Seorang perempuan di Amerika Serikat sangat bahagia setelah hakim menyatakan dirinya tidak bersalah atas penyerangan yang dilakukan terhadap suaminya. Hakim menyatakan wanita tersebut hanya melindungi diri dan tidak bermaksud untuk memotong kemaluan sang suami. Perlindungan diri dilakukan disebabkan dirinya lelah telah berkali-kali diperkosa oleh suaminya sendiri.
Kasus tersebut dapat dikategorikan beruntung, walaupun tidak memiliki dukungan masyarakat namun mendapat perhatian media dan ditangani oleh pihak berwajib. Sayangnya masih banyak para istri yang menerima kekerasan dan pelecehan dari suami mereka sendiri. Istilah marital rape mungkin terdengar asing di telinga sebagian orang.Â
Kurangnya pengertian masyarakat menyebabkan kasus yang mereka alami menghilang begitu saja, terkadang  karena dianggap lumrah atau malah menjadi bumerang bagi para korban. Imbasnya, muncul tingginya kehamilan tak diinginkan, kekerasan dalam rumah tangga, dan aborsi.
Marital rape atau dalam bahasa Indonesia disebut perkosaan dalam pernikahan adalah ranah kekerasan seksual terhadap perempuan karena adanya bentuk pemaksaan oleh suami terhadap istri. Kasus yang biasanya terjadi adalah suami memaksa untuk berhubungan badan ketika istri sedang menstruasi.Â
Selain itu, kekerasan tersebut juga terjadi ketika ada pemaksaan dari suami untuk melakukan anal seks yang dapat melukai organ vital sang istri.
 Seks memang menjadi kebutuhan dan unsur yang sangat penting dalam sebuah rumah tangga. Namun, harus disetujui dan dihendaki oleh kedua pasangan. Berhubungan intim karena paksaan atau ancaman, meskipun dengan pasangan sendiri, sama dengan pemerkosaan.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam Catatan Akhir Tahun yang diluncurkan bulan Maret 2019 lalu, mengungkapkan bahwa terdapat 9.637 kasus kekerasan dalam rumah tangga. Dari jumlah kasus tersebut, pemerkosaan dalam pernikahan yang dilaporkan menempati angka 195 kasus.Â
Angka tersebut meningkat dari tahun 2017 yang mencapai 172 kasus. Menurut data National Coalition Against Domestic Violence pada tahun 2018, terdapat 1 dari 10 wanita yang mengalami pemerkosaan oleh pasangan mereka.Â
Sayangnya, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual justru mengabaikan fenomena ini dengan hanya mempertahankan konteks kekerasan seksual dalam sembilan bentuk, yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Marital rape dapat terjadi atas beberapa bentuk eksploitasi suami terhadap istrinya, contohnya dalam seringkali istri merasa terancam dan amat ketakutan, sehingga ia terpaksa menuruti kemauannya untuk berhubungan seks.Â
Tak jarang kadang istri menuruti kemauan suami untuk menghindari kemarahan atau hal-hal yang tidak diinginkan lainnya.Â