Fenomena anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik pusat maupun daerah yang pindah partai pada musim Pemilu 2019 ini cukup menyita perhatian, betapa tidak, anggota dewan aktif yang mencalonkan kembali sebagai wakil rakyat periode 2019-2024 dengan berbeda partai dari sebelumnya harus rela melepas status keanggotannya.Â
Kepindahan para politisi ke partai lain memang tak terlepas dari dua kemungkinan, pertama sudah merasa tak nyaman di partai tempatnya bernaung saat ini dan kedua bisa jadi petinggi partai yang sudah tak senang dengan 'si kader' tersebut. Keduanya tentu disebabkan berbagai faktor, mungkin satu diantaranya adalah kepentingan politik para oknum-oknum tertentu.Â
Miris memang, seyogyanya anggota dewan yang pindah partai harus konsisten dan berhenti dari anggota dewan sesaat setelah surat pengunduran diri dari partai-nya saat ini di tandatangani. Namun fakta berbicara lain, sebagai contoh di kabupaten Merangin masih terlihat para anggota dewan yang pindah partai "pede" dengan status keanggotaannya.
Seharusnya, para anggota dewan pindah partai harus mencermati UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah pada Pasal 193 ayat (1) berbunyi bahwa "Anggota DPRD kabupaten/kota berhenti antarwaktu karena. Pertama, meninggal dunia, kedua mengundurkan diri atau ketiga diberhentikan.Â
Selain UU Pemda, anggota dewan pindah partai juga wajib menjunjung tinggi UU 17 tahun 2014 tentang MD3 yang biasa disebut UU susunan dan kedudukan (Susduk) DPR. Pada pasal 405 (1) Anggota DPRD kabupaten/kota berhenti antarwaktu karena. Pertama, meninggal dunia, kedua mengundurkan diri dan ketiga diberhentikan.
Anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kedua UU tersebut hanya diberi penjelasan pada bagian ketiga bagi anggota dewan yang "diberhentikan", sementara yang meninggal dunia dan mengundurkan diri tidak dijelaskan lagi.
Untuk kasus "diberhentian", dapat dilakukan tentu dengan alasan seperti tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD kabupaten/kota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun.Â
Selanjutnya, melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD kabupaten/kota, dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.Â
Kemudian, tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah.Â
Disamping itu, diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum.
Selain itu, bagi yang melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (Pemda dan MD3) serta diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau "menjadi anggota partai politik lain".Â