

Damai. Aku mencarinya. Ya, aku mencarinya. Mencari damai dan indahnya. Sempat aku menelusurinya di antara lengkung pelangi. Aku harus berjuang mati-matian untuk menunggu rinai hujan yang sempat menggila mereda di tepian waktu. Menari-nari, bergelantung di sayap bidadari. Konon, pelangi dan bidadari bersahabat akrab. Namun, masih saja aku tak menemui damai itu.

Lantas dimana Tuhan menyimpan damai itu? Hampir menyerah. Tidak, aku tidak menyerah. Aku hanya ingin mencoba ikhlas. Itu saja. Hingga akhirnya aku menemui titian jingga di langit senja. Jingga menyamudra di tepian langit. Mendamaikan, sangat mendamaikan. Warna ketenangan yang kutemui di antara limit waktu yang semakin menipis. Namun kali ini damainya jingga harus kuikhlaskan pergi. Malam, warna kematian telah mengambilnya. Biarlah malam menjadi warna penjagaan terindah untuk damainya jingga. Tolong jaga warnanya untukku.

Suatu pagi, ada yang membisikiku bahwa damai itu bisa kutemui di antara bulir lembut embun. Ya, embun yang menetes tiap pagi itu mendamaikan kalbu. Menyejukan. Sungguh. Riak yang bergelantung di ujung dedaun jatuh luruh di kalbuku. Menenangkan bongkahan hati ini. Terima kasih, Tuhan.

Apa kamu tahu bahwa sebiji kopi tak mungkin larut ke dalam secangkir embun? Ketidakmungkinan yang memungkinkan. Embun terlalu dingin dan menyejukan. Kopi tak mungkin larut ke dalamnya. Bahkan, untuk mengumpulkan butiran embun ke dalam cangkir pun tak bisa. Tidak! Embun hanya mampu bergelantung di ujung dedaun. Bergelantung di antara tegarnya ilalang. Maka kali ini izinkan aku menitipkan tetesan embun itu. Ilalang berikan penjagaan terindah untuk tetesan embun yang membawa damai.

Damai. Damai itu ada di kalbuku. Ada di hatiku. Damai itu ada saat hati ini dekat dengan-Nya. Rabb, ajari aku tentang-Mu. Beri aku kesempatan lebih lama lagi mengecup manja asma-asma-Mu. Di antara limit waktuku yang semakin menipis, beri damai itu di saat terindah. Saat aku bermesraan dengan-Mu. Saat aku tak henti-hentinya mengeja-Mu.

abu-abu, 2 November 2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun